1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Publik Minta “Pasal Penodaan Agama” Dicabut

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
27 Agustus 2018

Mungkin karena didorong oleh rasa muak dan kesal yang sudah membuncah, mayoritas masyarakat luas menolak dan meminta “pasal penodaan agama” dicabut. Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/33g3B
Indonesien Moschee Lautsprecher
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Pasal kontroversial itu termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): pasal 156 dan 156a yang berisi delik penodaan atau penistaan agama.

Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia, dipidana dengan pidana penjaran selama–lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi–tingginya empat ribu lima ratus rupiah” (Pasal 156). 

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

"Dipidana dengan pidana penjara selama–lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan ke–Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 156a).

Kesimpulan tentang mayoritas publik yang meminta "pasal penodaan agama” itu dicabut didasarkan pada hasil polling yang saya lakukan di akun Facebookku belum lama ini.

Lebih dari enam ribu orang berpartisipasi dalam polling ini. Hasilnya sekitar 94% dari peserta polling (pollster) menilai pasal penodaan agama "tidak layak”. Hanya 6% saja yang menganggap masih layak dan perlu ada aturan tentang "penodaan agama”. 

Mereka yang menganggap tidak layak rata-rata berargumen kalau pasal penodaan agama itu dalam implementasinya banyak sekali disalahgunakan oleh para oknum penegak hukum dan hanya dijadikan sebagai alat untuk menjerat kelompok minoritas.

Penolakan publik terhadap pasal penodaan agama ini sebetulnya sudah berlangsung cukup lama. Sejumlah kelompok masyarakat, termasuk para pegiat HAM (Hak Azasi Manusia), praktisi dialog agama, atau sekte dan aliran agama tertentu (misalnya Ahmadiyah), beberapa kali memrotes dan miminta Mahkamah Agung (MA) untuk mencabut pasal itu. Tapi selalu nihil. Judicial Review atas pasal penodaan agama ini juga pernah dilakukan di Mahkamah Konstitusi. Tapi lagi-lagi gagal.

Bagi kelompok yang kontra terhadap pasal penodaan agama ini berpendapat bahwa pasal ini tidak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diatur oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia tentunya, untuk menghapus delik penodaan agama dari hukum nasional. 

Tetapi tampaknya pemerintah sendiri, termasuk Kementerian Agama, masih memandang perlu pasal penodaan agama itu. Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, karena Indonesia adalah negara majemuk, maka perlu ada mekanisme legal (hukum) untuk mengatur sengketa soal penghujatan. Pasal penodaan agama itu dibuat, masih menurut Menag, agar masyarakat tidak seenaknya saling menghujat agama dan keyakinan orang lain yang sangat beragam di Indonesia.

Antara idealitas dan realitas memang sering kali tidak sinkron

Antara de facto dan de jure memang sering tidak nyambung. Meskipun pasal penodaan agama itu niat awalnya untuk menjaga ketertiban dan harmoni sosial agar masyarakat Indonesia yang plural itu tidak saling menghina satu sama lain serta tetap berada dalam koridor saling menghormati agama dan keyakinan orang lain, tetapi faktanya tidak selalu demikian. Faktanya tidak selalu semanis seperti yang diharapkan atau diidealkan.

Terbukti, hari demi hari, pasal penodaan agama itu terus memakan korban, baik individu maupun kelompok sosial (misalnya sekte agama), baik Muslim maupun non-Muslim.

Di antara korban yang paling menyita perhatian publik nasional maupun internasional adalah yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur Jakarta), yang diganjar dua tahun penjara dalam "kasus al-Maidah” yang kontroversial itu. Ahok diproses dalam sebuah sidang pengadilan yang jauh dari rasa keadilan serta penuh dengan intrik, tekanan massa, dan aroma busuk persekongkolan elit politik, bisnis, dan agama.

Kini, pasal penodaan agama kembali memakan korban yang juga menyita perhatian publik luas.

Korbannya adalah Ibu Meiliana dari Tanjung Balai, Sumatra Utara. Oleh Pengadilan Negeri Medan, ia diganjar 1,8 bulan penjara hanya meminta pihak masjid untuk mengecilkan suara toa (pengeras suara) pada waktu azan (seruan salat) karena dianggap terlalu keras dan bising.  

Menurut Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia, sepanjang tahun 2017, ada sekitar 12 orang yang dipidana karena terjerat pasal "penodaan agama”. Sementara itu data dari Human Rights Watch menyebutkan, sejak era Presiden Joko Widodo (2014–), ada sekitar 22 korban pasal penodaan agama. Jumlah terbesar terjadi di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (2004–14) dimana ada sekitar 122 korban yang terjerat kasus penodaan agama.

Kasus penodaan agama ini meningkat drastis sejak era reformasi, khususnya sejak SBY berkuasa. Sebelumnya, sejak diberlakukan pasal penodaan agama pada tahun 1965, hanya segelintir orang saja (sekitar 9 orang) yang menjadi korban penodaan agama ini.     

Menurut sejumlah pakar hukum, Pasal 156 dan 156a ini merupakan pasal yang disisipkan dalam KUHP berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Tahun 1965 No. 1 Pasal 4 (Lembaran Negara 1965 No. 3).

Oleh karena itu, seharusnya dalam memroses sebuah hukum yang menyangkut delik penodaan agama ini, para penegak hukum harus memperhatikan Pasal 1 di PenPres Tahun 1965 tersebut (yang sudah menjadi UU) karena disitu dijelaskan lebih rinci tentang apa yang dimaksud atau dalam konteks apa seseorang bisa dikenai tuduhan "penodaan agama.”

Pasal tersebut berbunyi:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Tunakeadilan

Tetapi memang sering kali putusan-putusan hukum tidak memperhatikan "konteks hukum” sehingga sering kali jauh dari rasa keadilan. Sudah seabrek bukti tentang "pengadilan minus keadilan” ini.

Bukan hanya itu saja, para penegak hukum juga sering kali memutuskan delik penodaan agama ini secara sepihak tanpa melihat dan memperhatikan peraturan hukum lain mengenai "kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum” (misalnya UU No. 9 Tahun 1998).    

Ironisnya lagi, banyak penegak hukum, dalam kasus penodaan agama ini, yang tunduk pada tekanan massa dan kemauan kelompok tertentu, bukan patuh pada norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku. Akhirnya, pasal-pasal dipermainkan, dimanipulasi, dan "diperkosa” oleh para "penegak hukum” untuk menjerat orang-orang yang oleh "massa dan kelompok tertentu” tadi harus dihukum.

Maka jadilah para penegak hukum yang "tunakeadilan” karena menjadi corong massa dan kelompok tertentu.

Jadi, salah satu problem mendasar dari implementasi pasal penodaan agama ini adalah mental-mental para penegak hukum yang pengecut dan minus rasa keadilan sehingga tidak mampu membaca, melihat, dan mengadili perkara delik penodaan agama dengan fair dan adil. Siapapun yang masih mempunyai otak waras dan hati nurani yang sehat akan bisa merasakan tentang ketidakadilan proses-proses hukum tentang delik penistaan agama ini.

Masak seorang ibu yang minta volume pengeras suara di masjid dikecilkan saat azan saja mendapat hukuman 1,8 bulan penjara sementara mereka yang membakar dan merusak tempat-tempat ibadah (vihara dan kelenteng) hanya dikenai hukuman kurungan penjara sebulanan saja?   

Selama mental-mental para penegak hukum belum "diruwat” dan diperbaiki, maka selama itu pula pasal penodaan agama masih akan menjadi momok di masyarakat. Selama para kelompok ekstremis agama itu masih berkeliaran dengan bebasnya di masyarakat, maka selama itu pula pasal penodaan agama akan terus dijadikan sebagai dalih dan "palu godam” untuk membungkam kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai rival dan musuh.

Menghapus atau mempertahankan pasal penodaan agama ini memang pilihan yang sama-sama sulit dan pelik. Jika pasal penodaan agama itu dihapus, maka kelompok-kelompok agama radikal-intoleran akan semakin brutal dan garang dalam menyerang, melecehkan, dan menghina orang, kelompok sosial, dan umat agama lain yang mereka anggap sebagai "musuh” lantaran tidak adanya "payung hukum” yang mengatur tentang "penistaan agama”.

Tetapi di pihak lain, jika tetap dipertahankan tanpa membenahi dan membereskan "mafia peradilan”, penegak hukum yang bermental pengecut, serta kelompok ektremis-intoleran, maka pasal penodaan agama itu akan tetap membawa korban di kemudian hari.

Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi dan renungan bersama agar ke depan negara ini bisa menjadi lebih baik dan publik menjadi lebih arif dalam menyikapi persoalan dan problematika sosial di masyarakat majemuk nan kompleks seperti Indonesia ini.

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam  kolom komentar di bawah ini.

Sumanto Al Qurtuby