1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Jajan Makanan Indonesia di Warung Mobil di Jerman

29 Oktober 2022

Asyiknya makan masakan Indonesia sambil 'nongkrong' di pinggir jalan bisa juga dirasakan di Frankfurt, Jerman. Ada warung mobil yang berjualan mulai dari sate ayam hingga batagor.

https://p.dw.com/p/4Fro9
Makan epa enaknya di sini?
Beginilah penampilan truk makanan Indonesia di FrankfurtFoto: Eva Hertl

Awal mulanya, setiap liburan di Jakarta, Eva Hertl bersama suami sering ‘nongkrong‘ di belakang Plaza Indonesia, Jakarta, jajan di pinggir jalan. "Di sana ada makanan-makanan di Jalan Kebon Kacang. Semuanya lengkap. Saya ajak suami, enak-enak (makanannya)," papar Eva Hertl.  Saat sedang duduk di sana, sang suami yang berprofesi sebagai pengacara di Jerman berpikir, "Sayang ya di Jerman tidak ada makanan seperti ini, duduk di pinggir jalan sambil makan makanan. Semuanya ada. Kalau ada di Jerman, pasti seru. Banyak yang suka!” ujarnya.

Lalu mereka berpikir, mengapa di Jerman tak ada yang berjualan makanan Indonesia di pinggir jalan, padahal banyak orang Indonesia yang pintar masak di Jerman, "Ya mungkin karena banyak aturan-aturannya ya, bukan karena malas, jadi saya rasa, mungkin terbayang ‘ribetnya‘. Jadi akhirnya, saya yang terjun langsung untuk (membuat)  warung makanan pinggir jalan Indonesia," ujar Eva Hertl yang bermukim di Kota Frankfurt, Jerman.

Dan dimulailah ‘keribetan‘ itu. Bersama suami, ia mengajukan permohonan membuat izin usaha kecil ke pemerinta kota setempat. Pertama-tama mereka harus mengajukan permohonan memiliki "Gewerbeschein” atau izin usaha kecil,"Terserah mau di bidang makanan, atau kue, bar kecil, kita bisa buka izin usaha kecil, disebutnya Gewerbeschein," papar Eva.

Lalu langkah kedua karena berjualan di atas roda empat yang berkeliling dari satu tenpat ke tenpat lain, seperti truk makanan, maka si pengusaha juga wajib mempunyai "Reisegewerbe”, tambah Eva: "Reisegewerbe itu izin usaha untuk berpindah pindah. Mau memakai truk atau memakai tenda, berpindah tempat itu kita wajib mempunyai izin Reisegewerbe."

Setelah punya kedua surat izin itu, mereka juga melapor ke "Gesundheitsamt” atau kantor kesehatan pemerintah. Fungsinya adalah untuk pengecekan kebersihan dapur. "Jadi, mereka cek langsung dapur higienisnya, yang kita pakai untuk pengolahan makanan, juga di truk kami, mereka cek langsung," imbuh Eva yang juga harus mengikuti jam kursus sehubungan dengan usaha yang akan dijalaninya. "Lalu untuk higienisnya, kita tidak boleh memasak di rumah untuk buka usaha makanan pinggir jalan di Jerman. Jadi, saya diwajibkan mempunyai dapur higienis untuk penyimpanan barang setelah pembelian dari supermarket. Lalu, pengolahan saya lakukan di truk. Tapi, persiapannya saya buat di dapur, pemotongan, pembersihan, bumbu-bumbu yang disiapkan. Lalu semua saya bawa di truk makanan.”

Cek ombak dulu

Sebelum resmi berjualan, Eva melakukan ‚cek ombak‘. Dia membuat beberapa makanan, membagikannya ke kawan-kawan Jerman, untuk bisa mengetahui apa yang disukai dan makanan apa yang cocok untuk di lidah Jerman.

Biaya yang dikeluarkannya paling banyak adalah dalam memesan truk  yang dimodifikasi untuk berjualan, aku Eva. "Seperti truk yang saya punya, untuk komplet di dalamnya ada panggangan untuk membuat sate, kompor untuk memasak, lalu penggorengan untuk menggoreng-goreng semua makanan ringannya. Komplet semua sampai pendingin dan pemanas makanan, semua biayanya kurang lebih 65.000 Euro,” tandas Eva.

Diawali dengan dagang di tenda dulu tahun 2018, warung Eva lalu menggunakan truk di tahun 2020, namun ‘terhantam‘ pandemi COVID-19, di mana kadang-kadang tak boleh berjualan karena aturan lockdown. Tahun 2021, Eva mulai bangkit lagi berjualan dengan aturan jaga jarak dan pendataan konsumen secara ketat. Perlahan tapi pasti, usaha Eva kembal menggeliat. Pengunjung pun makin ramai.

Membuat truk makanan di Frankfurt
Eva Hertl, pengusaha makanan di Frankfurt berrsama suamiFoto: Eva Hertl

Ajang sosialisasi bahasa Indonesia

Warung berjalan Eva menawarkan beragam masakan, mulai dari sate ayam, batagor hingga mie ayam. "Sate ayam, sangat digemari oleh orang-orang Jerman. Lalu, sekarang vegan itu hits sekali di Jerman, jadi banyak pelanggan kita yang vegan, jadi saya sediakan gado-gado. Gado-gadonya tanpa telur. Mereka suka makannya pakai sambal kacang .Mereka selalu minta tambahan sambal kacang. Saya buat batagor, tapi vegan juga ya.  Batagornya vegan, mereka juga suka sekali," papar Eva.

Lumpia dibrandol dengan harga 5€ atau 75 ribu rupiah seporsi, batagor 8€ atau120 ribu rupiah sepiring, gado-gado 9€ atau sekitar 134 ribu rupiah, mie ayam bakso 10€ atau sekitar 150 ribu rupiah semangkuk,  demikian pula harga sate ayam. Nasi rendang harganya 11€ atau 164 ribu rupiah per porsi. Sementara gabungan cemilan yang terdiri dari beberapa bakwan sayur, tempe mendoan, dan lumpia harganya sekitar 164 ribu rupiah juga sebaki.

"Pertama kali mengenalkan rendang, mereka selalu berpikir, oh, ini kan seperti ‘goulash', saya jawab ini berbeda, kami pakai kelapa, santan. Lalu, saat mereka coba, karena bentuknya, warnanya, memang tidak terlalu menarik, saya hiasi juga di piring, pakai sayuran selada. Jadi, ada daya tarik warna-warni di dalam mangkok atau piring yang saya sajikan. Jadi, saat mereka coba rendang, kembali lagi, datang lagi, beli lagi," kata Eva menceritakan pengalamannnya.

Selama berjualan, Eva juga sering bertanya pada pelanggan, "Enak tidak masakannya?” Pelanggan biasanya menjawab"Ah, sehr gut! Sehr lecker! (ed: sangat enak)." Eva dan timnya mengajarkan kata:‘enak‘ dan ‘terima kasih'. "Jadi kami juga biasakan ada sedikit percakapan dalam bahasa Indonesianya. Misalnya: sampai jumpa, mereka juga tahu kata-kata itu," ujar Eva.

"Tapi yang paling lucu, mereka datang ke truk, lalu bilang: Halo, selamat pagi! Saya lapar! Atau: Halo, selamat malam! Ada makanan apa?”, pelanggan akrab jadinya sama kita-kita di truk makanan," tambah Eva.

Thomas Helmer yang pernah mencoba masakan di truk makanan ini bercerita, dia suka sekali sate ayam yang dibelinya. "Tidak terlalu pedas, dan bumbu kacangnya terasa enak di lidah. Batagor juga enak, tapi kurang banyak," kata pegawai museum warga Frankfurt ini sambil tertawa.

Sementara Eni Latief, perempuan asal Indonesia yang juga tinggal di Frankfurt, kadang membeli makanan di warung mobil Eva, jika tak sempat memasak di rumah."Saya tak punya pembantu, sedangkan saya sendiri bekerja, jadi kadang beli makanan di luar. Saya seringnya beli sate ayam, enak, seperti jajan rasanya. Nostalgia semasa tinggal di Jakarta,” pungkasnya.