1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cek Fakta: Ganja, Berbahaya atau Tidak?

Hannah Fuchs
21 Februari 2024

Di Jerman, konsumsi ganja mungkin akan dilegalkan mulai bulan April, namun negara-negara lain masih ragu-ragu. Ada banyak mitos yang beredar di seluruh dunia tentang ganja, mariyuana, hemp dan sejenisnya.

https://p.dw.com/p/4ccWi
Gambar ilustrasi bahaya ganja
Ganja: Bahaya atau Tidak?Foto: Guillermo Gutierrez/Zumapress/picture alliance

Apakah ganja seharusnya dilegalkan saja? Beberapa pemerintahan telah memutuskan untuk melegalkannya dalam beberapa tahun terakhir, misalnya di Kanada, Afrika Selatan, beberapa negara bagian Amerika Serikat dan Thailand. Namun, di banyak belahan dunia, kepemilikan dan konsumsi ganja dilarang dan sering kali mereka yang terkait dengan benda itu dihukum berat.

Di Jerman, parlemen Jerman Bundestag dijadwalkan melakukan pemungutan suara mengenai undang-undang baru mengenai ganja pekan ini. Karena ketiga partai pemerintah mendukung undang-undang tersebut, maka pengesahan aturan baru ini kemungkinan bakal lolos. Kemudian mulai tanggal 1 April, kemungkinan orang dewasa di Jerman boleh membudidayakannya sendiri, memiliki dan mengonsumsi ganja dalam jumlah kecil.

Namun, topik legalisasi ganja masih kontroversial dan segala macam klaim beredar secara online dan tidak selalu dapat dibuktikan kebenarannya. Tim pemeriksa fakta DW melihat beberapa penelitian dan berbicara dengan para pakar untuk mendapat kejelasan akan beragam klaim yang "wara-wiri" di internet.

Apakah ganja merupakan "getaway drug" atau pintu gerbang ke arah narkotika dan obat-obatan (narkoba)?

Klaim: Ganja adalah "pintu gerbang bagi banyak hal lain,” itu misalnya dikatakan Perdana Menteri Negara Bagian Bayern, Markus Söder.

Cek fakta DW atas klaim itu: Tidak berbukti.

Teori bahwa penggunaan ganja mengarah pada penggunaan obat-obatan yang lebih keras dan berbahaya mungkin merupakan salah satu argumen paling umum dan tua dalam menentang legalisasi. Faktanya adalah: Penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara konsumsi ganja dan konsumsi narkoba yang lebih keras setelahnya. Semakin dini dan semakin sering orang menggunakan ganja, semakin tinggi kemungkinan penggunaan obat-obatan terlarang lainnya di kemudian hari. Namun korelasi bukanlah hubungan sebab-akibat atau kausalitas!

"Jika Anda melihat bagaimana seseorang menjadi pengguna heroin, ada kemungkinan yang sangat tinggi bahwa dia juga menggunaan ganja sebelumnya,” tegas Dr. Stefan Tönnes, Kepala Toksikologi Forensik di Rumah Sakit Universitas Frankfurt. "Tetapi jika kita melihat sebaliknya, berapa banyak pengguna ganja yang menggunakan heroin – itu sangat, sangat sedikit.” Hal ini menunjukkan bahwa korelasi saja bukanlah bukti adanya hubungan sebab-akibat atau kausalitas.

Teori ganja sebagai "getaway drug" memang tidak bisa sepenuhnya disangkal, kata Dr. Eva Hoch, psikolog di departemen psikiatri di Rumah Sakit Universitas München. Dia telah mempelajari secara ilmiah efek ganja selama sekitar 20 tahun.

"Ganja secara alami menstimulasi pusat penghargaan (reward) di otak dan dengan demikian secara farmakologis dapat meningkatkan afinitas terhadap narkotika.”

Tapi ada juga sejumlah faktor risiko konsumsi obat-obatan terlarang lainnya, selain ganja. Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (NIDA) juga menyatakan, perlu penelitian lebih lanjut apakah  ganja berfungsi sebagao "pintu gerbang" ke narkoba. Klaim ganja sebagai "getaway drug" masih belum terbukti kebenarannya sampai saat ini.

Apakah alkohol lebih berbahaya dibandingkan ganja?

Klaim: Alkohol "100 kali lebih berbahaya daripada ganja," tulis posting di X (dulu Twitter) ini. 

Cek fakta DW atas klaim itu: Menyesatkan.

Sering kali diklaim – terutama oleh para pendukung legalisasi ganja– bahwa alkohol jauh lebih berbahaya daripada ganja. Beberapa postingan media sosial dan artikel surat kabar melaporkan sebuah penelitian yang mengklaim alkohol 114 kali lebih berbahaya daripada ganja.

Namun, pernyataan ini tidak dapat dipertahankan karena jumlah tersebut tidak tercermin dalam penelitian. Karena efek ganja berkembang dengan cepat ketika dihisap, kekuatan keracunan dapat dikontrol dengan lebih baik di sini dibandingkan dengan alkohol, kata Stefan Tönnes. Hal ini mengurangi risiko overdosis. Namun: "Overdosis juga dapat terjadi ketika ganja dikonsumsi sebagai makanan yang dipanggang.”

Efek negatif kedua obat tersebut tidak hanya dimulai dari overdosis. Efek memabukkan yang berbeda dari alkohol dan ganja  membawa bahayanya masing-masing, jelas Stefan Tönnes. Dampaknya terhadap lingkungan sosial dan kesehatan mental juga harus diperhitungkan. "Alkohol memiliki efek yang sangat penting, yaitu meredam rasa malu dan meningkatnya kemauan untuk mengambil risiko. Hal ini sebenarnya tidak terjadi pada ganja. Namun di sini kita menghadapi risiko paranoia yang tidak dapat diprediksi, dan sensitivitas individu terhadap efek ganja dapat bervariasi."

Dampak negatif konsumsi alkohol bagi tubuh sudah lama terbukti. "Alkohol memiliki efek tinggi dalam merusak organ dan menyebabkan lebih banyak kerusakan pada kesehatan dibandingkan ganja,” kata peneliti kecanduan Eva Hoch. Namun: "Itu juga tergantung pada intensitas penggunaan, bukan hanya substansinya.”

Mengidentifikasi dengan jelas risiko kesehatan ganja menjadi lebih sulit karena berbagai bentuk konsumsinya, kata Eva Hoch. Di Eropa misalnya, ganja sering kali diisap dengan tembakau, yang diketahui memiliki efek karsinogenik yang berbahaya.

Overdosis akibat alkohol lebih mungkin terjadi dibandingkan akibat ganja. Meski dalam jumlah kecil, kedua substansi itu dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental penggunanya serta berdampak buruk bagi orang-orang di sekitarnya. Bahaya ini sulit dibandingkan dalam angka - jadi klaim bahwa alkohol 114 kali lebih berbahaya daripada ganja adalah hal yang menyesatkan.

Bisakah meninggal karena penggunaan ganja yang berlebihan?

Klaim: "Belum ada kematian akibat overdosis ganja,” klaim tweet ini.

Cek Fakta DW atas klaim itu: Benar.

Menurut Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba (NIDA), belum ada kematian akibat overdosis yang hanya disebabkan oleh ganja. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) juga menyatakan bahwa "kemungkinan overdosis yang fatal tidak mungkin terjadi.”

Meski demikian, konsumsi ganja masih dibicarakan sebagai penyebab kematian dan menjadi bahan kajian ilmiah.

Pada tahun 1970-an, anjing dan monyet diuji untuk menentukan dosis ganja yang berpotensi berakibat fatal. Hewan-hewan tersebut diberi THC dosis tinggi secara oral. Mereka menunjukkan gejala seperti mengantuk, gemetar dan muntah - namun selamat.

Penelitian pada hewan sulit untuk ditransfer ke manusia. Namun demikian, hal yang sama juga berlaku bagi kita: "Dosis mematikan ganja sangat, sangat tinggi,” jelas Eva Hoch. "Sangat kecil kemungkinannya manusia mengonsumsi sebanyak itu.”

Para peneliti di Kings College di London mencoba mencari tahu secara retrospektif apakah ganja bisa berakibat fatal bagi manusia. Mereka memeriksa semua kematian yang terjadi di Inggris antara tahun 1998 dan 2020 yang melibatkan ganja. Namun, di hampir semua kasus, ganja bukan satu-satunya obat yang dikonsumsi - rata-rata ada tambahan tiga hingga tujuh zat lain terdeteksi: Opiat, alkohol, juga obat-obatan seperti obat penenang atau obat tidur.

Dari empat persen responden, para peneliti menemukan ganja menjadi satu-satunya penyebab kematian, biasanya akibat cedera yang diderita saat mabuk. Dalam satu kasus, keracunan ganja dapat mengakibatkan kematian. Namun, masih belum jelas apakah dosis tunggal menyebabkan kematian atau durasi konsumsi yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kematian.

Eva Hoch menambahkan bahwa "ada kasus kematian terkait ganja lainnya yang telah dipublikasikan.” Hal ini dilaporkan terkait dengan kecelakaan, bunuh diri atau komplikasi kardiovaskular seperti serangan jantung. Namun sulit untuk mengklarifikasi penyebab kematian ini.

Menghisap ganja tidak baik bagi jantung

NIDA juga memperingatkan tentang risiko yang dapat timbul dari peningkatan detak jantung akibat konsumsi ganja. Ganja meningkatkan detak jantung hingga tiga jam setelah merokok. Efek ini dapat meningkatkan risiko serangan jantung, katanya.

"Ganja jelas berdampak pada sistem kardiovaskular,” kata Stefan Tönnes. "Oleh karena itu, orang-orang yang sangat sensitif, yang sudah ada sebelumnya, atau bahkan mungkin pernah mengalami kerusakan, mungkin bereaksi sangat sensitif terhadap ganja.”

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hubungan antara konsumsi ganja dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (CVD). "Anda tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa hal ini dapat mengancam jiwa,” kata Tönnes.

Mengapa overdosis tunggal – alias cuma ganja (mungkin) tidak berakibat fatal?

Namun risiko kematian akibat overdosis ganja "dapat diabaikan,”demikian kesimpulan para peneliti di Kings College.

Terlepas ganja yang diperlukan dalam jumlah besar, hal ini juga dianggap tidak mungkin secara fisiologis, kata Eva Hoch. Kehadiran reseptor cannabinoid yang sangat rendah di batang otak menjelaskan mengapa ganja – setidaknya pada orang yang tidak pernah menderita penyakit sebelumnya – tak begitu besar efeknya pada pernapasan atau fungsi tubuh penting lainnya, seperti tekanan darah atau detak jantung.

Reseptor opioid, sebaliknya, memainkan peran yang lebih besar di batang otak, itulah sebabnya overdosis heroin dapat menyebabkan gagal napas.

"Alkohol juga dapat mempunyai efek melumpuhkan pada sistem saraf pusat, terutama pada pusat pernapasan,” kata Stefan Tönnes, "dan karenanya menyebabkan kematian.”

Apakah ganja membunuh sel-sel otak?

Klaim: "Marijuana tidak membunuh sel-sel otak,” klaim akun X ini.

Tweet ini juga menyebutkan bahwa sebuah penelitian mengatakan ganja dapat membantu menumbuhkan kembali sel-sel otak."

Cek fakta DW atas klaim itu: Tidak terbukti.

Bagaimana ganja atau mariyuana- sebutan untuk bunga kering yang mengandung resin dan daun kecil tanaman rami betina di dekat bunganya - memengaruhi otak? Penelitian pertama yang menunjukkan bahwa penggunaan ganja membunuh sel-sel otak terjadi pada tahun 1970-an. Psikiater Amerika Serikat yang kontroversial, Robert Heath, dari Tulane University Medical School di New Orleans, menjadi berita utama ketika dia mengatakan dia telah membuktikan hal ini dengan menggunakan eksperimen dengan monyet rhesus.

Namun, eksperimen kualitatif  itu juga menuai banyak kritik. Hasil penelitian tersebut kemudian dibantah oleh peneliti dari National Center for Toxical Research in Arkansas.

Banyak hipotesis, tidak ada kejelasan

Hingga saat ini, penelitian tentang efek jangka panjang ganja terhadap struktur otak manusia menunjukkan hasil yang bertentangan.

Eva Hoch juga mengikuti hipotesis dan "ledakan publikasi” seputar ganja. "Memang benar ganja mengganggu neurofisiologi,” katanya. Namun ketika ditanya seberapa neurotoksik (merusak otak) – bahan aktif utama dalam ganja -  tetrahydrocannabinol (THC) sebenarnya, dia tidak bisa memberikan jawaban yang jelas. Topik ini sangat kontroversial dan diperlukan penelitian lebih lanjut.

Belum banyak yang diketahui mengenai dampak langsung dan jdan dampak angka pendeknya. Telah didokumentasikan dengan baik bahwa kemampuan mental tertentu mengalami gangguan setelah penggunaan ganja akut, seperti memori jangka pendek, koordinasi psikomotorik, atau untuk berkonsentrasi.

Jika dikonsumsi secara kronis, efeknya bisa bertahan berhari-hari. Namun, gejala tersebut tampaknya dapat disembuhkan setelah beberapa minggu berpantang.

Generasi muda berisiko

Tidak dapat disangkal bahwa konsumsi ganja khususnya dapat merusak otak anak-anak, karena otak berkembang secara signifikan dalam fase transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, demikian Eva Hoch memperingatkan.

CDC juga memperingatkan bahwa penggunaan ganja sebelum usia 18 tahun dapat memengaruhi cara otak membangun koneksi untuk fungsi-fungsi seperti perhatian, memori, dan pembelajaran, namun juga menekankan bahwa efek penggunaan ganja pada otak bergantung pada banyak faktor, seperti misalnya jumlah THC, seberapa sering dikonsumsi, usia pertama kali digunakan, dan apakah penggunaan disertai dengan zat lain, seperti alkohol atau tembakau.

Efek jangka panjang pada otak juga bisa disebabkan oleh faktor selain ganja, seperti genetika, lingkungan rumah, atau faktor lain yang tidak diketahui.

Pada tahun 2019, sebuah penelitian menimbulkan kehebohan yang menunjukkan bahwa lebih banyak materi abu-abu terbentuk di area tertentu di otak pada orang muda setelah merokok ganja. Namun bahkan para peneliti yang terlibat pun tidak ingin mengambil posisi yang jelas mengenai apakah peningkatan materi abu-abu itu dianggap bermanfaat atau berbahaya. Namun pada prinsipnya, klaim bahwa ganja dapat menumbuhkan sel-sel otak baru adalah hal yang menarik dan perlu dikembangkan lebih lanjut di masa depan, kata Eva Hoch.

Percobaan awal pada hewan berfokus pada efek cannabidiol (CBD) pada neurogenesis. CBD, bersama dengan THC, adalah salah satu cannabinoid paling terkenal, yaitu senyawa kimia yang ditemukan dalam ganja. Perbedaan kecil namun halus: THC memiliki efek psikoaktif, CBD tidak.

Peneliti kecanduan Eva Hoch berpendapat bahwa sistem ganja dalam tubuh perlu diteliti lebih lanjut: "Kapan cannabinoid meningkatkan kesehatan dan kapan menimbulkan risiko?" Hingga saat ini, lebih dari 140 cannabinoid telah ditemukan. Sebagian besar dampaknya belum diteliti.

Namun produk ganja yang tersedia di pasar gelap memiliki profil cannabinoid yang sama sekali tidak jelas. Produk tersebut biasanya mengandung sedikit CBD, namun banyak mengandung bahan aktif utama THC yang memabukkan. Campuran berbahaya seperti opioid sintetik atau cannabinoid juga dapat terkandung, kata Eva Hoch. Itulah sebabnya dia merekomendasikan kepada kaum remaja: "Kamu melakukan hal baik buat otakmu, jika kamu tidak merokok ganja." (ap/hp)

Tulisan ini berkolaborasi dengan: Uta Steinwehr

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 11 Juni 2023 dan diperbarui pada 15 Februari 2024 dengan informasi tentang legalisasi di Jerman.