1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suharto dalam Tradisi Politik dan Militer

Aris Santoso7 Juni 2016

Rezim berganti, bayang-bayang Suharto masih terasa dalam politik Indonesia hari-hari ini. konflik internal elit selalu mengorbankan rakyat. Pola seperti itu selalu berulang sampai kini. Ikuti opini Aris Santoso berikut

https://p.dw.com/p/1Izqh
Indonesien Studentenproteste 1998
Foto: picture alliance/dpa/A. Lolong

Hampir dua dasawarsa setelah dirinya lengser, bayang-bayang Suharto masih terasa dalam politik Indonesia hari-hari ini. Warisan penting Suharto adalah membangun supremasi militer (khususnya Angkatan Darat) dalam lanskap politik di Tanah Air, di sepanjang masa kekuasaannya (1966-1998).

Meskipun sudah tidak sebesar dulu lagi, peran politik militer masih menentukan, itu terwujud dalam figur Jenderal Purn. Luhut B. Panjaitan (Menkopolhukam, Akmil 1970).

Dari pengamatan media, terlihat ketergantungan Presiden Joko Widodo terhadap Luhut (selaku Menkopolhukam) terbilang tinggi. Cukup sering Presiden Jokowi memberi jawaban “tunggu Pak Luhut”, ketika ditemui awak media pada kasus-kasus yang pelik. Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, Luhut merupakan “presiden bayangan” republik hari ini.

Baru saja kita menyaksikan kegaduhan di antara para purnawirawan perwira tinggi, terkait isu anti komunisme. Isu ini ibarat bola liar, dan salah satu sasaran tembaknya adalah Luhut.

Ya benar, kini sedang ada konflik keras di tingkat elit militer. Meskipun sebagian besar pelakunya merupakan pensiunan, namun mereka merasa masih berpengaruh, dan sedang berupaya menggoyang posisi Luhut.

Situasi politik yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini, itulah yang saya maksudkan sebagai warisan Suharto. Salah satu cara Suharto mempertahankan kekuasaannya dulu, adalah dengan memelihara konflik di antara pendukungnya sendiri.

Pada suatu masa, memelihara konflik internal ini sempat memperoleh istilah elegan: 'menjaga keseimbangan'. Meskipun secara empirik tidak ada perbedaan mendasar di antara dua istilah tersebut. Semua itu bisa terjadi, karena Suharto sendiri saat meniti menuju singgasananya, juga menggunakan pendekatan konflik, dengan dia sendiri sebagai pelaku aktifnya.

Menghentikan Siliwangi

Proyek pertama yang dilakukan Suharto setelah meraih kekuasaanya pada 1965-1966, adalah dengan menghentikan kompetisi (terselubung) antara Divisi (Kodam) Siliwangi dan Divisi Diponegoro.

Suharto sebagai bagian dari rumpun (ikatan kultural) Diponegoro merasa berkepentingan untuk menghentikan dominasi rumpun Siliwangi dalam peta elit militer Indonesia, yang sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Figur utama rumpun Siliwangi adalah Jenderal AH. Nasution, yang sudah umum diketahui memiliki hubungan tidak harmonis dengan Suharto.

Meskipun sama-sama organisasi militer, ada perbedaan kultural antara rumpun Siliwangi dan rumpun Diponegoro. Penanda utama rumpun Siliwangi adalah perilaku perwiranya yang cenderung kosmopolitan, sesuai dengan karakter Kota Bandung yang menjadi sentral rumpun Siliwangi.

Sejak era kolonial, Bandung merupakan pusat komando angkatan perang Hindia Belanda, dan pusat pendidikan berbagai kecabangan militer, hingga selalu didatangi pemuda dari seluruh penjuru nusantara.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Sementara tradisi rumpun Diponegoro acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), perwiranya homogen (suku Jawa dan umumnya mantan PETA), bahkan menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Nilai kejawen yang menjadi ciri rumpun Diponegoro, tetap dipegang teguh Suharto hingga menjelang akhir hidupnya.

Suharto memang kemudian berhasil menghentikan dominasi Siliwangi. Namun yang menjadi persoalan adalah, kekuasaan yang telah dia rebut dari Siliwangi tidak serta merta di-share pada rumpun Diponegoro, namun justru direngkuh dalam genggamannya sendiri. Kekuasaan bagi Suharto menjadi sangat personal.

Era Orde Baru ditandai dengan runtuhnya pengaruh rumpun Siliwangi. Kita menjadi paham sekarang, mengapa di masa awal Orde Baru masih ada figur Siliwangi yang berusaha mengimbangi Soeharto, seperti Mayjen TNI Ibrahim Ajie (Pangdam Siliwangi 1960-1966) dan Letjen TNI HR Dharsono (Pak Ton, Pangdam Siliwangi 1966-1969), yang pada akhirnya tersingkir juga.

Demokrasi Semu

Satu hal yang paling memprihatinkan, konflik internal elit (militer) selalu mengorbankan rakyat kebanyakan yang notabene tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Pola seperti itu selalu berulang, dan masih direproduksi sampai kini. Contoh “klasik” kasus konflik internal militer, yang kemudian mengorbankan rakyat kebanyakan, adalalah Peristiwa Malari (1974) dan Kerusuhan Mei 1998.

Pada penggal terakhir kekuasaannya, Suharto memiliki pesaing yang cukup tangguh, dalam arti sulit ditaklukkan, yaitu Jenderal Benny Moerdani. Persaingan antara keduanya tak kurang pula mengorbankan rakyat biasa.

Salah satu yang bisa disebut adalah Peristiwa Santa Cruz di Dili (November 1991). Peristiwa tersebut merupakan cara untuk menghentikan laju karir Pangdam IX/Udayana (saat itu) Mayjen TNI Sintong Panjaitan (Akmil 1963), yang sedang digadang-gadang sebagai calon KSAD, menggantikan Jenderal Edi Sudrajat (Akmil 1960). Sintong dianggap masuk dalam kubu Benny Moerdani. Sementara kubu Cendana, sudah menyiapkan calonnya sendiri, yaitu Pangkostrad (saat itu) Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar (Akmil 1963), terhitung masih kerabat Soeharto.

Eksperimen “perlawanan” Benny dimulai ketika mengorbitkan nama Megawati Soekarnoputri dalam kampanye PDI (belum memakai label Perjuangan) menjelang pemilu 1987. Benny berperan di balik dahsyatnya kampanye PDI tahun 1987. Fenomena itu sejatinya tidak bisa dikatakan sumbangsih Benny bagi demokrasi, namun lebih sebagai instrumen Benny dalam mencari keseimbangan kekuasaan, yang terlalu terpusat di tangan Suharto.

Pada dasarnya tidak ada kontribusi positif dari konflik internal elite militer bagi demokrasi, sejak dulu juga begitu. Meskipun wujudnya bisa berupa “pesta demokrasi” yang sangat meriah seperti dalam kampanye PDI tahun 1987, yang tak lebih merupakan gimmick bagi rakyat kebanyakan.

Penulis:

Aris Santoso dikenal sejak lama sebagai pengamat TNI (khususnya Angkatan Darat), biasa menulis masalah kemiliteran di media cetak dan online. Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga yang bergerak di bidang HAM (KontraS).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.