1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

SJW Mungkin Menyebalkan tapi Pesan Mereka Serius

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
2 November 2019

Anda sudah tahu istilah—cebong dan kampret. Kini, kita juga punya SJW. Apa itu? Apakah Anda di antaranya? Simak opini geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/3RYkx
Spanien Feminismus l International Women's Day in Barcelona
Foto: picture-alliance/NurPhoto/V. Rovira

Tiga dari lima warga Twitter pernah bertengkar dengan SJW. Baru dengar? Tentu saja. Pasalnya, saya bohong. Tak mungkin ada statistik seperti itu seakan para pembuatnya tak punya pekerjaan yang lebih penting.

Namun, saya tak mengada-ngada kalau saya bilang, "Social Justice Warrior" atau SJW punya jejak sendiri saat ini dalam kehidupan kita. Dan dua reputasinya yang paling santer saat ini tak pernah lepas dari asosiasi biang keributan.

Reputasinya yang pertama?

Sebagai pilar ketiga dinamika politik Indonesia kiwari. Anda sudah tahu dua pilar yang saya maksudkan—cebong dan kampret. Kini, kita juga punya SJW. Mereka dikenal sebagai gerombolan nyinyir sok independen yang bisa menyerang cebong maupun kampret tanpa pandang bulu. Mereka membongkar aib-aib penguasa tanpa tanggung-tanggung tapi juga tak menyediakan solusi persoalan yang masuk akal. Mereka memprovokasi massa hanya untuk mengerek dirinya sendiri ke atas panggung.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Luhut menyebut mereka orang-orang kurang kerjaan. Para pendengung rezim mengenal mereka sebagai orang-orang suci (sementara, seperti lagu Young Lex, negara penuh dosa).

Kedua, SJW adalah gerombolan yang biasanya mendatangi unggahan-unggahan tak pantas di media sosial dan mengajak berkelahi pengunggahnya. Pengunggahnya bahkan tak tahu mereka mengunggah konten-konten tak pantas. Tahu-tahu saja, ketika mereka bangun tidur notifikasi mereka sudah membeludak. Kelakar mereka tentang perempuan yang suka menghabiskan uang pasangan, katakanlah, tahu-tahu sudah menyebar dan dihakimi di mana-mana.

Dan Anda mungkin sudah tahu juga pada titik ini, SJW bukanlah panggilan bermartabat. Katanya, SJW pernah lekat dengan konotasi memuliakan. Ia disandangkan dengan membanggakan kepada figur-figur yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi. Namun, asosiasi-asosiasi yang sudah saya runut bukanlah asosiasi yang membanggakan.

Saya tahu beberapa orang yang kesehariannya memenuhi kualifikasi untuk dipanggil sebagai SJW. Mereka menampik diidentifikasi dengan atribut tersebut. Bilapun mereka menggunakannya, mereka menggunakannya secara satire.

Berikut adalah satu dialog yang sempat terjadi di antara dua sobat aktivis saya.

"Lu ngapain sih bikin ramai begini di media sosial?” ujar satu kawan merujuk kepada cara kawannya yang lain mengampanyekan acara mereka. "Dasar lu SJW!”

"Enggak! Elu yang SJW!”

Dan buat saya, konotasi peyoratif SJW bermasalah. Tak sedikit pesan yang hendak disampaikan oleh para SJW bermakna serius. Pendudukan mereka sebagai SJW langsung membunuh pesan mereka bahkan sebelum kita mendengarnya. Kita kontan menganggap sang pembawa pesan pretensius, panjat sosial, cari panggung, tak realistis, tidak mau bertindak nyata. Akhirnya, apa yang disampaikannya kandas seiring kita menafikan sang pembawa pesan.

Katakan saja, pesan yang diusung oleh "biang SJW,” Dandhy Dwi Laksono. Dalam filmnya Sexy Killers, yang kemungkinan besar sudah Anda tonton, ia mengungkap keterlibatan orang-orang dekat presiden dalam bisnis batubara. Ketika film ini ditayangkan dan meledak, lucunya, tak sedikit warga awam yang seumur-umur tak pernah terlibat politik praktis mendadak menjadi realis politik.

Mereka tidak menampik fakta-fakta yang diungkap film tersebut. Mereka justru mempertanyakan motif Dandhy menyampaikannya. Mereka menganggap adalah hal yang wajar penguasa memiliki bisnis. Bukan masalah pula, bagi mereka, bisnis tersebut berbahaya bagi lingkungan karena batu bara masih satu-satunya solusi bagi kebutuhan energi di Indonesia.

Fenomena ini miris

Dandhy mengkritik dengan masuk akal. Namun, kritik tersebut kandas semata karena "motif Dandhy”. Orang-orang memilih untuk membela secara tak masuk akal dan mati-matian penguasa yang tak menghidupi mereka, kebijakan-kebijakannya tak terbukti berbeda dengan penguasa lain, dan kongsi bisnisnya membahayakan hak mereka sebagai warga negara.

Mungkin, ada benarnya apa yang pernah disampaikan Joss Whedon, sutradara Avengers. "Bikinlah yang gelap, bikinlah yang muram, bikinlah yang keras, namun, tolonglah, jangan lupa berkelakar.”

Keberjarakan khalayak kepada SJW, boleh jadi, tak lepas dari ekspresi-ekspresi viral mereka yang acap muram. Ekspresi-ekspresi viral SJW juga bisa jadi terkesan membedakan diri karena keseriusannya yang jauh dari keseharian kebanyakan orang. Kelakar dalam hal ini, mungkin dapat menolong pembaca untuk terkoneksi dengan pesan para SJW. Dan poster-poster demonstrasi "Reformasi Dikorupsi” merupakan referensi yang membantu.

Dan mungkin benar apa yang dicoba oleh Gerakan Gejayan Memanggil. Gerakan mereka menggugat sejumlah persoalan akut dengan sengaja dirancang untuk tak menonjolkan tokoh. Kita skeptis dengan SJW karena menganggap mereka memprovokasi publik dalam rangka mencuri perhatian untuk diri mereka sendiri. Kalau memang begitu logika publik, mungkin, ada baiknya "diri-diri” tersebut kita hilangkan. Segala bentuk sinyal halus mencari panggung dalam ekspresi mengampanyekan isu sosial perlu diredam.

"Social justice” adalah frasa yang inheren dalam term SJW. Saatnya memastikan isu keadilan sosial lebih utama diperhatikan alih-alih sosok pengampanyenya.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.