1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berharap pada Tito

Aris Santoso27 Juni 2016

Pada Hari Bhayangkara tahun ini, institusi kepolisian memperoleh hadiah teramat istimewa, dengan ditetapkannya Komjen Pol Tito Karnavian sebagai Kapolri baru. Bagaimana sepak terjangnya? Ikuti ulasan Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/1JEHj
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Sejak namanya diusulkan oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri, pemberitaan tentang figur Komjen Pol Tito Karnavian (Akpol 1987) tiada habisnya. Tito menjadi bintang baru (media darling) dalam peta elit di Jakarta. Publik pun dihinggapi euforia dengan diangkatnya Tito, dengan begitu menggugurkan kandidat lain yang kurang dikehendaki.

Berbicara tentang kepolisian, saya sendiri memiliki catatan atas dua peristiwa yang saya saksikan sendiri. Meskipun pengalaman ini sangat personal, namun saya kira, dua peristiwa tersebut bisa dijadikan jendela untuk memahami kompleksnya problem yang dihadapi institusi kepolisian.

Peristiwa pertama adalah bentrokan antara Satuan Brimob Polda Sumut dengan anggota Yonif Linud 100/Prajurit Setia (kini Yonif 100/Raiders), di kawasan Binjai (dekat Medan) pada Oktober 2002.

Peristiwa kedua adalah kasus yang kemudian dikenal sebagai “bom buku” di kompleks Komunitas Utan Kayu (KUK, Jakarta Timur), pertengahan Maret 2011. Saya yang saat itu bekerja sebagai staf rendahan di KUK, merasa beruntung berada di TKP (tempat kejadian perkara).

Indonesien Polizeieinheiten Sabhara
Foto: imago/ZUMA Press

Kekuasaan dan Kesejahteraan

Bentrokan di Binjai tersebut merupakan sinyal, bahwa konflik antara polisi dan militer (khususnya Angkatan Darat) merupakan konflik laten, yang akan terus berulang, tanpa kita pernah tahu kapan ketegangan ini akan berakhir.

Potensi konflik tentu saja sangat dimengerti oleh pimpinan masing-masing pihak. Itu sebabnya, pada derajat tertentu bentrokan di lapangan bisa ditolerir pihak atasan.

Dalam kasus di Binjai misalnya, memang ada tindakan terhadap komandan satuan. Satuan tersebut sempat dilikuidasi untuk sementara waktu, namun langsung diaktifkan kembali dengan nama baru. Kemudian Danyon (dengan pangkat saat itu) May.Inf. Madsuni (Akmil 1988A), dicopot dari jabatannya. Selang beberapa waktu kemudian karirnya kembali mengalir. Saat tulisan ini dibuat, nama Madsuni baru saja ditetapkan sebagai Wadanjen Kopassus.

Secara singkat, konflik berkepanjangan ini terkait dua perkara: kekuasaan dan kesejahteraan. Antara polisi dan militer memiliki respons yang berlainan saat menghadapi kekuasaan dan kesejahteraan.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Polisi selalu inferior

Berdasarkan pengamatan empirik, militer cenderung lebih dekat dengan kekuasaan. Sementara perilaku polisi, mengingat posisinya selalu inferior dibanding militer, secara alamiah menjadi lebih dekat dengan kesejahteraan. Kira-kira logika yang berlaku di militer adalah, kekuasaan dipegang lebih dahulu, kesejahteraan dengan sendirinya menyusul.

Fenomena ini juga merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa kita hari ini. Bahwa dalam sektor kehidupan apapun, ikhtiar memburu kekuasaan dan kesejahteraan menjadi peristiwa biasa. Bila kita melihat politisi sipil, realitasnya jauh lebih mengerikan, mereka ingin menggapai kekuasaan dan kesejahteraan dalam satu tarikan nafas.

Asal sumber kesejahteraan tetap dijaga?

Faktor kesejahteraan ini pula yang justru akan meringankan langkah Tito Karnavian dalam berkoodinasi dengan para seniornya di Polri. Saya kira para senior Tito akan langsung menyesuaikan dan menerima Tito, asal sumber kesejahteraan mereka tetap dijaga. Kesenjangan generasi bukan masalah benar di Polri.

Kesenjangan generasi di militer sungguh tidak tidak terbayangkan. Toleransinya hanya selang satu atau dua generasi, tapi kalau sampai lima generasi, sebagaimana yang kini terjadi di Polri, mustahil terjadi.

Formasi kepemimpinan di TNI AD juga seperti itu. KSAD Jenderal Mulyono (Akmil 1983) lebih yunior dibanding Wakil KSAD (Letjen Erwin Syafitri, lulusan terbaik Akmil 1982).

Hal itu bisa terjadi, karena di militer masih ada soliditas atas nama korps, kecabangan, kesatuan sebelumnya, serta angkatan saat di Akademi Militer. Soliditas ikatan seperti itu tidak ditemukan di kepolisian, semata-mata karena faktor kesejahteraan pula.

Kepolisian Republik Indonesia
Anggota Kepolisian Republik Indonesia tengah menunaikan tugas.Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Berharap Pada Tito

Selanjutnya peristiwa “bom buku” di KUK, bisa dibaca sebagai secercah harapan bagi Polri di masa depan. Pada peristiwa itu saya melihat langsung dua perwira muda polri (dengan pangkat dan posisi saat itu) di TKP, masing-masing adalah Kompol Dodi Rahmawan (Kasatserse Polres Jaktim, Akpol 1995), dan Kompol Deoniju de Fatima (Komandan Jihandak Brimob Polda Metro Jaya, Akpol 1996).

Keduanya bekerja di TKP dengan penuh integritas, dan mungkin begitulah yang disebut profesional. Meski tangan kiri Kompol Dodi cedera dalam peristiwa tersebut, namun saya ikut lega, ketika mendengar karirnya berjalan normal, dan saat ini tercatat sebagai Kapolres Aceh Tengah (dengan pangkat AKBP). Sementara AKBP Deoniju de Fatima kini masih bertugas di lingkungan Satuan Brimob Polda Metro Jaya, dan sedang mengikuti pendidikan di Sespim Polri.

Tentu saja AKBP Dodi dan AKBP Deoniju hanyalah sekadar contoh kecil, masih banyak perwira muda Polri lain yang memiliki kompetensi dan kualifikasi sebagaimana ditunjukkan oleh keduanya.

Dari pengamatan media sempat muncul nama AKBP Hengki Haryadi (kini Wadirkrimsus Polda Metro Jaya, Akpol 1996), yang saat masih menjabat Kasatserse Polres Jaktim, berhasil “menundukkan” tokoh preman Hercules. Selama ini ada mitos yang berkembang, bahwa Hercules seolah tak tersentuh, bahkan oleh aparat kepolisian sekalipun. Adalah AKBP Hengki Haryadi yang meruntuhkan mitos tersebut.

Bila perwira muda Polri seperti itu adanya, keberadaan mereka adalah berkah, bukan hanya bagi institusi Polri, namun juga bagi bangsa ini. Dengan perwira-perwira muda seperti itu, langkah Tito untuk menata kembali internal Polri, utamanya membongkar mentalitas korup, akan jauh lebih mudah. Perwira-perwira semacam itu bisa menjadi andalan Tito untuk perbaikan Polri di masa depan, sembari berharap mereka tidak cepat silau oleh simbol kesejahteraan, semisal mobil sekelas jeep Rubicon, Toyota Alphard, Lexus, dan seterusnya.

Sudah tepat Presiden Jokowi memilih Tito, yang salah satu pertimbangan Presiden karena Tito merupakan lulusan terbaik di Akpol 1987 (peraih Adi Makayasa). Meski sejatinya ini pertimbangan yang sumir. Dalam promosi seorang perwira, sebaiknya lebih melihat prestasinya di lapangan, sementara status sebagai peraih Adi Makayasa sekadar modalitas awal. Mengingat ada pengalaman, seorang peraih Adi Makayasa perjalanan karirnya biasa-biasa saja, sebagaimana dialami lulusan terbaik Akmil 1988A.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di Kontras. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.