1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

“Islam Publik” sebagai Tren Keberislaman Masa Kini

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
10 Juli 2021

Apakah jenis keislaman yang diserap, diadopsi, atau dipraktikkan di Indonesia itu hanya "Islam kulit” atau "Islam permukaan” bukan "Islam isi” atau "Islam substansi”? Simak opini Sumanto al Qurtuby,

https://p.dw.com/p/3voa5
Gambar ilustrasi
Salat di sebuah masjid di IndonesiaFoto: Trisnadi/AP Photo/picture alliance

Pasca rontoknya rezim Orde Baru tahun 1998, panggung sosial Indonesia ditandai dengan fenomena munculnya "Islam publik”, yaitu Islam yang tampil secara terang-terangan dan memainkan peran signifikan di ruang-ruang publik khususnya negara (state), masyarakat politik (political society), dan masyarakat sipil (civil society). "Islam publik” juga mengacu pada fenomena keislaman dan keberislaman yang ditandai dengan proses deprivatisasi. Fenomena ini sangat kontras dengan periode Orde Baru dimana keislaman dan keberislaman tidak tampil secara jelas dan terang-terangan di ruang publik meskipun umat Islam banyak yang menjadi aktor-aktor sosial-politik.

Fenomena Islam publik ini juga sejalan dengan hasil survei/polling Gallup International Poll dimana Indonesia masuk kategori "negara religius” yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain Indonesia, negara-negara yang masuk klaster "negara religius” adalah Yaman, Bangladesh, Nigeria, Ethiopia, Niger, Sri Lanka, Malawi, Burundi, Somalia, Mauratina, dlsb. 

Sumanto al Qurtuby, cendikiawan muslim
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Penting untuk digarisbawahi bahwa tren ini tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam (Indonesia) saja tetapi juga umat Kristen di Amerika Serikat atau Amerika Latin, Katolik di Filipina, Buddhisme di Myanmar, dlsb. Jose Casanova telah menulis fenomena "global public religion” ini dalam bukunya, Public Religions in the Modern World.

Pula, penting untuk digarisbawahi, fenomena munculnya Islam publik ini tidak mesti dalam konteks "Islam politik” tetapi juga "Islam nonpolitik”. Dengan kata lain, fenomena Islam publik ini tidak secara otomatis diekspresikan melalui aktivitas/gerakan politik atau bertujuan politik praktis kekuasaan. Pula, Islam publik ini tidak selalu berdimensi positif tetapi juga bisa dalam konteks negatif (misalnya aksi dan gerakan intoleransi, vigilantisme, radikalisme, terorisme, dlsb).

Sejumlah Indikator Islam Publik:

Ada sejumlah indikator yang bisa dijadikan sebagai acuan tentang fenomena Islam publik dewasa ini di Indonesia seperti berikut ini (sekadar contoh saja).

•           Maraknya gerakan Islam politik dan Islam ideologis yang diusung berbagai ormas (organisasi massa), parpol (partai politik), orpol (organisasi politik), atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berlabel agama, baik yang bercorak transnasional, nasional, maupun lokal. Tidak jarang, dalam upaya memuluskan jalan bagi tercapainya implementasi ideologi dan politik Islam tertentu, mereka menggunakan strategi busuk dan cara-cara kotor untuk mengelabui massa.

•           Munculnya berbagai "Perda Syariat” atau aneka ragam kebijakan publik (public policy) dan regulasi atau peraturan hukum (undang-undang, Surat Edaran, Pergub, Perbub, dlsb) di berbagai daerah yang bernuansa atau barlabel Islam atau syariat.

•           Maraknya berbagai pengajian keislaman – baik offline maupun online – yang menggunakan berbagai media: televisi, radio, YouTube, media sosial, ataupun "pengajian darat” di berbagai ruang publik seperti masjid, lapangan, stadium, mall, perusahaan, kantor, dlsb. Ini belum termasuk pengajian-pengajian rutin yang diorganisir oleh berbagai kelompok umat Islam atau jamaah pengajian, bukan hanya di kota saja tetapi juga di desa-desa.

•           Merebaknya komunitas "hijaber” dan "pegamis” (pemakai gamis) ditambah jamaah bercadar dan berjenggot. Pada masa Orde Baru, perempuan bercadar nyaris tidak berani muncul di ruang-ruang publik. Mereka hanya memakainya di acara-acara privat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi kini mereka bisa dengan leluasa mengekspresikan diri di ruang publik bahkan berselfie ria.

•           Ramainya klub-klub eksklusif umat Islam (misalnya, ormas, alumni sekolah/kampus, perkumpulan, grup WhatsApp, dlsb) yang dijadikan sebagai tempat untuk "ngerumpi” atau menggunjing sekaligus "merapatkan barisan”.

•           Tumbuhnya aneka usaha dan bisnis yang bercorak atau bermerek Islami seperti perumahan syariat, kos-kosan Islami, bisnis umrah, perbankan/jasa keuangan syariat, dlsb.

•           Merebaknya fenomena halalisasi (cap halal) aneka produk atau barang, bukan hanya makanan saja tetapi juga lainnya seperti kulkas atau kompor.

•           Tampilnya para "penceramah populis”, baik yang berkualitas maupun ala kadarnya atau fenomena "artis hijrah” dan "ustad dadakan”.

•           Menjamurnya berbagai sekolah, kampus, atau pusat keislaman (Islamic center) yang mengusung jenis keislaman tertentu. 

Islam Publik dan Kualitas Keislaman

Apakah dengan kemunculan Islam publik ini menunjukkan kualitas keislaman di Indonesia meningkat? Dengan kata lain, apakah munculnya fenomena Islam publik ini berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas keislaman? Belum tentu. Islam publik hanya berurusan dengan kuantitas (jumlah massa) bukan kualitas. Kualitas keislaman tidak diukur dari hiruk-pikuknya massa Islam di ruang-ruang publik.

Bahkan jika diamati atau dicermati dengan seksama, fenomena Islam publik di Indonesia tidak berbanding lurus dengan kualitas umat Islam. Hal itu karena jenis keislaman yang diserap, diadopsi, atau dipraktikkan itu hanya "Islam kulit” atau "Islam permukaan” bukan "Islam isi” atau "Islam substansi”.

Misalnya, mereka hanya hiruk-pikuk di urusan yang remeh-temeh dan tidak bermutu sama sekali: soal aurat, hijab, jubah, jenggot, poligami, siksa kubur, surga-neraka, halal-haram, Valentine, dlsb. Mereka hanya bergemuruh soal "pengaraban” nama-nama atau ungkapan tertentu yang sama sekali tidak penting (misalnya, tentang panggilan abi-umi, akhi-ukhti, ikhwan-ikhwat, dlsb).

Tetapi bagaimana dengan perkembangan peradaban, kualitas pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan (science), inovasi teknologi, masalah intelektualitas, isu-isu kemanusiaan universal, optimalisasi akal sehat dan nalar pikiran, pemikiran kritis (critical thinking), peningkatan skill, dlsb. Nyaris semuanya "nol jumbo”. Alih-alih ingin mengoptimalkan peran sentral pikiran dan akal, mereka justru berkampanye "beragama tidak perlu memakai akal”. Padahal, tanpa akal agama akan beku, statis, dan akhirnya ditinggalkan umat yang bernalar dan berilmu. Tanpa akal, agama akan menjadi "fosil” alias "benda antik” zaman purba, tidak mampu menjadi agen perubahan sosial di masyarakat.

Fenomena Islam publik di Indonesia saat ini hanya bersifat "hura-hura” jauh dari "spirit profetis” dan "semangat intelektualitas” yang tinggi dan menggelora seperti dulu terjadi di bentangan Abad Pertengahan Islam. Oleh karena itu, jika dulu fenomena Islam publik mampu menciptakan peradaban gemilang yang ditandai dengan munculnya para ilmuwan cemerlang dan sarjana polymath yang menguasai aneka disiplin keilmuan, merebaknya para penulis produktif-prolifik, serta lahirnya karya-karya agung yang dihargai di dunia Barat dan Timur, maka fenomena Islam publik saat ini di Indonesia hanya melahirkan kumpulan para penceramah kerdil, ustad sektarian, guru intoleran, jamaah pengajian eksklusif, serta onggokan buku-buku panduan atau bimbingan rohani yang tidak mutu dan tidak ilmiah sama sekali. 

     

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).
 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.


*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.