1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kita adalah Penyendiri yang Tak Wajar

Geger Riyanto
3 Agustus 2019

Apakah rasanya kebersamaan bagi seorang introvert? Geger Riyanto membocorkannya kepada Anda: menyenangkan, tetapi pada saat yang sama, melelahkan. Simak pengalaman Geger Riyanto di kolom ini.

https://p.dw.com/p/3MJqp
Namibia Fisch Fluss Schlucht
Foto: picture-alliance/robertharding

Kalau orang-orang lain menganggap kebersamaan seperti bernapas, seorang introvert menganggapnya sebagai bernapas kala berenang. Ia harus mencurahkan usaha lebih untuk aktivitas yang dianggap orang lain tak butuh dipikirkan. Ia bukan makhluk yang secara naluriah tahan dengan keberadaan orang lain.

Dapatkah Anda membayangkan perasaan seorang introvert, karenanya, yang sekonyong-konyong harus tidur bertumpuk-tumpuk dengan orang-orang yang belum dikenalnya baik? Saya, sang introvert bersangkutan, tak bisa tidur dengan lelap. Sepasang kaki asing melintang di atas kaki saya. Kepala orang di sebelah nyaris bersandar ke bahu saya. Saya merasa tidur adalah waktu di mana saya paling lengah. Perhimpitan dengan tubuh-tubuh lain membuat saya selalu kembali membuka mata, meskipun saya sudah selelah-lelahnya.

Saya melihat orang-orang di sekitar saya. Mereka tidur nyenyak belaka. Tentu saja. Saya acap mengamati kebiasaan orang tidur di Kampung Parigi, Seram Utara, tempat saya melakukan penelitian ini. Banyak orang terbiasa tidur berdempetan dengan yang lain. Ketika udara dingin, seorang anak muda yang mengantuk pun dapat langsung menghampiri temannya yang sudah tertidur dan tidur berdempetan dengannya. Dari ayah angkat saya, saya juga mengenal satu idiom menarik yang digunakannya untuk menggambarkan seorang teman karib di Ambon yang pernah hidup lama bersamanya: saudara satu bantal. Ungkapan barusan menggambarkan bahwa seorang kawan dekat tak sungkan tidur berdekatan satu sama lain.

@gegerriyEsais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
Penulis: Geger Riyanto.Foto: Privat

Namun, saya datang dari latar belakang yang berbeda. Saya datang dari sebuah tempat di mana jarak antara tubuh dijaga baik-baik. Persentuhan fisik, kecuali seseorang harus berdesak-desakan atau memang punya hubungan yang sangat akrab, tidak dilakukan. Lebih-lebih, introversi saya menyebabkan saya mudah risau dengan keberadaan orang lain.

Walhasil, ketika pagi hari saya memutuskan bangun, saya belum mendapatkan istirahat yang cukup. Saya harus menghadiri upacara pernikahan seorang kawan dan saya mengantuk seharian.

Pengingat

Kendati demikian, saya menganggap pengalaman semacam itu adalah sebuah pengingat. Pengingat bahwa cara hidup menyendiri yang kita jalani tak dengan sendirinya wajar. Di Jakarta, tidak ada yang akan menegur saya karena seharian berkutat di depan komputer. Di Heidelberg, lebih-lebih, setiap pembicaraan hanya akan mengobrolkan apa yang perlu diobrolkan. Orang Jerman, konon, menganggap basa-basi tidak sopan. Setelah menyelesaikan keperluan saya dengan orang lain sesingkat-singkatnya, saya akan kembali ke kehidupan saya sendiri.

Namun, hal yang jamak saya alami di Parigi ialah ditegur kala terlalu lama menyendiri. Ketika saya nampaknya sudah kebanyakan menghabiskan waktu di kamar, mama angkat saya biasanya akan memanggil saya.

"Mas, ayo keluar sini. Katong [kita] kumpul-kumpul.”

Sesudah keluar, biasanya saya, mama angkat, dan orang-orang yang kebetulan ada akan duduk-duduk saja tanpa melakukan aktivitas yang jelas. Bisa jadi, kami sekadar akan bersantai di teras sambil memerhatikan pergerakan dusun yang lambat laun. Bisa jadi pula, kami menikmati angin di pantai seraya melemparkan pandangan ke laut. Awalnya, saya sempat bertanya-tanya apa yang sebenarnya mau dilakukan? Benarkah kita tidak akan melakukan apa pun dan sekadar diam bersama? Namun, belakangan saya justru merasa harus tersanjung. Saya dipanggil karena kehadiran saya dibutuhkan untuk keutuhan kebersamaan, bukannya karena ada yang punya perlu.

Di banyak tempat, kebersamaan adalah kondisi wajar. Banyak pekerjaan besar di Parigi seperti membangun rumah, perangkap ikan, menghelat perkawinan tak bisa kelar tanpa uluran tangan yang lain. Arti kehadiran saudara dan teman dalam pekerjaan-pekerjaan ini pun lebih dari sekadar ekonomis. Mereka yang tidak datang dianggap tidak menunaikan kewajibannya sebagai kerabat yang baik, meski dalam gelarannya tak sedikit yang hanya akan bekerja 10-15 menit belaka. Sisanya, mereka hanya akan mengobrol dan meneguk kopi bersama.

Dan saya hanya satu dari banyak peneliti antropologi yang harus berbenturan dengannya karena nilai dari tempat asal kami berbeda. Pengalaman yang lebih dramatis terjadi pada Laura DeLuca, antropolog, kala mengajak dua belas mahasiswa dari Universitas Colorado untuk mengunjungi orang-orang Hadzabe, Lembah Yaeda, Afrika Selatan. Suatu malam, sewaktu ia tengah duduk di depan api unggun tepian danau, seorang pemburu suku Hadzabe menghampirinya.

"Mengapa mahasiswamu tidak menyayangi satu sama lain?” tanya Kaunda, sang pemburu.

DeLuca kaget. Ia mengira mahasiswanya berkelahi satu sama lain. Ternyata, Kaunda merujuk pada kebiasaan para mahasiswanya tidak makan dari piring yang sama. Bila malam tiba, Kaunda pun melihat, mereka kembali ke kemahnya masing-masing, tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Buat para mahasiswa Colorado—dan, mungkin, sebagian dari kita—itulah cara hidup sewajarnya. Buat orang-orang suku Hadzabe, cara hidup yang demikian janggal, kalau tak mau disebut eksotik. Orang-orang suku Hadzabe tak pernah benar-benar menyendiri. Mereka makan daging bakar, kacang merah, serta bubur jagung bersama-sama dari satu kuali besar. Mereka menganyam panah bersama, berburu bersama, beristirahat bersama.

Jangan Dinistakan

Namun, terlepas saya dididik sebagai antropolog—tepatnya, dididik untuk peka terhadap kehidupan yang lain—bukan berarti saya dapat dengan enteng meninggalkan habitus bentukan lahir saya. Tidur dalam kerumunan tidak akan menjadi aktivitas kegemaran saya. Di luar momen penelitian, saya tidak akan menghabiskan waktu untuk memandang senja bersama-sama lebih banyak dari membaca di kamar atau bilik saya sendiri.

Dan saya tidak akan bisa mengelabui batin saya yang letih bila teritorium intim saya terlalu lama diinvasi oleh yang lain.

Hanya saja, satu hal saya petik dari pengalaman bertemu dengan yang lain. Obsesi saya menyendiri tidaklah patut diagung-agungkan. Waktu, saya tahu, kini berpihak pada kehidupan yang atomistik alih-alih yang mengedepankan kebersamaan. Makan dengan satu kuali besar bersama, terlepas lebih irit dan efektif, akan dianggap sebagai kebiasaan dari masa silam yang tidak bersih. Sebagai seseorang yang dilahirkan di ibu kota, belantara kehidupan yang individualistis, saya bisa membayangkan orang-orang ibu kota mengeluhkan ketidakhigienesannya. Keluarga yang tak bisa memisahkan tempat tidur anggotanya akan dianggap sebagai keluarga yang patut dikasihani.

Pertanyaannya, benarkah mereka yang terbelakang? Ataukah kita? Kita terjebak oleh standar-standar modern yang menuntut seseorang makan, tidur sendiri supaya hidupnya dapat dikatakan layak. Mereka tidak. Masa depan kita adalah tanggung jawab masing-masing orang. Rumah kita harus dicicil oleh dan hanya oleh kita sendiri. Orang-orang ambisius setiap hari bangun, pergi ke tengah kota untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang buat diri dan keluarganya sendiri tanpa memikirkan apa yang tersisa bagi yang lain.

Saya introvert. Akan tetapi, saya tahu jelas, kultur kebersamaan bukanlah masa silam yang tidak relevan di hadapan roda modernitas yang menggilas seperti itu. Dan kita bukanlah insan dari masa depan serba unggul yang berhak mendakwanya tertinggal.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.