1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Hong Kong Tunda Rencana Wajib Vaksin COVID-19 Pekerja Migran

4 Mei 2021

Setelah dikecam sebagai tindakan diskriminatif, pemerintah Hong Kong untuk sementara menghentikan rencana wajib vaksin COVID-19 bagi pekerja migran di sektor domestik.

https://p.dw.com/p/3svjm
Gambar ilustrasi pekerja domestik
Gambar ilustrasi pekerja domestikFoto: Getty Images/AFP/Y. Chiba

Pihak berwenang Hong Kong membantah adanya rencana untuk mewajibkan vaksin COVID-19 bagi ratusan ribu pekerja rumah tangga migran menyusul kecaman dari kelompok hak asasi manusia yang menyebut langkah itu diskriminatif.

Minggu lalu seorang pekerja rumah tangga asal Filipina di Hong Kong terinfeksi varian virus corona yang lebih menular. Setelahnya, pihak berwenang mengatakan bahwa seluruh 370.000 pekerja rumah tangga migran di kota itu harus menjalani tes sebelum tanggal 9 Mei. Para pekerja rumah tangga juga perlu mendapatkan vaksinasi sebelum dapat memperbarui kontrak kerja mereka, kata pihak berwenang.

Namun Pemimpin Hong Kong Carrie Lam pada hari Selasa (04/05) mengatakan bahwa kebijakan wajib vaksin ini ditangguhkan setelah mendapatkan reaksi keras dari serikat pekerja dan kritik dari seorang pejabat pemerintah Filipina.

"Saya telah meminta sekretaris tenaga kerja untuk meninjau seluruh kebijakan, dan berkonsultasi dengan penasihat dan konsulat negara-negara tempat kebanyakan pekerja rumah tangga berasal, apakah vaksinasi wajib dapat dilakukan," ujar Carrie Lam kepada wartawan. Ia menambahkan bahwa kebijakan itu tidak diskriminatif, dan pemerintah masih berencana menyelesaikan tes wajib terhadap semua pekerja rumah tangga (PRT) pada 9 Mei.

Hati-hati atau diskriminatif?

Hong Kong selama ini menjadi salah satu negara tujuan pekerja domestik perempuan, yang sebagian besar berasal dari Filipina, Indonesia, Nepal, dan Sri Lanka. Biasanya para pekerja tinggal bersama majikan mereka.

Keputusan untuk mengetes semua pekerja rumah tangga dibuat karena temuan jenis virus yang sangat mudah menular di seorang pekerja migran yang sempat bertemu dengan pekerja rumah tangga lainnya sebelum dinyatakan positif COVID-19, kata Sophia Chan, Secretary for Food and Health di Hong Kong kepada wartawan. 

"Karena itu, demi kehati-hatian, kami pikir kami harus melakukan tes kepada semua PRT asing di Hong Kong," kata Chan.

Selama masa kuncian atau lockdown, untuk mengendalikan penyebaran virus corona, para pekerja domestik ini dijauhkan dari pertemuan sosial dengan teman-teman mereka pada satu hari libur setiap minggunya.

Namun setelah adanya perintah tes wajib tersebut, pekerja rumah tangga harus antre berjam-jam pada hari Minggu untuk menjalani tes, padahal ini biasanya menjadi hari libur bagi mereka, kata Dolores Balladares, ketua kelompok hak-hak pekerja Filipina United Filipinos di Hong Kong.

"Kami menyambut baik penangguhan vaksin wajib, tetapi kami menyerukan untuk membatalkan seluruh tes wajib dan kebijakan vaksin karena itu menghukum dan mengkriminalkan pekerja rumah tangga," kata Balladares kepada Thomson Reuters Foundation.

"Hong Kong bisa berbuat lebih baik dari itu"

"Kami mendukung pengujian dan vaksinasi secara sukarela. Tetapi mengasingkan kami dan menjadikannya wajib adalah diskriminatif dan mengarah pada stigmatisasi lebih lanjut," kata Balladares, mencatat bahwa temuan klaster COVID-19 sebelumnya di sebuah pusat kebugaran dan studio tari tidak langsung mendorong aparat melakukan tindakan serupa.

"Kami memahami bahwa pengujian dan vaksinasi adalah untuk kesehatan pekerja, pemberi kerja, dan komunitas," ujarnya lebih lanjut. "Tapi kami telah menjadi sasaran pengucilan dan diskriminasi selama pandemi, dan secara tidak adil disalahkan atas wabah itu." 

Banyak penduduk Hong Kong yang ragu untuk divaksinasi sejak proses vaksin dimulai pada Februari 2021. Sebelumnya Carrie Lam mengakui bahwa angka vaksinasi di Hong Kong secara keseluruhan jauh di bawah memuaskan.

Penyediaan vaksin gratis di Hong Kong untuk semua pekerja rumah tangga dinilai banyak kalangan lebih dari cukup, tetapi secara spesifik menargetkan mereka untuk pengujian dinilai "berbau diskriminasi," tulis Sekretaris Urusan Luar Negeri Filipina, Teddy Locsin Jr., lewat Twitter.

"Jika itu adalah bantuan khusus, itu tidak adil untuk (orang yang) berkebangsaan lain. HK bisa melakukan lebih baik dari itu," cuitnya.

Klaster corona di Singapura

Pekerja rumah tangga juga disalahkan atas wabah virus corona di negara lain dengan adanya lonjakan kasus di asrama pekerja asing di Singapura yang menarik perhatian pada kondisi kehidupan mereka yang dinilai jauh dari higienis.

Kementerian Kesehatan Singapura pada hari Senin (03/05) mengatakan pihaknya "telah meminta semua rumah sakit untuk menunda operasi dan admisi yang tidak mendesak" setelah jumlah kasus virus corona selama seminggu terakhir terlihat meningkat.

Calon pasien pun disarankan mengunjungi bagian gawat darurat hanya "untuk keadaan darurat dan kondisi yang mengancam jiwa," kata kementerian sambil memperingatkan waktu tunggu yang lebih lama dari biasanya. Kementerian tersebut melaporkan 17 kasus baru pada hari Senin, 10 di antaranya terdaftar sebagai penularan lokal, lainnya dari luar Singapura.

Tidak seperti kebanyakan negara-negara di Asia-Pasifik, Singapura telah mendorong langkah-langkah perbatasan yang aman, dengan menerapkan gelembung perjalanan atau travel buble bebas karantina dengan Hong Kong yang akan dimulai akhir Mei. Pada Minggu (02/05) Malaysia dan Singapura telah sepakat pada mengizinkan perjalanan darat dengan alasan kemanusiaan.

ae/hp (rtr dpa)