1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Clubhouse Jadi Sarana Protes di Thailand

Emmy Sasipornkarn
25 Februari 2021

Aplikasi Clubhouse memberikan ruang diskusi gerakan pro-demokrasi Thailand yang berpikiran reformis untuk membahas topik politik yang sensitif.

https://p.dw.com/p/3ppwW
Pendukung pro-demokrasi Thailand sering kali waspada dalam mengkritik monarki secara terbuka
Pendukung pro-demokrasi Thailand sering kali waspada dalam mengkritik monarki secara terbukaFoto: Sirachai Arunrugstichai/Getty Images

Clubhouse, aplikasi bincang audio khusus antara penggunanya yang hanya bisa diakses lewat undangan, semakin populer di Thailand di tengah gerakan protes kaum muda yang terus menuntut reformasi monarki kerajaan Thailand.

Diluncurkan pada April 2020, Clubhouse baru-baru ini menjadi magnet di antara para negunjuk rasa di Thailand setelah Pavin Chachavalpongpun, seorang akademisi dan kritikus monarki Thailand yang sudah lama tinggal di Jepang, bergabung dengan platform tersebut pada 12 Februari lalu.

Kepada DW, Pavin mengatakan bahwa tindakan keras polisi terhadap aksi protes di Thailand telah berkontribusi pada meningkatnya popularitas Clubhouse yang terjadi secara tiba-tiba.

"Tidak ada diskusi terbuka ... jadi ketika tempat baru diperkenalkan, orang-orang langsung berdiskusi tentang politik," kata Pavin.

Dia telah menambahkan hampir 300.000 pengikut dalam waktu kurang dari dua minggu, dan mengatakan bahwa orang-orang di banyak ruang obrolan Clubhouse membahas soal keluarga kerajaan.

"Seolah-olah aplikasi itu dibuat untuk percakapan tentang monarki," canda Pavin.

Clubhouse membuka ruang diskusi bagi pengunjuk rasa untuk membahas topik yang sensitif
Clubhouse membuka ruang diskusi bagi pengunjuk rasa untuk membahas topik yang sensitifFoto: dpa/picture alliance

Thaksin Shinawatra, mantan perdana menteri Thailand yang digulingkan dalam kudeta 2006, juga bergabung dalam Clubhouse dengan nama "Tony Woodsome."

Kedatangannya dalam platform sontak membuat heboh, dengan sedikitnya 50.000 orang bergabung dalam diskusi pada hari Senin (23/02) tentang politik Thailand, meskipun Thaksin menghindari beberapa pertanyaan pelik tentang gerakan pro-demokrasi dan tuntutannya untuk reformasi monarki.

Di Negeri Gajah Putih sendiri, kritik terhadap raja dan monarki adalah hal tabu. Pelanggarnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Lese Majeste dengan ancaman pidana 3-15 tahun penjara. Namun, kini raja dan monarki telah menjadi sasaran kritik yang lebih luas sejak munculnya gerakan protes pro-demokrasi yang dipimpin golongan muda tahun lalu.

Mereka menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, serta menuntut konstitusi baru dan reformasi monarki.

Clubhouse menghubungkan gerakan protes

"Saat Anda pergi berunjuk rasa, Anda hanya dapat berbicara dengan mereka yang ada di sekitar dan mendengarkan para pemimpin, yang pidatonya terkadang mengecewakan," kata Pla, pengguna Clubhouse yang mulai menggunakan aplikasi di sekitar waktu yang sama dengan Pavin, kepada DW.

Clubhouse seperti "protes berskala kecil, tetapi jika kami tidak setuju dengan sesuatu, kami dapat mengangkat tangan. Ini interaktif dan membantu menyebarkan ide dengan lebih cepat," tambahnya.

Dikembangkan oleh perusahaan piranti lunak yang berbasis di California, Alpha Exploration Co, Clubhouse memungkinkan penggunanya memasuki ruang obrolan langsung.

Pengguna bisa mendengarkan atau bergabung dalam percakapan dengan mengangkat tangan virtual mereka untuk naik ke panggung. Ruang obrolan menghilang saat diskusi berakhir.

Platform tersebut menjadi jalan bagi tokoh-tokoh gerakan pro-demokrasi untuk terhubung dengan pendukunga.

Peserta obrolan pertama Pavin berjumlah 300 pengguna pada hari dia bergabung. Bahkan setelah Clubhouse mengizinkan pengguna di ruang obrolan melebihi batas 5.000 orang dalam beberapa hari terakhir, beberapa ruang sekunder lainnya diperlukan untuk memenuhi permintaan pendengar.Akhir pekan lalu, 35.000 orang menghadiri obrolannya.

Otoritas Thailand mengancam pengguna

Seperti di Cina, di mana akses Clubhouse sekarang diblokir setelah menjadi platform populer untuk diskusi terbuka, pemerintah Thailand telah memperingatkan pengguna bahwa mereka menghadapi konsekuensi hukum karena melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer jika mereka menyalahgunakan aplikasi.

"Pihak berwenang siap untuk melanjutkan tindakan hukum (terhadap mereka yang melanggar hukum), sama seperti platform media sosial lainnya," kata Menteri Ekonomi Digital Thailand Buddhipongse Punnakanta dalam sebuah pernyataan Kamis (18/02) pekan lalu.

Undang-undang kejahatan siber telah ditegakkan dengan ketat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan monarki.

"Pemerintah Thailand masih memiliki pola pikir yang sangat ketinggalan zaman dalam hal informasi. Mereka pikir mereka masih dapat mengontrol dan menghasilkan satu set informasi," kata Pavin.

"Ketika ada versi yang berbeda, mereka tidak tahu bagaimana menghadapinya dan akhirnya beralih ke metode lama dengan menggunakan undang-undang untuk membatasinya," tambahnya.

Clubhouse menjembatani perpecahan politik

Pla mengatakan belum menemukan ruang obrolan di Clubhouse yang digunakan oleh pendukung pemerintah. Namun, pria berusia 29 tahun itu mengatakan dia telah mendengar diskusi antara mereka yang anti-pemerintah tetapi berpikir monarki harus dibiarkan tidak tersentuh dengan mereka yang menginginkan reformasi kerajaan.

Dia yakin pemerintah mencoba melarang aplikasi ini karena mereka tidak ingin kedua belah pihak spektrum politik berbicara satu sama lain secara langsung.

Apapun niat pemerintah, popularitas Clubhouse yang semakin meningkat berpotensi mengubah ranah diskusi publik di Thailand.

Pavin mengatakan aplikasi tersebut memberikan kesempatan untuk berdiskusi dalam iklim politik yang tegang dengan banyak pandangan yang berlawanan.

Meskipun dia tidak yakin aplikasi itu akan mengalihkan para royalis Thailand ke pihak pro-demokrasi, dia mengatakan "mimpinya adalah memiliki sarana untuk dialog antara kelompok orang dengan pendapat berbeda."

(rap/hp)