1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah "COP Africa" Akan Penuhi Kebutuhan Afrika?

5 November 2022

Afrika adalah benua yang didera efek paling brutal dari perubahan iklim. Di lain pihak, benua itu adalah yang paling sedikit tanggungjawabnya atas perubahan iklim global. Apakah COP27 di Mesir bisa memberikan harapan?

https://p.dw.com/p/4J5d2
Seekor Gajah Afrika di Kenya
Seekor Gajah Afrika di Kenya Foto: R. de Haas/blickwinkel/AGAMI/picture alliance

COP27 yang merupakan konferensi tahunan ke-27 negara-negara penandatangan perjanjian mengenai iklim, akan diadakan mulai besok, Minggu, 6 November hingga 18 November 2022. COP kali ini diadakan di Sharm el Sheich, Mesir, dan disebut sebagai "COP Afrika". Tetapi para ilmuwan dan aktivis lingkungan di Afrika khwatir, konferensi itu akan kembali mengesampingkan kepentingan benua, yang paling sedikit tanggungjawabnya, dari segi penyebab perubahan iklim.

Saat jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim meningkat di berbagai penjuru Afrika, pemerintah negara-negara yang sudah didera utang itu menuntut agar negara-negara kaya penyebab polusi membayar apa yang disebut "loss and damage," yaitu ganti rugi akibat pelepasan emisi yang mereka sebabkan. 

Dilihat dari sejarah, tanggung jawab Afrika atas emisi global kurang dari 4%. Begitu tandas aktivis lingkungan Vanessa Nakate yang berasal dari Uganda. Ia menambahkan, "Tetapi Afrika menderita akibat sejumlah dampak perubahan iklim yang paling brutal." Oleh karena itu, mereka butuh sokongan dana dari negara yang menyebabkan polusi, sebagai kompensasi atas kehancuran yang mereka sebabkan.

Sebaliknya, pemerintah negara-negara kaya menolak seruan akan adanya mekanisme pembayaran untuk mengatasi "loss and damage" dalam pembicaraan di Glasgow tahun lalu. Namun para juru runding setuju untuk memulai dialog mengenai kompensasi keuangan. 

Tetapi mengingat banjir, gelombang panas dan kekeringan menyapu seluruh muka bumi, dengan terjangan paling tajam terhadap orang-orang yang paling rentan, para aktivis lingkungan berharap masalah ini akan menjadi topik pembicaraan utama dalam COP27 di Mesir.

Dampak perubahan iklim di Afrika

Di Afrika saja, peristiwa cuaca yang ekstrem tahun ini sudah menyebabkan kematian sedikitnya 4.000 orang, dan memaksa 19 juta orang meninggalkan rumah mereka. Demikian hasil studi yang dilaporkan Carbon Brief pekan lalu.

Kekeringan di Kenya berakibat fatal
Kekeringan di Kenya berakibat fatalFoto: Thomas Mukoya/REUTERS

Kemarau yang sedang berlangsung di Afrika Timur berdampak pada hidup lebih dari sembilan juta orang. Di Nigeria, Afrika Barat, dalam beberapa pekan terakhir, 1,4 juta orang terpaksa pindah ke daerah lain akibat banjir paling buruk yang pernah terjadi di sana. 

Panel antar negara menyangkut perubahan iklim yang diadakan PBB Februari lalu memperingatkan, bahwa puluhan juta warga Afrika akan menghadapi masa depan yang penuh kekeringan, penyakit dan pengungsian akibat pemanasan global.

Menurut sejumlah ilmuwan, banyak negara Afrika diperkirakan akan menghadapi masalah berupa berkurangnya produksi pangan, berkurangnya hasil peternakan dan perikanan, meningkatnya kematian akibat suhu tinggi, hilangnya produktivitas kerja juga akibat suhu tinggi, dan banjir akibat naiknya permukaan laut.   

Chukwumerije Okereke, seorang profesor dalam bidang lingkungan hidup dan pembangunan di Universitas Reading, Inggris mengungkap, sejumlah engara Afrika akan menuntut aksi lebih besar dari negara-negara yang menyebabkan polusi, dan menyulut perubahan iklim. Negara-negara itu berpendapat, mereka menghadapi kekurangan karena menjadi pihak yang paling rentan dalam masalah ini.

Pada dasarnya, cara paling baik untuk mencegah dampak lebih merusak dari perubahan iklim atas benua itu, adalah dengan mengadakan dekarbonisasi secepat mungkin. Begitu dikatakan Okereke.

Upaya masih kurang

Dalam COP26 yang diadakan tahun lalu di Glasgow, negara yang hadir setuju untuk meningkatkan target dalam rencana mengurangi emisi. Namun demikian, langkah-langkah tersebut hanya akan membuahkan pengurangan polusi kurang dari satu persen (<1%) hingga tahun 2030.  

Konferensi di Glasgow juga membuahkan strategi baru untuk membiayai transisi energi, di mana sekelompok negara kaya berkomitmen untuk menyediakan 8,5 milyar dolar bagi Afrika Selatan, yang sangat bergantung pada batu bara, selama tiga hingga lima tahun, yaitu dalam bentuk beasiswa dan pinjaman, untuk membantu rencana iklim dan mengkatalisasi penanaman modal swasta.

Seorang anak yang mengungsi akibat kekeringan di Somalia
Seorang anak yang mengungsi akibat kekeringan di SomaliaFoto: Feisal Omar/REUTERS

Di lain pihak, pekan ini, Bank Dunia mengatakan, Afrika Selatan yang jadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, akan memerlukan dana sedikitnya 500 milyar dolar untuk mencapai target karbon netral tahun 2050.

Susan Chomba, direktur organisasi non pemerintah Vital Landscapes, mengatakan pemerintah berbagai negara harus menggunakan COP27 untuk mendorong investasi dalam pembangunan bersifat "hijau" di benua itu. Ia mengutarakan juga, perang di Ukraina sudah menunjukkan dengan jelas, risiko ketergantungan tinggi pada bahan bakar fosil, bahkan bagi negara-negara kaya. Di samping itu, ada efek tak langsung yang dirasakan juga oleh benua Afrika, misalnya harga bahan pangan yang tinggi.

Harapan agar negara kaya menepati janji

Dalam COP beberapa tahun terakhir ini, kemajuan terhalang akibat janji negara kaya yang tidak ditepati. Yaitu untuk menyediakan dana sedikitnya 100 milyar dolar per tahun bagi negara-negara berkembang untuk upaya dekarbonisasi dan adaptasi atas dampak perubahan iklim.

"Hal utama yang sangat saya harapkan dari COP27 adalah, konferensi ini akan jadi COP di mana kita akan bisa membangun rasa saling percaya," begitu dikatakan Ineza Grace dari Loss and Damage Youth Collaborative. Janji-janji yang dulu diberikan ternyata palsu, dan kami adalah generasi yang bisa dibilang hidup di "titik api", kata Ineza Grace. Tapi mereka juga bukan generasi yang ingin tinggal diam saja, dan terus menjadi korban.

Seruan Parlemen Eropa

Menjelang penyelenggaraan konferensi, Oktober lalu Parlemen Eropa menyerukan dalam sebuah resolusi agar Uni Eropa mengambil peran pimpinan dalam menurunkan emisi sesuai target yang sudah ditetapkan hingga 2030.  

Parlemen Eropa juga menyerukan negara-negara industri maju untuk meningkatkan target mereka dalam menjaga iklim, sambil menekankan bahwa perang yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina dan konsekuensinya selama ini sudah jadi pertanda betapa mendesaknya transformasi sistem energi global bagi masa depan. 

Di samping itu, anggota Parlemen Eropa juga mendesak negara industri maju untuk menepati janji yang usdah diberikan, dan menjamin bahwa negara berkembang akan mendapat dana 100 milyar dolar per tahun untuk menjaga iklim. ml/hp (afp, dpa)