1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PerdaganganEropa

Dilema Moral Meningkatnya Ekspor Wiski Latvia ke Rusia

Jennifer Pahlke
23 Februari 2024

Di tengah sanksi terkait perang di Ukraina, Latvia menjadi pemasok utama wiski ke Rusia. Hubungan dagang berkembang pesat dan memicu ketegangan diplomatik yang kompleks.

https://p.dw.com/p/4cjjU
Ilustrasi wiski
Ilustrasi wiskiFoto: Carl Court/Getty Images

Latvia, salah satu negara anggota terkecil Uni Eropa (UE) dengan populasi kurang dari dua juta jiwa, menjadi pemasok wiski nomor satu ke negara tetangganya, Rusia, yang kini tengah terkena sanksi berat oleh Barat.

Dalam sembilan bulan pertama tahun 2023, Rusia mengimpor minuman beralkohol ini senilai hampir €244 juta (sekitar Rp4,1 triliun). Dari jumlah tersebut, hampir tiga perempatnya berasal dari Latvia, menurut angka yang diterbitkan oleh kantor berita Rusia, RIA Novosti. Negara Baltik lainnya, Lituania, mengekspor wiski senilai €27 juta ke Rusia.

Latvia, negara dengan iklim dingin dan menghasilkan jumlah minuman anggur yang sangat sedikit dibandingkan dengan negara produsen wine terkemuka, Italia. Namun, negara ini menjadi pemasok utama Rusia. Italia menjual minuman anggur ke Rusia senilai €68 juta tahun lalu, sementara Latvia mengekspor wine senilai €73 juta.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Menurut portal statistik resmi pemerintah Latvia, ekspor negara tersebut ke Rusia bernilai lebih dari €1,1 miliar pada 2023. Lebih dari setengahnya berupa minuman tanpa alkohol, minuman beralkohol, dan vinegar.

Rantai pasokan sama, jalur birokrasi berbeda

Latvia dan Lituania memang belum menjadi produsen anggur dan wiski besar dalam semalam. Faktanya, sebagian besar minuman beralkohol yang dikirim ke Rusia dari Latvia dijual oleh perusahaan Eropa Barat yang terdaftar di Latvia.

"Tampaknya ada beberapa perusahaan besar dari negara-negara Eropa Barat yang hanya menggunakan Latvia sebagai semacam pusat distribusi,” kata Matiss Mirosnikovs, ekonom di Bank of Latvia, kepada DW. "Jadi ini bukan soal produksi yang dilakukan oleh industri Latvia, tapi soal re-ekspor.”

Perusahaan Barat khawatir citranya rusak

Sebenarnya, ekspor ini tidak melanggar sanksi Uni Eropa yang dikenakan terhadap Rusia setelah invasi besar-besaran ke Ukraina dua tahun lalu. Namun yang jelas, fakta bahwa banyak perusahaan Eropa Barat merasa perlu menggunakan Latvia sebagai pusat distribusi menunjukkan bahwa mereka prihatin dengan citra mereka, kata Mirosnikovs. 

Bagi beberapa perusahaan, kelangsungan hidup mereka dipertaruhkan. "Perusahaan-perusahaan tertentu hanya punya Rusia dan Belarus sebagai pelanggannya. Jadi mereka tidak mau dan sebenarnya tidak bisa begitu saja menghentikan perdagangan,” kata ekonom tersebut.

Ada pertanyaan etis dalam berdagang dengan Rusia ketika negara itu berperang dengan Ukraina. Badan Pemeringkat Moral yang berbasis di London, misalnya, dibentuk setelah invasi Rusia ke Ukraina untuk melacak apakah perusahaan-perusahaan menepati janji mereka untuk meninggalkan bisnis di negara tersebut.

Menurut mereka, perusahaan Prancis, Pernod Ricard, yang terkenal dengan merek seperti Absolut vodka dan wiski Irlandia, Jameson, adalah salah satu pemasok terbesar minuman beralkohol ke Rusia.

Dilema moral ekspor ke Rusia

Sejak dimulainya perang, Latvia dan Lituania adalah pendukung terdekat Ukraina. Hal itulah yang membuat maraknya iekspor minuman keras ke Rusia tampak mengejutkan. Bagi sebagian orang, ini bahkan sulit dipahami.

Davis Vitols, ketua Asosiasi Industri Alkohol Latvia LANA, mengemukakan argumen tidak biasa yang membenarkan ekspor ini: "Alkohol mungkin merupakan satu-satunya produk yang masih dapat dijual karena berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi berlebihan," katanya di televisi Latvia. Vitols menekankan bahwa ini adalah pendapat pribadinya, bukan pendapat asosiasi.

Mirosnikovs mengatakan kepada DW bahwa ada dua cara pandang: "Di satu sisi, menerima uang dari Rusia adalah hal yang baik karena mereka menghabiskan lebih sedikit uang untuk keperluan militer. Di sisi lain, hal ini memungkinkan para elit melakukan apa yang mereka inginkan, yaitu menjalani kehidupan senormal mungkin, dan tidak mau memaksakan perubahan apa pun. 

Meningkatnya perdagangan minuman beralkohol dengan Rusia sangat kontras dengan kebijakan negara-negara Baltik pada umumnya. Latvia, Lituania, dan Estonia, yang dulunya adalah bagian Uni Soviet dan terdapat minoritas berbahasa Rusia dalam jumlah signifikan, telah berupaya keras menerapkan sanksi di dalam UE.

Jauh sebelum perang, negara-negara ini telah memperingatkan negara-negara Uni Eropa mengenai potensi Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi semakin agresif.

Estonia dan Latvia juga mulai meninggalkan bahasa Rusia. Pendidikan kini hanya dilakukan dalam bahasa nasional masing-masing. Siapa pun yang ingin tinggal di Latvia dengan paspor Rusia, meskipun mereka telah menghabiskan seluruh hidup mereka di sana, sekarang harus lulus standar minimum bahasa Latvia atau bersiap dideportasi.

(ae/hp)