1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Gereja Katolik: Jalan Sinode Jerman yang Kontroversial

Christoph Strack
16 Maret 2023

Sebuah revolusi kecil? Tidak. Namun Jalan Sinode Jerman telah membuka jalan bagi reformasi praktik Gereja Katolik terkait pasangan sesama jenis dan prodiakon perempuan.

https://p.dw.com/p/4OiGi
Ilustrasi Jalan Sinode
Gambar ilustrasi: Jalan Sinode Gereja KatolikFoto: Arne Dedert/dpa/picture alliance

"Roh Kudus mengekspresikan dirinya, terutama dalam kebijaksanaan majelis," kata Presiden Konferensi Waligereja Jerman, Uskup Georg Bätzing, pada akhir pertemuan pleno Jalan Sinode di Katedral Frankfurt pada hari Sabtu (11/03).

Tiga tahun lalu, pada akhir Januari 2020, sebuah kebaktian di gedung yang sama menandai dimulainya pertemuan pertama Jalan Sinode: sebuah dialog panjang antara umat awam Katolik dan para uskup, untuk menjadikan gereja Katolik, yang telah diguncang oleh serangkaian skandal pelecehan, menjadi lebih kredibel dan relevan di masa depan.

Sinodalitas dan sinode telah menjadi agenda utama dalam Gereja Katolik sejak Paus Fransiskus menjabat 10 tahun yang lalu. Istilah "majelis," etimologi kata-kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti "jalan bersama." Istilah "kebersamaan" juga penting bagi Paus. Menghadapi tantangan bersama; berdebat, berdoa, dan menemukan jalan bersama. Tetapi juga tetap bersama.

Pada tahun 2019, sekitar 65 uskup Katolik di Jerman dengan suara bulat memutuskan untuk memulai Jalan Sinode ini. Namun kebulatan tekad mereka lenyap bahkan sebelum tahap pertama perjalanan dimulai karena ada sekelompok kecil pemimpin gereja yang menentang keterbukaan dan reformasi.

Namun demikian, proses reformasi akhirnya berjalan. Terlepas dari pandemi COVID-19, terdapat lima sidang pleno dan konferensi regional, ribuan jam diskusi, dan berkilo-kilo kertas diskusi.

Sejak awal, ide utamanya adalah untuk mencari tahu penyebab pelecehan dan kekerasan seksual dalam gereja agar tidak terulang lagi di masa depan. Dengan kata lain, para uskup juga ingin berdamai dengan jebakan kekuasaan imam dan penyalahgunaan kekuasaan.

Namun kemudian muncul banyak isu lain: Mencapai keadilan gender di dalam gereja; memungkinkan perempuan untuk ditahbiskan dalam jabatan-jabatan gereja; mempraktikkan penghormatan dan menentang pengucilan terhadap minoritas seksual; mengizinkan partisipasi jemaat dalam pengambilan keputusan-keputusan gereja. Dikatakan berulang-ulang bahwa ini adalah proses modernisasi untuk membawa gereja Katolik ke masa kini.

Pada awalnya, para pengamat khawatir bahwa Jalan Sinode akan gagal. Kadang-kadang, beberapa perwakilan individual, yang sebagian besar konservatif, mengundurkan diri. Kadang-kadang, ada sinyal-sinyal peringatan dari Roma. Dan beberapa ulama di negara-negara Eropa lainnya menganggap tindakan gigih umat Katolik Jerman sebagai sebuah ancaman atau tantangan. Mereka berusaha menjaga jarak.

Kalangan reaksioner dan para uskup terkenal di luar negeri mencap Jalan Sinode Jerman sebagai sesuatu yang unik: Gereja Katolik di Jerman, tanah reformasi, yang dianggap murtad.

Hal itu ternyata berubah. Pada sidang pleno terakhir Jalan Sinode, ada perwakilan resmi dari Australia, Filipina, Tanzania, Peru, Belgia, Finlandia, Swedia dan Italia.

Dimensi global dari krisis

Semakin jelas bahwa skandal pelecehan seksual dalam gereja Katolik memiliki dimensi yang mendunia. Para korban telah berbicara di setiap benua. Dan hal ini telah menjerumuskan gereja ke dalam krisis di banyak wilayah.

Di Jerman, Jalan Sinode telah mengeluarkan total 15 resolusi, beberapa di antaranya memiliki dampak yang sangat konkret. Karyawan yang gaya hidupnya tidak sesuai dengan pedoman gereja tidak dapat lagi diberhentikan, misalnya, jika mereka menjalin hubungan sesama jenis atau menikah lagi setelah bercerai.

Gereja Katolik juga ingin mengakui keragaman gender. Pelatihan para pendeta akan direformasi. Dan segera, di banyak tempat, perempuan akan diizinkan untuk berkhotbah. Fakta bahwa sekarang juga akan ada upacara pemberkatan bagi pasangan sesama jenis telah dirayakan sebagai sebuah keberhasilan - meskipun beberapa imam berani telah berani  mempraktikkannya.

Namun, Jalan Sinode belum mencapai kesepakatan untuk merevisi peraturan selibat bagi para imam atau mengizinkan diakon perempuan.

Kali ini, sidang majelis berusaha keras untuk menghindari skandal seperti yang meletus pada sidang pleno keempat di Frankfurt ketika berlangsung pemungutan suara  atas naskah yang merumuskan kembali doktrin seksualitas Katolik sesuai dengan pengetahuan modern. Naskah tersebut mendapatkan dukungan mayoritas dua pertiga suara yang diperlukan dari 220 delegasi, tetapi bukan dari para uskup yang berpartisipasi. Jadi, gagal.

Kali ini, para uskup bersikeras, hingga menit-menit terakhir sebelum sesi terakhir, menyusun formulasi yang lebih hati-hati dan menentang tuntutan konkret. Pada saat yang bersamaan, rasa frustasi para delegasi lainnya lebih besar. Sidang pleno tampak tegang, bahkan agresif, selama berjam-jam.

Pandangan kritis Paus

Paus Fransiskus dan Vatikan telah berulang kali mengkritik proses konsultatif gereja Katolik di Jerman dan langkah-langkahnya yang kontroversial.

Kadang-kadang, Vatikan terlihat telah diperalat oleh para uskup Jerman yang konservatif. Namun, bukan hal yang baru bahwa Vatikan mewaspadai gereja Katolik di Jerman, karena gereja Katolik di Jerman memiliki kekuatan finansial yang besar dan cenderung dianggap liberal secara teologis. 500 tahun yang lalu, Martin Luther, seorang pembaharu dari Jerman, menyebabkan Gereja Katholik Roma terpecah dan melahirkan Gereja Protestan.

Dalam pertemuan di Frankfurt, Uskup Antwerpen Johan Bonny menjelaskan bagaimana para uskup Katolik Belgia telah menghadapi Vatikan. Di Gereja Katolik Belgia, pemberkatan pernikahan sesama jenis sudah dimungkinkan sejak tahun lalu - meskipun setahun sebelumnya Kongregasi Ajaran Iman Vatikan dengan tegas melarang pemberkatan tersebut.

Namun, Bonny menjelaskan, beberapa bulan yang lalu, saat para uskup Belgia berkunjung ke Vatikan, mereka tidak dikonfrontasikan pada Paus: "Ini adalah keputusan mereka," kata Paus Fransiskus. Dan dia menekankan betapa pentingnya baginya bahwa para uskup bersatu. Pernyataan Bonny menunjukkan betapa gereja Katolik sedang bergerak. Dan mereka juga menunjukkan betapa tidak dapat diprediksinya Vatikan.

Pertemuan dua sinode sedunia di Roma

Sehubungan dengan skandal pelecehan dan isu modernisasi, Vatikan telah mendesak setiap konferensi uskup nasional di seluruh dunia untuk mendiskusikan ide-ide reformasi.

Dalam beberapa minggu terakhir, pertemuan-pertemuan gereja internasional telah diadakan. Dan yang pertama dari dua sinode sedunia dijadwalkan berlangsung pada bulan Oktober di Roma. Mungkin Gereja Katolik Roma tidak pernah menjadi kumpulan dari berbagai perspektif dan harapan yang berbeda yang juga mendukung teologi yang berbeda. Namun yang jelas, Paus Fransiskus telah mendorong sebuah gereja yang terbuka di tengah ketidakadilan global, gereja yang lebih dekat dengan penderitaan orang-orang.

Di Frankfurt, kelegaan dapat dirasakan di akhir Jalan Sinode. "Kami sekarang mengubah format sinodalitas menjadi permanen," kata Uskup Bätzing. Dan Presiden Komite Pusat Umat Katolik Jerman, Irme Stetter-Karp, yang bersama-sama memimpin Jalan Sinodal dengan Bätzing, mengatakan: "Siapa pun yang menanggapi skandal pelecehan ini dengan serius harus melakukan perubahan struktural." Perubahan struktural tidaklah revolusioner, namun tetap saja tidak mudah. (ap/hp)

Artikel ini disadur dari versi bahasa Jerman.