1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Insiden SJ 182, Pakar Dorong Dilakukannya Audit Komprehensif

Prihardani Ganda Tuah Purba
13 Januari 2021

Pakar sebut penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182 hanya bisa diungkap setelah black box dari pesawat dianalisa oleh KNKT. “Audit komprehensif secara total" juga dinilai perlu dilakukan sebagai evaluasi jangka panjang.

https://p.dw.com/p/3nqMG
Evakuasi Sriwijaya Air
Tim SAR gabungan terus melakukan upaya pengangkutan satu lagi black box CVR dan bagian pesawat Sriwijaya Air SJ182 lainnya dalam pencarian hari keempat.Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 tujuan Jakarta - Pontianak pada Sabtu (09/01) lalu memunculkan bermacam spekulasi. Banyak yang bertanya-tanya, apa penyebab pesawat tersebut hilang kontak dan jatuh tidak lama setelah lepas landas.

Secara teori, kecelakaan pesawat disebabkan oleh empat faktor. Demikian disampaikan oleh pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati saat diwawancara DW, Selasa (12/01).

Arista Atmadjati - Pengamat Penerbangan dari AIAC
Arista Atmadjati - Pengamat Penerbangan dari AIACFoto: Privat

Yang pertama adalah human error. Artinya ada disorientasi dari pilot maupun co-pilot pesawat. Contoh kasusnya, pesawat Silk Air pada tahun 1997. Pilot dari pesawat tersebut menurut Arista diduga bunuh diri sehingga menceburkan pesawatnya ke Sungai Musi di Palembang.

Yang kedua adalah masalah teknis, seperti engine failure atau kegagalan mesin dan instrumen pesawat. Contoh kasusnya adalah Air France Penerbangan 447 dari Paris menuju Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 2009. Pesawat ini disebut mengalami gangguan pada tabung pitot pesawat.

“Salurannya itu beku jadi tidak bisa memberikan sinyal yang bagus di Flight Management System, flight management cockpit sehingga pilot mengambil keputusan yang salah. Itu karena kegagalan mesin,” kata Arista.

Dua kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Air di Indonesia (2018) dan Ethiopian Airlines (2019) juga menjadi contoh terbaru kasus kecelakaan pesawat akibat masalah teknis. “Ada kesalahan di software di cockpit itu menyebabkan pilot juga disorientasi, sehingga jatuh”, jelas Arista.

Faktor ketiga menurut Arista adalah cuaca buruk. Contoh kasusnya, Air Asia QZ8501 tujuan Surabaya – Singapura pada tahun 2014. Sementara faktor keempat adalah sabotase, seperti yang terjadi pada pesawat Pan Am 103 yang meledak di langit Lockerbie pada tahun 1988 dan tragedi 9/11 di Amerika Serikat (AS).

Black Box kunci utama mengungkap penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182

Lantas apa penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182? Jawabannya belum bisa disimpulkan. Menurut Arista, jika dilihat dari 4 teori yang telah dijelaskan sebelumnya, ada tiga teori yang dimungkinkan menjadi penyebabnya: cuaca buruk, masalah mesin, dan faktor human error (manusia). Namun, ia menegaskan bahwa penyebab sebenarnya hanya bisa diungkap dan disimpulkan setelah black box dari pesawat tersebut dianalisa oleh pihak berwenang, dalam hal ini Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Arista menjelaskan bahwa black box yang salah satunya berisi Flight Data Recorder akan mengungkap bagaimana catatan perjalanan pesawat mulai dari lepas landas hingga jatuh ke laut. Akan terlihat apakah ada keanehan yang terjadi pada mesin pesawat atau tidak.

Sementara black box yang berisi Cockpit Voice Recorder (CVR) menurutnya akan mengungkap rekaman pembicaraan pilot, co-pilot dan ATC (Air Traffic Controller) yang secara jelas akan memberikan gambaran situasi di dalam pesawat selama penerbangan berlangsung.

Sampai berita ini diturunkan, tim SAR gabungan telah berhasil menemukan salah satu black box yang berisi FDR dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 untuk selanjutnya diunduh datanya dan dianalisa oleh KNKT. Sementara, black box lain yang berisi CVR masih terus dicari.

“Jadi kita mesti bersabar ya, kita harap ini kan black box bisa dibaca di Jakarta ya, mungkin 2 atau 3 bulan lagi sudah ada rilis dari KNKT,” jelas Arista. 

Tim SAR gabungan telah berhasil mengangkat salah satu black box berisi Flight Data Recorder (FDR) dari pesawat Sriwijaya Air SJ-182.
Tim SAR gabungan telah berhasil mengangkat salah satu black box berisi Flight Data Recorder (FDR) dari pesawat Sriwijaya Air SJ-182.Foto: AJENG DINAR ULFIANA/REUTERS

Sementara itu, terkait usia pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang sudah masuk usia 26 tahun, Arista mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara usia pesawat dengan performa pesawat yang berujung pada terjadinya kecelakaan. Menurutnya, pesawat dengan usia sampai 40 tahun pun, apabila dirawat dengan baik sesuai manual maintenance log book dari pabrikan masih bisa tetap digunakan.

“Kecuali kalau maskapainya ‘jorok’ ya, istilahnya merawatnya joroklah gitu, bisa jadi problem. Saya harap tidak begitu,” tutur Arista.

Apa evaluasi mendesak yang perlu dilakukan?

Lebih jauh, Arista menjelaskan beberapa hal yang menurutnya perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi dari kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi.

Untuk jangka pendek misalnya, para regulator, maskapai penerbangan maupun auditor menurutnya harus sering melakukan random check terhadap semua komponen dalam industri penerbangan paling tidak sampai musim hujan selesai pada April 2021.

“Random check di bandara, di hangar, random check terhadap manual-manualnya, random check lisensi teknisinya, semua di cek karena musim hujan ini selain cuaca buruk itu juga kadang-kadang runway itu ada genangan air hujan, itu sering kalau musim hujan itu pesawat overshoot ya, karena licin runway,” jelasnya.

Sementara, untuk jangka panjang ia mengatakan perlu ada “audit komprehensif secara total” mengingat dua kecelakaan pesawat terbaru di Indonesia (Lion Air JT 610 dan Sriwijaya Air SJ 182) telah menelan banyak korban. Salah satunya adalah terkait sistem pemeliharaan pesawat di Indonesia.

“Kalau menurut saya ini, bengkel pesawat atau MRO (Maintenance Repair & Overhaul) itu sangat kurang di Indonesia. Yang besar dan punya lisensi internasional itu cuman Lion Air di Batam dan Garuda Indonesia di Cengkareng dan ada satu lagi untuk propeller itu Merpati ya, Merpati Maintenance Facilities Surabaya,” jelas Arista.

“Sedangkan di Indonesia Timur itu hampir tidak ada bengkel MRO untuk pesawat. Hampir tidak ada,” tambahnya.

Oleh karenanya, Arista mendorong ditambahnya bengkel pesawat atau MRO khususnya di daerah Indonesia Timur. “Walaupun di sana itu kebanyakan pesawat-pesawat kecil ya, pesawat propeller, tipe Cessna, grand caravan, twin otter itu banyak di Indonesia Timur. Tapi kan perlu dirawat juga itu, itu kalau ada kecelakaan juga mempengaruhi record safety kita di mata dunia,” tutupnya. (gtp/pkp)