1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Gerakan Berbasis Meme, Siapa Takut? 

Geger Riyanto
27 Juni 2020

Ada yang berbeda dalam serial unjuk rasa termutakhir di Indonesia. Kesan pertama Geger Riyanto, seperti melihat Twitter dipindahkan ke dunia nyata. Mengapa demikian? Bagimana fenomenanya dalam gerakan mendatang?

https://p.dw.com/p/3cuC7
Unjuk rasa di Indonesia
Demonstrasi di YogyakartaFoto: DW/R. Purbaya

Poster-poster dalam beberapa kali demonstrasi setahun terakhir, sebelum virus corona merebak, adalah ungkapan cerdik, menggelitik tapi mengena. Pesertanya adalah anak-anak belia yang tak sungkan dengan ekspresi ironis dan nakal. 

Dan yang lebih penting? Mereka mengundang lebih banyak orang untuk berkecimpung ke dalamnya dengan viralitasnya.  

Hari-hari itu, jujur saja, saya takjub. Rancangan Kitab Undang-undang Hukup Pidana (RUKUHP) sudah hendak disahkan. Palu nyaris diketuk untuk sejumlah produk legislasi bertaburan pasal bermasalah dan rentan melanggar kepentingan orang banyak. Saya sudah pasrah RUU-RUU tersebut tak bisa dibendung lagi melihat bagaimana selama ini DPR maupun pemerintah tak pernah menggubris keberatan dari masyarakat sipil. 

Sekonyong-konyong saja, unjuk rasa "Reformasi Dikorupsi" dan "Gejayan Memanggil" pecah. Selasa, 24 September 2019, jalanan depan Gedung DPR menjadi lautan manusia. Aksi Gejayan Memanggil yang berlangsung sehari sebelumnya juga berhasil menghimpun pengunjuk rasa dalam jumlah spektakuler. Yang sama atau bahkan lebih penting, mahasiswa di banyak daerah bergerak dan mengepung pusat-pusat pemerintahan. 

Saya tak mengikuti unjuk rasa Reformasi (tentu saja, saya masih SD pada waktunya). Saya tak terlibat dalam unjuk rasa 212 (tak mungkin, saya adalah minoritas yang secara tak langsung dibidik dalam aksi bersangkutan). Namun, saya tahu, jumlah massa yang tergabung dalam serangkaian aksi di bulan September itu historis. 

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
Geger RiyantoFoto: Privat

Mempermudah Akses 

Pertanyaan yang lantas getol dilayangkan untuk unjuk rasa bersejarah ini adalah, apakah semua pengunjuk rasa memahami substansi yang diusung? Mengapa anak STM yang tak mungkin memahami duduk perkaranya sampai terlibat? 

Hal ini juga menjadi titik lemah yang tak habis-habis diserang oleh pihak-pihak yang ingin membelejeti gerakan. Kabar burung berembus bahwa orkestrator unjuk rasa sengaja mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya agar dapat menyulut kerusuhan. Percakapan WhatsApp yang menunjukkan anak-anak STM dibayar beredar dan belakangan terungkap ia direkayasa oleh anggota kepolisian. 

Saya jengkel dengan upaya-upaya melucuti unjuk rasa ini. Lebih-lebih, sedari awal apa yang dilawan olehnya adalah ketidakmasukakalan tingkat tinggi—produk legislasi yang menginjak-injak hak warga dan hendak disahkan dalam rangka kejar target belaka. Namun, tidak bisa disangkal juga bahwa watak memetic rangkaian unjuk rasa bersangkutan mempermudah masyarakat luas, wabilkhusus generasi muda, untuk mengaksesnya. 

Pelbagai poster demonstrasi Gejayan Memanggil beredar di mana-mana selang beberapa jam saja setelah diambil gambarnya. Salah satunya poster berbunyi, “Asline mager pol tapi piye meneh? DPR’e pekok!” (Sebenarnya malas bergerak tapi mau bagaimana lagi? DPR-nya dungu!). Ungkapan dalam poster ini (mager) sangat akrab di telinga anak muda. Dengannya, seruannya terdengar benar-benar dari mulut mahasiswa teman kita, tidak menggurui, sekaligus memperlihatkan kemendesakan situasi politik Indonesia. Nilai kejenakaan sekaligus urgensi menjadikannya materi yang sangat mudah berjangkit di media sosial. 

Pada hari-hari itu juga, saya juga mendesain dan mengunggah sebuah meme untuk menimpali celetukan-celetukan miring terhadap gerakan ini. Saya dapat saja menulis sebuah esai panjang buat menampik pandangan tak masuk akal “mahasiswa seharusnya belajar saja.” Namun, saya memutuskan menjatuhkan pandangan tersebut dengan ungkapan yang langsung tercerap pun jenaka. 

Saya tak mempunyai pengikut yang sangat banyak di Twitter. Namun, cuitan meme tersebut langsung disambut oleh khalayak yang tergulung animo demonstrasi dan dalam sekejap ada di mana-mana. 

Saya sadar, saya tak dapat berargumentasi dengan meme tersebut. Kenyataan-kenyataan rumit harus dikorbankan demi tersampaikannya pesan yang menggelitik dan langsung terpahami. Demikian juga dengan poster-poster demonstrasi seperti “Entah apa yang merasukimu, DPR”. Namun, ekspresi-ekspresi semacam membuka pintu luas-luas bagi kawula muda untuk masuk ke dalam gerakan. Lagi pula di tengah dari semuanya, ada tuntutan-tuntutan yang diformulasikan secara jelas. 

Merengkuh Meme 

Sejumlah mantan aktivis punya kesinisannya terhadap aksi-aksi demonstrasi ini tak lain karena watak memetic-nya. Demonstrasi dianggap tidak mempunyai stamina. Ia redup seketika momennya redup alih-alih menjelma menjadi kekuatan politik penanding. Banyak yang terlibat berusaha melakukan panjat sosial, memajang diri di media sosial, dan tidak punya kesungguhan berjuang. Mereka kecut seketika polisi terbukti mampu bertindak brutal dan kampus maupun sekolah mengambil tindakan. 

Tapi, tebak apa? Politisi-politisi jebolan aktivis Reformasi ialah mereka yang paling gamblang melakukan panjat sosial melalui gerakannya. Pun, tidak ada sosok diktator yang bisa dijatuhkan dengan demonstrasi bersangkutan bila orang-orang menganggap Reformasi berhasil karena melengserkan Suharto. Yang ada adalah mesin politik yang dua puluh tahun selepas demokratisasi menjadi sangat terlatih mencetuskan kebijakan yang menguntungkan segelintir. Mencopotnya tak semudah mencopot satu atau dua pejabat tinggi negara. 

Kita mungkin malah justru mesti merengkuh kenyataan bahwa mobilisasi massa kini tak bisa dipisahkan dari mobilisasi populer. Gerakan berbasis sentimen religius akan menggunakan dalil-dalil agama, yang rentan ditunggangi kepentingan politik, untuk mobilisasi massanya. Kita yang tak sampai hati mengapitalisasi agama? Ekspresi memetic dapat menjadi penggantinya. 

Tentu saja, membuat meme tidak akan menyelesaikan persoalan apa pun. Ungkapan-ungkapan pintar dan menggelitik tidak akan menggantikan kritik politik yang tajam. Akan tetapi, tak ada salahnya ia dijadikan strategi menjangkau khalayak yang punya masalah hidupnya masing-masing dan tak punya waktu mencermati kelaliman elite. 

Jadi, gerakan mana yang mau dibuatkan meme? 

 

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.