1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Eijkman Institute, Setahun Kebut Vaksin Corona

Prihardani Ganda Tuah Purba
29 Mei 2020

Harapan besar pengembangan vaksin corona di Indonesia bertumpu pada Eijkman Institute. Setelah bibit vaksin ditemukan dan uji klinis dilakukan industri, akhir tahun 2021, vaksin buatan dalam negeri siap diproduksi.

https://p.dw.com/p/3cxhd
Indonesien | Eijkman Institut für Molekularbiologie forscht an einem Impfstoff für Corona
Para peneliti di Eijkman Institute for Molecular Biology ngebut menyiapkan bibit virus corona yang akan diuji klinis oleh industri.Foto: Eijkman Institute

Dalam upaya pengembangan vaksin corona, Indonesia sampai saat ini telah mengirimkan 9 Whole Genome Sequencing (WGS) terkait virus corona ke GISAID. 

GISAID adalah sebuah bentuk kemitraan antara pemerintah Jerman dan organisasi nirlaba internasional yang menyediakan akses terbuka terkait koleksi data sekuens genetik virus influenza, data klinis serta data epidemiologinya.

Dari 9 WGS yang telah diterima oleh GISAID, 7 diantaranya adalah hasil pekerjaan dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, dan 2 lainnya adalah hasil pekerjaan dari Universitas Airlangga di Surabaya.

Secara sederhana, WGS ini diperlukan untuk melihat perjalanan virus corona yang bersirkulasi di Indonesia, sehingga vaksin yang dikembangkan nantinya benar-benar sesuai dengan jenis virus corona yang mewabah di tanah air.

Sudah sejauh apa pengembangan vaksin buatan dalam negeri ini?  DW mewawancarai Kepala Eijkman Institute for Molecular Biology, Prof. Amin Soebandrio terkait hal ini.

DW Indonesia: Indonesia sudah mengirimkan 9 Whole Genom Sequencing (WGS) ke GISAID, mengapa ini penting dalam pengembangan vaksin?

Prof. Amin Soebandrio : Kita ketahui bahwa virus corona ini cepat bermutasi, walaupun mutasi itu tidak selalu mengubah fungsi atau strukturnya. Tetapi setiap kali dia bereplikasi atau berpindah host bahkan berpindah tempat, dia mengadakan mutasinya maksudnya sebagai upaya untuk beradaptasi, dan mutasi itu terjadi secara acak.

Prof. Amin Soebandrio - Leiter des " Eijkman Institute for Molecular Biology" in Jakarta
Prof. Amin Soebandrio, Kepala Eijkman Institute for Molecular BiologyFoto: Dani Purba

Di satu sisi, kita bisa memanfaatkan mutasi itu untuk melihat sidik jarinya, jadi kita bisa mengikuti pergerakannya. Dengan adanya mutasi itu, kita juga bisa melakukan pengelompokan-pengelompokan. Tapi di sisi lain, kalau mutasi itu "terlalu berat atau terlalu banyak” sehingga mengubah strukturnya, maka sebagian dari identitasnya juga berubah walaupun tetap dia merupakan virus corona.

Terkait dengan hal itu, ketika kita mengembangkan vaksindan juga diagnostik, kita mesti memastikan bahwa vaksin yang kita kembangkan itu akan membentuk antibodi yang akan mengenali virus-virus yang memang bersirkulasi di Indonesia. Jangan sampai kita membuat vaksin di Indonesia ternyata dia mengenali virus yang ada di negara lain, sedangkan yang di Indonesia tidak dikenali, itu akan menjadi "percuma”. Jadi kita mesti memastikan dulu virus yang bersirkulasi di Indonesia, virus yang tipe mana sehingga nanti kita bisa menentukan dengan lebih tepat bagian mana yang paling tepat dijadikan antigen.

Berdasarkan itu kami melakukan sequencing terhadap beberapa isolat. Pertama, kami berhasil melakukan sequencing sebanyak 3 WGS, kemudian kami submit ke GISAID dan langsung diterima. Beberapa hari kemudian kita submit lagi 4 WGS, dan itu juga langsung diterima. Beberapa hari kemudian Universitas Airlangga submit 2 WGS, itu juga kemudian diterima. Saya dengar mereka submit 4 lagi tapi belum di-approved.

Lembaga Eijkman sedang mengerjakan mungkin dalam waktu 2-3 minggu ke depan ada tambahan sekitar dua puluhan lagi untuk melengkapi WGS tadi. Kita harapkan ada perwakilan dari daerah-daerah lain termasuk di luar Jawa, sehingga kita punya gambaran yang lebih lengkap tentang virus yang bersirkulasi di Indonesia.

Jadi ada berapa banyak jenis virus corona yang bersirkulasi di dunia saat ini, dan di Indonesia sendiri jenisnya apa?

Ketika kita submit 3 WGS yang pertama, di dunia ini sudah dikelompokkan menjadi tiga, ada S, G dan V. Ternyata 3 virus dari Indonesia itu tidak termasuk dalam satupun dari antara yang tiga itu, jadi ada di luar yang tiga itu, sehingga waktu itu disebutkan mungkin ada kelompok baru dari Asia Tenggara. 

Mulai minggu lalu, dari tiga kelompok besar di dunia itu ternyata ada tambahan lagi 3 kelompok, sehingga sekarang ada enam kelompok. 1 WGS yang dari UNAIR itu masuk di kelompok G kalau ga salah, tapi yang tiga ini mungkin tetap akan jadi kelompok baru dari Asia Tenggara.

Ini terus berkembang dan dengan pengelompokan itu sebenarnya kita bisa tahu virus yang di Indonesia itu sebagian besar akan masuk dalam kelompok mana, ataukah betul-betul kelompok yang berbeda. Ini juga nanti akan menjadi pertimbangan kita dalam mengembangkan vaksin dan diagnostik.

Jadi belum bisa dipastikan ada berapa banyak kelompok virus corona yang bersirkulasi saat ini?

Betul. Ini akan berkembang terus. Sekarang ini sudah puluhan ribu WGS yang di-submit oleh banyak negara dan dengan perkembangan jumlah kasus pasti akan di-submit lagi semuanya, mungkin ada yang sama dengan yang sebelumnya mungkin juga berbeda. 

Indonesien | Eijkman Institut für Molekularbiologie forscht an einem Impfstoff für Corona
Indonesia sudah kirim 9 WGS ke GISAID dan semua sampel sudah diterimaFoto: Eijkman Institute

Misalnya, salah satu WGS dari Eijkman itu ada yang mirip sekali artinya kesamaannya, jadi punya kemiripan artinya kalau dirangkaikan ternyata disebutkan 100% sama dengan yang dari Wuhan misalnya. Tapi contohnya dari 3 WGS yang pertama, sama-sama dari Jakarta tapi perjalanan mereka ke Jakarta itu beda-beda, sama-sama asalnya dari Wuhan tapi yang satu ke Amerika dulu yang berikutnya ke Eropa dulu dan yang ketiga ke Australia dulu, lalu ke Singapura baru ke Indonesia. Jadi, kita bisa mempelajari perjalanan si virus sebelum masuk ke Indonesia.

Kesimpulan yang bisa ditarik dengan banyaknya kelompok ini?

Secara sederhana kita menyadari bahwa virus corona yang ada di Indonesia ini beragam. Jadi, sekalipun berasal atau pasiennya ada di lokasi yang sama, dan diisolasi pada rentang waktu yang kurang lebih hampir sama, belum tentu virusnya sama, kecuali kalau memang mereka dalam satu kluster, mungkin itu akan sama. 

Keragaman itu bisa kita manfaatkan untuk antara lain contact tracing. Kalau misalnya virusnya tipenya sama, kita bisa mengambil kesimpulan si A ini ketularan dari si B, bahwa mereka berasal dari satu kluster, tapi kalau ternyata berbeda berarti ada sumber yang lebih dari satu.

Jadi saat ini analisis pertama adalah memang Jakarta menjadi epicenter. Mulainya di Jakarta kemudian dari Jakarta pindah ke tempat lain. Tapi kita belum sampai pada kesimpulan yang final tentang bagaimana perjalanannya, ada kemungkinan sebagian memang berasal dari Jakarta, seperti misal yang dari Papua itu dia memang terbang dari Jakarta ke Papua.

Bagaimana linimasa pengembangan vaksin yang dilakukan oleh Eijkman Institute?

Kami hanya diberi waktu 1 tahun (12 bulan) sejak bulan Maret kemarin, sudah lewat dua bulan, jadi tinggal 10 bulan lagi. Itu timeline kami untuk bisa menghasilkan parent seed vaccine namanya atau bibit vaksin. Kalau bibit vaksin sudah dapat, kami harus menyerahkannya ke industri. Industri yang nanti akan melanjutkan proses berikutnya yaitu uji klinis. Jadi uji klinis itu urusan industri, kami hanya menyelesaikan skala laboratoriumnya saja.

Kalau bibit vaksin sudah ditemukan, uji klinis oleh industri sudah dilakukan, kapan kemudian vaksin itu bisa digunakan untuk manusia?

Kalau mengikuti jalur normal, maksudnya bukan dalam situasi pandemi, membuat vaksin itu bisa butuh waktu 7 sampai 10 tahun, bahkan ada yang lebih, ada yang sampai 30 tahun tidak jadi-jadi juga ada. Tapi dalam situasi pandemi beberapa prosedur atau langkah itu bisa diperpendek. WHO saja memprediksi dibutuhkan waktu 18 bulan total dari masuk laboratorium dan uji klinik, 18 bulan baru bisa. 

Jadi WHO itu memprediksi belum ada vaksin virus corona ini sampai dengan Desember tahun depan, 2021. Kurang lebih target kami juga seperti itu. Setelah nanti kita berikan kepada industri akan dilakukan uji klinik, diharapkan akhir tahun depan kita sudah bisa memperlihatkan vaksin yang siap untuk diproduksi.

Bagaimana komunikasi kerjasama internasional terkait pengembangan vaksin?

Kalau untuk treatment tentu beberapa Rumah Sakit sudah terlibat, tapi kalau untuk vaksin itu diwakili oleh Biofarma. Eijkman sendiri sementara ini masih mengkonsentrasikan di laboratoriumnya, tapi nanti mungkin ketika uji klinik, terus mau masuk ke masyarakat kita akan gabung dengan konsorsium internasional barangkali, itu prosesnya nanti saya kira.

Apa kendala dalam menemukan bibit vaksin ini?

Pada intinya kami sudah memiliki fasilitasnya, sudah memiliki orangnya dan pengalaman juga sudah ada. Saat ini karena situasi pandemi, permasalahannya adalah pasokan reagen, karena sebagian besar reagen itu masih harus kita beli dari luar. Kalau biasanya dalam dua minggu kita bisa dapat, dengan situasi pandemi ini di mana transportasi sangat terbatas maka dibutuhkan waktu lebih lama untuk bisa mendapatkan reagen-reagen yang diimpor tadi, itu kendala yang paling serius saat ini, apalagi kita cuma punya waktu 12 bulan dan itu tidak bisa diulur lagi, jadi kita mesti dengan cermat menyiasati itu.

Indonesien | Eijkman Institut für Molekularbiologie forscht an einem Impfstoff für Corona
Eijkman Institute diberi waktu setahun untuk mempersiapkan produksi vaksin yang sesuai dengan virus corona yang merebak di Indonesia.Foto: Eijkman Institute

Apa pesan Anda kepada masyarakat yang saat ini tengah menanti adanya vaksin corona?

Betul bahwasanya soal vaksin itu baru tersedia mungkin setahun lagi, baik yang di Indonesia maupun yang di Internasional. Saya tidak yakin akan ada vaksin dalam waktu 3-4 bulan ke depan. Tapi bukan berarti kemudian kita menyerah, justru kita mesti mencermati situasi ini dengan baik artinya tergantung kita berada di mana, kalau ada di Jakarta atau di daerah itu berbeda. 

Kita mesti melihat betul-betul apakah daerah tersebut memang sudah siap untuk menghadapi "normal baru”, bahwa orang itu boleh keluar, boleh bekerja kembali, tapi mereka yang mau kerja kembali tetap dalam konteks PSBB, jadi mereka tetap harus menjaga proteksi dirinya jadi harus pakai masker, kemudian harus rajin cuci tangan itu tidak boleh ditinggalkan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, kemudian juga di tempat kerja harus menghindari menyentuh benda-benda yang ada di permukaan, kalau harus menyentuh ya harus cuci tangan, itu yang harus disadari oleh masyarakat dan masyarakat harus disiplin menjalankannya.

Insya Allah kalau itu bisa dikerjakan angka penularan bisa diturunkan, kita lihat di DKI misalnya saat ini masih di atas 1, itu menunjukkan bahwa kita tetap harus selalu berhati-hati.

Wawancara untuk DW Indonesa dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks