1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Menelisik Lika-liku Pekerja Migran Indonesia

25 September 2020

Diimingi penghasilan besar dan syarat mudah jadi modus banyak perusahaan penyalur untuk memikat para calon pekerja migran. Informasi resmi, sosialisasi, dan kepastian hukum jadi solusi untuk cegah pengiriman ilegal PMI.

https://p.dw.com/p/3iywX
PMI di Hong Kong
Aksi protes PMI di Hong Kong jelang kedatangan Presiden Joko Widodo, pada April 2017 Foto: Getty Images/AFP/D. de la Rey

Di tahun 2006, tanpa memilki keterampilan khusus dan hanya bermodalkan keberanian, Figo Kurniawan (46), warga Kediri, Jawa Timur, memantapkan hati untuk pergi ke Malaysia. Tujuannya hanya satu, yakni mencari pekerjaan demi untuk menafkahi istri dan ketiga orang anaknya.

“Waktu itu yang mendorong melakukan migrasi itu yang jelas karena faktor kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja di kampung halaman,“ tutur Figo kepada DW Indonesia.

Sempat mengikuti proses perekrutan yang sesuai prosedur, harapan Figo untuk bekerja di luar negeri kandas ketika mendapati dirinya tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh pihak perusahaan setibanya di Malaysia. Ia pun terpaksa kembali ke kampung halaman.

Tak putus harapan, Figo kembali mencoba peruntungannya untuk bekerja di Negeri Jiran. Kali ini ia memilih jalur yang tidak resmi alias ilegal. “Memanfaatkan jalur, istilahnya modal sosial yang kita punya yaitu tetangga, keluarga, teman. Kebetulan ada keluarga jauh, ‘Sudah masuk lagi saja pakai visa turis nanti kita masukkan di sini, bantu diuruskan izin kerjanya‘,“ kenang Figo.

Selama 13 tahun Figo berkerja di perusahaan konstruksi besi yang berbasis di Negeri Selangor. Menurutnya, menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) sudah menjadi hal yang umum bagi orang-orang di kampung halamannya.

Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat jadi empat provinsi dengan penyumbang PMI terbanyak. Sementara negara-negara seperti Taiwan, Arab Saudi, dan Malaysia khususnya, adalah negara-negara yang kerap menjadi target para PMI ilegal.

Pertaruhkan nyawa demi kerja di luar negeri

Sebelumnya, Minggu (20/09), enam jenazah Warga Negara Indonesia (WNI) ditemukan di pesisir Pantai Teluk C, Bandar Penawar, Johor, Malaysia. Pada saat yang hampir bersaman, sebanyak sembilan laki-laki yang diduga WNI ditahan otoritas keamanan setempat tak jauh dari lokasi penemuan jenazah. Berdasarkan informasi yang diperoleh, mereka berlayar dari Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau. Jalur pelayaran ini kerap digunakan untuk menyelundupkan barang ataupun manusia. Diduga kuat mereka adalah calon pekerja migran ilegal di negara jiran.

“Geografis, budaya, bahasa, agama berdekatan dan hampir sama,” jelas Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Bobi Anwar Ma’arif, saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (22/09) siang, tentang alasan mengapa Malaysia menjadi primadona.

Syarat pekerja migran

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Bobi menjelaskan setidaknya ada tiga syarat utama agar seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) bisa dikatakan tidak melanggar prosedur.

Pertama, Indonesia dan negara penempatan PMI harus memilki perjanjian tertulis tentang kerja sama penempatan calon pekerja migran.

Kedua, pelaku penempatan PMI haruslah berasal dari badan resmi yakni Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) – dalam konteks pengiriman G2G (Government-to-Government). Sementara bagi calon pekerja migran yang berangkat melalui perusahaan penyalur, harus dipastikan perusahaan tersebut memiliki SIPPPMI atau Surat Izin Perusahaan Penempatan Perkerja Migran Indonesia.

Indonesia Bobi Anwar Ma'arif
Sekjen SBMI, Bobi Anwar Ma'arifFoto: Privat

Ketiga, adalah syarat dari calon pekerja migran itu sendiri. “Satu dia harus berumur 18 tahun ke atas. Kedua dia harus sehat jasmani rohani, artinya dia telah menjalani pemeriksaan kesehatan dan kemudian dibuktikan dengan sertifikat kesehatan. Ketiga dia harus memilki surat keterampilan kerja sebagai bukti dia telah ikut pelatihan, ada uji kompetensinya,” jelas Bobi.

Sekjen SBMI itu mengatakan lebih lanjut, fenomena PMI ilegal sejatinya sudah marak terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Hal ini tidak terlepas dari adanya oknum-oknum penyalur di daerah yang berusaha mengeruk keuntungan dengan mengelabui calon pekerja migran. Syarat yang sangat mudah jadi jerat pemikat.

Izin ekspor barang disalahgunakan untuk ekspor manusia

“Mereka izinnya dari dinas perdagangan dan jasa di daerah. Bagaimana perusahaan sekelas daerah bisa mengirimkan orang ke luar negeri? Jadi izinnya itu untuk ekspor barang, bukan ekspor orang. Masa orang disamakan dengan barang,“ papar Bobi.

Selain itu minimnya informasi resmi dari pemerintah di tingkat daerah, semakin melenggangkan aksi para oknum yang Bobi sebut dengan istilah “middle man.“

“Jadi saat ini pihak swasta sudah banyak membuka lowongan-lowongan kerja melalui media online, dikembangan, dan itu maju. Nah, pemerintah harusnya punya juga sehingga untuk mencari pekerja di luar negeri enggak susah-susah. Informasi ini kan dikuasai sponsor yang ada di desa-desa sehingga kemudian untuk bisa berangkat ke luar negeri harus melalui sponsor, harus melalui calo,“ lanjutnya.

Didalangi sindikat orang kuat

Mengamini Bobi, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengakui adanya campur tangan oknum-oknum dalam fenomena PMI ilegal. Terlebih para PMI ilegal biasanya berakhir menjadi korban perbudakan dan perdagangan orang.

“Kelompok ini, sindikat ini, sulit disentuh karena komplotan dibekingi beberapa oknum yang memiliki atributif-atributif kekuasaan,“ ujar Benny saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (22/09) sore.

Berdasarkan data BP2MI terdapat sekitar 3,7 juta PMI tersebar di 150 negara penempatan. Dari angka tersebut mayoritas PMI ditempatkan di Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong. Namun, data World Bank menunjukkan terdapat sekitar 9 juta PMI. Artinya ada selisih 5,3 juta PMI yang tidak tercatat di dalam data resmi.

“Makanya kami yakin dari 5,3 juta selisih angka antara data kami dan World Bank, bisa dikatakan 80 persen itu adalah mereka yang berangkat secara ilegal. Kenapa tidak bisa dikatakan 100 persen? Karena PMI bekerja di luar negeri ada juga yang bekerja tidak melaui BP2MI, mereka berangkatnya secara mandiri,” papar Benny.

Negara dirugikan triliunan Rupiah

Akibatnya, menurut kepala BP2MI ini negara berpotensi mengalami kerugian triliunan rupiah. Musababnya, PMI menjadi salah satu penyumbang devisa negara terbesar. Pada tahun 2019 saja, para PMI berhasil menyumbang devisa mencapai Rp 159,6 trilun.

"Artinya bisa dibayangkan kalau yang 5,3 juta (PMI ilegal) 80 persen dari angka itu... kalau mereka memilih berangkat secara resmi, maka berapa kali lipat sumbangan devisa dalam bentuk remiten yang akan disumbangkan oleh mereka" imbuh Benny.

Calon PMI di Bekasi, Jawa Barat, yang gagal berangkat ke Arab Sudi
Pada tahun 2019, PMI menyumbang devisa negara mencapai Rp 159,6 triliunFoto: picture-alliance/dpa/M. Irham

Oleh sebab itu, Benny yang dilantik menjadi Kepala BP2MI sejak pertengahan April lalu, terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat yang hendak bekerja di luar negeri untuk menempuh jalur resmi. Mereka nantinya akan difasilitasi negara dan berada di bawah "radar perlindungan negara."

"Menciptakan para pekerja terampil atau profesional melalui pendidikan atau pelatihan secara modul dan kurikulum dibuat seideal mungkin. Penguatan kapasitas, pengetahuan bahasa, penguatan keterampilan atas sektor pekerjaan yang mereka pilih. Juga mereka harus mengetahui budaya negara setempat. Mereka harus paham Undang-Undang Ketenagakerjaan negara setempat. Itu kami bekali semua. Bahkan edukasi dan literasi keuangan kita ajarkan kepada mereka," ungkapnya.

Selain itu Benny mengatakan pihaknya telah membentuk Satgas Pemberantasan Pengiriman Ilegal PMI sebagai upaya pencegahan pengiriman ilegal PMI di lapangan. Adapun awal bulan ini, BP2MI berhasil menggagalkan pengiriman enam calon PMI ilegal ke Kamboja.

Setiap saat terancam deportasi atau penjara

Sadar tidak memilki dokumen resmi, Figo mengatakan bahwa dirinya sering dilanda rasa waswas saat tengah beraktivitas. Selang setahun ia banting tulang di Malaysia, Figo pun memutuskan untuk mengurus segala dokumen terkait status dan pekerjaannya.

Ia pun mengaku masih memilki nasib yang lebih mujur dibandingkan para PMI lainya. Ia bersyukur tidak pernah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi atau eksploitasi dari tempatnya bekerja, seperti yang sering menjadi pemberitaan selama ini.

Namun, sepuluh tahun berlalu, rasa waswas tersebut kembali menggelayut batinnya. Pasalnya, pasca tergulingnya rezim Najib Razak, pemerintah Malaysia di bawah kepemimpinan PM Mahathir Mohamad disebutnya mengubah kebijakan di mana pekerja migran yang sudah bekerja selama 10 tahun harus kembali ke negara asal.

"Ketika Mahathir naik itu, karena ketika menjadi oposisi yang selalu diproteskan kepada pihak berkuasa waktu itu adalah karena terlalu banyak warga asing di Malaysia. Ketika polisi berpatroli ke kampung-kampung, masuk ke pemukiman warga asing, beberapa kali saya bahkan ketika makan ada polisi masuk ya lari," ungkapnya.

Dua tahun bertahan, Figo akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia melalui program amnesti pada Desember 2019 silam. Sedikitnya 110 ribu pekerja migran tak berdokumen dipulangkan ke negara asal.

"Imbauannnya kepada pemerintah (Indonesia) yang harus berupaya agar menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup," pungkas Figo.

Kekosongan payung legalitas

Sementara itu, perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) mengenai Rekrutmen dan Penempatan Pekerja Domestik antara Indonesia dan Malaysia juga telah kadaluarsa sejak tahun 2016 lalu. Hal ini semakin membuat rumit nasib para PMI terutama yang ilegal di negara jiran itu. Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan RI pun diminta untuk segera melakukan pembaruan MoU.

"Kita mengalami kekosongan hukum. Tidak ada hukum yang mengatur tentang penempatan, juga tidak ada hukum yang menjamin tentang perlindungan," tegas Kepala BP2MI, Benny Rhamdani.

"Kita harus punya diginity untuk bicara tegas dengan Malaysia. Karena di satu sisi sekali pun kita menyiapkan satgas, komitmen untuk memberantas sindikat, tapi kalau negara tujuan untuk penempatan main-main pada kebijakan dalam negerinya, dan tetap menerima pekerja yang berangkat secara ilegal, itu sama saja," ujar Benny sekaligus mengakhiri perbincangannya dengan DW Indonesia.

rap/as