1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Cerita Mahasiswa Indonesia di Wuhan

Prihardani Ganda Tuah Purba
30 Januari 2020

Erda Marpaung, mahasiswi asal Indonesia yang saat ini tinggal di Wuhan menceritakan harga bahan makanan, masker dan obat-obatan naik berkali-kali lipat pasca merebaknya virus corona jenis baru di Cina.

https://p.dw.com/p/3X0sH
China Wuhan | Stadt wegen Coronavirus abgeriegelt
Kota Wuhan dengan populasi 11 juta orang ibarat kota mati akibat wabah virus coronaFoto: Li Ling

Pemerintah Cina telah melakukan penutupan terhadap kota Wuhan sejak 23 Januari lalu,, untuk menghindari meluasnya virus corona jenis baru (2019-nCoV) yang saat ini gegerkan dunia. 

Wuhan disebut-sebut sebagai asal mula dan pusat dari merebaknya wabah virus corona jenis baru yang sampai pada Kamis (30/01), telah menewaskan setidaknya 170 orang di Cina, dan menginfeksi lebih dari 7.000 jiwa.

Penutupan Kota Wuhan berdampak terhadap semua warga yang bermukim di kota berpenduduk 11 juta jiwa tersebut. Termasuk juga ratusan WNI yang saat ini tinggal di Wuhan. 

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri, terdapat 243 WNI yang saat ini tinggal di daerah karantina. Mayoritas WNI yang tinggal di sana adalah mahasiswa, dan tersebar di Wuhan, Xianing, Huangshi, Jingzhou, Xianyang, Enshi, dan Shiyan.

DW Indonesia berkesempatan melakukan wawancara dengan Erda Marpaung, salah satu mahasiswi Indonesia yang saat ini menempuh pendidikan S2 di Huazhong University of Science and Technology, di Wuhan.

Menurut Erda, pasca diberlakukannya karantina oleh pemerintah Cina, Wuhan menjadi kota sepi karena lumpuhnya transportasi dan tutupnya toko-toko.

“Kita disini transportasi kemana-mana ga ada, semua sepi banget, jalan raya sepi, toko-toko terbatas terus kita juga kalau keluar harus ekstra pengamanan gitu, harus pake masker pake sarung tangan harus ukur suhu tubuh ,” kata Erda saat diwawancarai DW Indonesia, Rabu (29/01).

Freundinnen in Wuhan, dem Zentrum des Corona-Virus-Ausbruchs
Erda Marpaung (kanan, memakai masker merah muda) berfoto bersama mahasiswa Indonesia lain di WuhanFoto: Erda Marpaung

Persedian Kebutuhan Hidup di Wuhan Terbatas

Erda mengakui tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan pasca diberlakukannya karantina oleh Pemerintah Cina. Menurutnya, aktivitas ke luar apartemen atau asrama terpaksa dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan makanan yang sudah terbatas.

“Kalau di sekitar kota ga berani kita (jalan-jalan), kita keluar kamar buat beli makan saja sudah was-was,” tuturnya.

Erda menuturkan bahwa meski masih ada supermarket yang buka, seringkali para pembeli harus rebutan kebutuhan makanan karena ketersediaannya yang terbatas. 

“Yang saat ini dibutuhkan di kampus kami itu, kalau secara kebutuhan pokok kami kurang sayur. Soalnya apa? Kalau misalnya kita telat dikit ke supermarket udah habis, soalnya kita rebutan sayur disana,” ujar Erda.

Tidak hanya kebutuhan pokok seperti makanan, kebutuhan lain seperti masker dan obat-obatan juga ia sebut mengalami kenaikan harga berkali-kali lipat.

“Masker yang biasa yang biru, yang biasanya dipakai di rumah sakit itu aja itu 50 biji harganya 50 kuai atau 50 yuan itu setara hampir seratus ribunya Indonesia. Itu cuma 50 biji doang, normalnya 1 kuai bisa dapat 5 biasanya, jauh banget perbandingannya,” jelas Erda.

“Kalau obat-obatan, bisa lima kali lipat naiknya karena terbatas juga,” tambahnya.

Meski demikian, Erda mengakui bahwa KBRI di Cina telah memberikan bantuan uang kepada WNI yang tinggal di daerah karantina, sebesar 280 kuai per orang untuk kebutuhan selama satu minggu.

Libur kuliah diperpanjang karena virus corona

Saat ini Erda tengah menempuh kuliah magister jurusan Master Teaching Chinese to Speakers of Other Language (MTCSOL). Ini merupakan tahun kedua baginya sejak memulai kuliah pada 2018 lalu.

Erda menceritakan bahwa perkuliahan di Wuhan saat ini sedang dalam waktu liburan musim dingin yang sudah dimulai sejak Desember tahun lalu. Namun, karena adanya wabah virus corona yang saat ini melanda Cina, libur tersebut akhirnya diperpanjang sampai waktu yang masih belum jelas.

"Ada yang bilang Plan A itu diperpanjang sampai 6 minggu, yang Plan B sampai waktu yang tidak ditentukan tapi itu pun masih belum jelas," ujarnya.

(gtp/as)