1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ini Soal Bulutangkis dan Olahraga Bung!

13 September 2019

Audisi Umum Beasiswa PB Djarum 2019, diubah menjadi Audisi Umum Beasiswa Bulutangkis. Tak ada lagi logo, merk, dan brand image Djarum, yang identik dengan rokok. Simak opini Andibachtiar Yusuf soal kontroversi itu.

https://p.dw.com/p/3PYwN
Badminton Anthony Sinisuka Ginting aus Indonesien
Foto: Getty Images/AFP

"Kamu siapanya Taufik Hidayat?” tanya petugas imigrasi di bandara Schipol, Belanda pada kawan saya Olivia Hidayat. Kawan saya itu tersenyum dan dengan serta merta menjawab "Sepupunya!” si petugas sumringah dan dengan cepat memberi cap dan mengembalikan paspornya. Hari itu sudah bertahun lampau, tapi demikianlah dunia mengenal kita, negara bulutangkis.

Obrolan diatas terjadi bertahun lampau, saat ketika Taufik masih sangat dominan di dunia bulutangkis internasional. Taufik hanyalah salah satu dari sangat banyak orang Indonesia yang sangat hebat di dunia bulutangkis. Sebut saja dari masa ke masa seperti Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Hastomo Arbi, Simon Santoso sampai generasi terkini macam Tontowi Ahmad dan seterusnya. Kita demikian kuat, terus bersaing dan semua itu tidak bisa didapat begitu saja seperti menanti durian runtuh dari langit.

"Manusia diberikan sekitar 60-an bakat, mana yang terbesar itu akan terlihat jika diasah,” demikian ujar pak Sahala Saragih, dosen idola saya di masa kuliah dulu. Di kemudian hari saya membenarkan segala ucapannya, saya juga percaya lanjutan ucapannya tentang perlunya bakat diasah, dibina dan dikembangkan "Jika Lionel Messi orang Indonesia, saya tidak yakin dia akan sehebat sekarang,” ujar saya di banyak kesempatan, mengingat begitu banyaknya terserak bakat sepak bola di negeri ini yang kemudian sirna begitu saja atau tak pernah berkembang kemampuannya.

PB Djarum… Saya tak yakin di republik atau bahkan di dunia ini yang akan merasa bahwa kata ini merujuk pada sebuah merk rokok ternama dari Indonesia.

Perusahaan yang ditengarai telah menjadikan pemiliknya sebagai orang terkaya di negeri yang memang kaya akan cengkeh dan tembakau ini. Percayalah, ketika mendengar kata di atas maka akan bergema sebuah klub badminton yang sangat disegani tak hanya di Indonesia tapi juga di belahan dunia lainnya.

Klub yang berulang kali melahirkan pemain-pemain hebat, klub yang terus berada di papan atas sirkulasi bulutangkis dunia, klub yang cukup tua dan memiliki fasilitas latihan terbaik. Demikian saya yakini orang mengenalnya, sama seperti ketika orang menyebut PSV Eindhoven tanpa pernah merujuk pada Philips Sports Vereniging alias Persatuan Olahraga Philips, sebuah merk lampu terkemuka asal Belanda. Saya pun tak percaya jika di sekolah sepak bola Red Bull Salzburg atau Red Bull Leipzig para bocah itu dipaksa minum minuman energi Red Bull yang jelas tak cocok bagi metabolisme mereka yang berusia di bawah 10 tahun.

Percayalah, siapapun mendengar nama-nama itu akan merujuk pada sebuah sejarah sepak bola dan pembinaan yang mapan… Bukan merk-merk yang memiliki organisasi tersebut.

Andibachtiar YusufFilmmaker & Sports EnthusiastTwitter & Instagram : @andibachtiar
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Seperti klub-klub modern di barat sana, PB Djarum (saya menyebut nama ini seperti saya menyebut nama Manchester United atau Gamba Osaka-pen) setiap saat selalu mencari bakat-bakat terbaik yang bisa mereka kembangkan.

Mungkin ini bukan demi negara yang menaungi mereka yaitu Indonesia, tetapi untuk olahraga bulutangkis itu sendiri, agar tetap hidup dan terus berkompetisi seperti khittahnya yang pasti.

Terobosan besar

Jika di masa awal sampai akhir abad 20 mereka memburu pemain di sekitaran kota Kudus atau "mengundang” mereka datang ke klub itu. Maka di awal abad ini mereka melakukan terobosan yang kemudian memberi efek besar pada dunia bulutangkis nasional.

Kesempatan mereka yang berada di luar Pulau Jawa jelas berbeda dengan mereka yang berada di dalam pulau Jawa, bahkan saya pun ragu jika kesempatan warga Cilegon bisa sama dengan mereka yang berada di Kediri atau Kudus. Karena di negara yang masih kategori berflower ini, biaya bisa menjadi isu serius untuk menempuh sebuah perjalanan antar kota.

Klub bulutangkis datang ke kota-kota penjuru negerinya untuk melakukan talent scouting adalah hal yang wajar. Sewajar Ajax Amsterdam yang menemukan Nwankwo Kanu di pinggiran kota Lagos atau Manchester City yang menemukan Jadon Sancho.

Klub jelas butuh pemain

Anak-anak kecil itu bukan cuma butuh harapan untuk mengembangkan apa yang dipunya. Mereka juga butuh kesempatan untuk memberitahu sebuah klub ternama bahwa mereka pun punya peluang meraih emas Olimpiade seperti Alan Budi Kusuma atau Taufik Hidayat.

Jadi, apakah yang dilakukan oleh PB Djarum adalah sebuah kampanye penjualan rokok? Mari berpikir ulang. Kita memang sulit melepaskan nama sebuah merk rokok ternama pada klub besar ini, seperti apa iya kita meminta PSV Eindhoven melepas huruf P pada singkatan klub itu hanya karena di negera tempat mereka melakukan scouting sebut saja ada Osram yang sudah memonopoli atau punya perjanjian khusus dengan pemerintah setempat.

PB Djarum sudah sepakat membebaskan peserta audisi mereka mengenakan seragam klub asal mereka masing-masing. Klub-klub yang jelas secara apapun hanyalah remah-remah tempe dibandingkan dengan klub raksasa yang dimiliki oleh perusahaan rokok itu.

Klub sudah melakukan apapun untuk bernegosiasi kecuali satu hal…mengganti nama PB Djarum menjadi sekedar PB misalnya, karena seperti sejak awal saya tuliskan, PSV Eindhoven tak mungkin menjadi Osram Cikampek jika sedang mencari bakat di sekolah dasar-sekolah dasar di Cikampek.

Bagi saya, pemerintah harus segera tegas turun tangan. Ini bukan masalah sebuah eksploitasi produk rokok kepada anak-anak, tetapi justru memberi kesempatan hidup lebih besar pada lebih banyak anak lagi. Sebuah alternatif pekerjaan ketimbang hanya melulu memilih jadi pegawai.

Pemerintah harus turun aktif jadi penengah karena dunia olahraga Indonesia pada faktanya bisa mati tanpa turun serta pihak swasta. Sebut olahraga apa di negeri ini yang besar karena peran pemerintah? Jika memang bisa menyebutkan dengan argumen lengkapnya, silakan saja PB Djarum berganti nama menjadi PB KPAI atau PB Lentera misalnya dan semua anak pun bisa bebas ikut audisi di sana.

@andibachtiar

Filmmaker & Sports Enthusiast

 

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.