1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bandung, Kota dengan Wajah Kolonialisme

25 September 2018

Kenapa Bandung secara relatif masih mempertahankan segregasi warisan kolonial? Kenapa garis batas kelas warisan kolonial itu masih bertahan sampai sekarang? Ikuti opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/30zbX
Indonesien Stadt Bandung
Foto: Imago/alimdi

Di seluruh Indonesia, mungkin tidak ada kota yang seperti Bandung, di mana wilayahnya secara sosial dan tata kota terbagi dua: utara dan selatan. Pembagian itu bukan tanpa maksud dan tidak terjadi secara alamiah, tetapi memiliki tujuan dan didesain untuk memenuhi tujuan itu.

Bandung secara resmi didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, di bawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 25 September 1810. Daendels sendiri sebenarnya adalah gubernur jenderal yang mewakili Perancis, karena saat itu Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Saat itu, Perancis sedang berperang dengan Inggris, dan Jawa adalah wilayah yang sedang akan direbut Inggris. Maka untuk mempertahankan Jawa, Daendels membuat jalan yang berfungsi sebagai jalur pertahanan memanjang dari Anyer di ujung barat Jawa sampai Panarukan di ujung timur Jawa, yang disebut juga sebagai Jalan Raya Pos. Jalan itu sedianya menyusur pesisir utara Jawa, namun karena alasan strategi suplai logistik, dari Karawang jalan itu dibelokkan ke arah selatan untuk mencapai wilayah yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Bandung. Daendels juga memerintahkan pusat pemerintahan tradisional Bandung yang awalnya berada di daerah Dayeuhkolot dipindahkan ke dekat Jalan Raya Pos, atau yang sekarang dikenal sebagai Alun-Alun Bandung. Di lokasi itu didirikan pendopo sebagai tempat bupati Bandung memerintah, dan masjid yang kemudian disebut Masjid Agung.

Pendopo dan Masjid Agung terletak di sisi selatan Jalan Raya Pos itu, yang menandai pula wilayah kekuasaan tradisional bupati atas rakyat pribumi, yang sebagian besar berdomisi di selatan Jalan Raya Pos itu. Sementara fasilitas-fasilitas pemerintah kolonial dibangun tepat di tepi Jalan Raya Pos dan cenderung mengarah ke utara.

Bandung yang tadinya hanya jadi kawasan perlintasan, mulai ramai dikunjungi sejak kawasan Priangan—dari Cianjur sampai Ciamis—mulai dibuka untuk umum. Sebelumnya kawasan itu dinyatakan kawasan tertutup hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda dalam program tanam paksa, terutama untuk komoditi kopi. Ketika dibuka untuk umum, para pengusaha perkebunan—yang adalah orang-orang Eropa—mulai memasuki kawasan Priangan dan menjadikan Bandung sebagai tempat transit. Dimulailah era pembukaan lahan-lahan perkebunan swasta di kawasan Priangan, dengan juragan-juragan Eropa yang memiliki perkebunan-perkebunan yang sangat luas dan mereka dikenal sebagai Preanger Planters.

Dalam perkembangannya kemudian, para Preanger Planters itu menjadikan Bandung sebagai kota untuk berlibur, sehingga di kawasan itu mulai banyak dibangun tempat-tempat hiburan, termasuk juga perempuan-perempuan cantik untuk menghibur para juragan Eropa itu. Tempat-tempat hiburan itu pun dibangun di sekitar Jalan Raya Pos yang mengarah ke utara.

Selama masa pemerintahan kolonial Belanda, sejak Daendels dan para penerusnya, ada aturan rasialis yang tegas: pribumi tidak boleh menggunakan Jalan Raya Pos. Jalan itu hanya bisa digunakan oleh orang Eropa, Jepang dan timur asing lainnya, yaitu Tionghoa dan Arab. Pemukiman mereka pun dikonsentrasikan, kawasan Pecinan untuk Tionghoa, kampung Arab untuk orang Arab, dan kawasan lainnya untuk orang Eropa.

Orang-orang Eropa banyak yang mendirikan vila-vila di kawasan utara. Menurut pegiat aktivitas sejarah Bandung, Ridwan Hutagalung, kawasan utara Bandung saat itu bentang alamnya sangat berbeda dengan Bandung hari ini. Bandung saat itu masih dipenuhi bukit-bukit kecil. Misalnya, di belakang Gedung Pakuan (rumah dinas Gubernur Jawa Barat) atau yang saat ini jadi lokasi Rumah Sakit Mata Cicendo, di awal abad 20 masih berupa bukit, dan di puncaknya ada sebuah vila. Begitu pula kawasan Dago, mulai dari perempatan Jalan Merdeka saat ini ke arah utara, adalah kawasan yang elevasinya cukup tinggi, sehingga orang yang berdiri di sana dapat menikmati pemandangan luas ke arah selatan. Mungkin karena keindahan dan kenyamanan udaranya, banyak orang Belanda dan Eropa lainnya memilih kawasan utara Bandung sebagai tempat tinggal atau tempat tetirah.

Walau demikian, ada pula kampung-kampung pribumi di kawasan utara Bandung, yang sudah ada sejak sebelum Belanda masuk ke wilayah itu. Kampung-kampung itu tetap dibiarkan oleh Belanda, dan kemungkinan dari kampung-kampung itulah keluarga-keluarga Belanda mendapatkan pasokan babu untuk mengurus rumah-rumah mewah mereka.

Ketika kawasan utara Bandung semakin menjadi konsentrasi pemukim Belanda, dibutuhkan pemerintahan yang khusus mengurusi kepentingan-kepentingan orang Eropa. Maka pada 1906, kawasan utara Bandung ditetapkan sebagai kota, di bawah kepemimpinan seorang wali kota Belanda. Pemerintahan Kota Bandung saat itu hanya mengurusi kepentingan orang Belanda dan Eropa, walau pun ada juga satu kantor dinas yang mengurusi urusan pribumi. Sedangkan Bupati Bandung dan pemerintahannya mengurusi urusan-urusan pribumi.

Artinya di kawasan Bandung sejak 1906 ada dua pemerintahan yang berbeda tipe dan kepentingan: pemerintah kota yang sangat bercorak Belanda dan lebih banyak mengurusi kepentingan Belanda dan orang Eropa, dan pemerintah kabupaten yang sangat bercorak pribumi dan tradisional—misalnya jabatan bupati dapat diturunkan ke anaknya—untuk mengurusi warga pribumi.

Pusat pemerintahannya pun berbeda lokasi. Pemerintah kota berada di utara Jalan Raya Pos, pemerintah kabupaten berada di selatan Jalan Raya Pos.

Pembagian utara-selatan Bandung, bukan semata pembagian wilayah orang Eropa dan pribumi, tapi juga bentuk pembagian kelas sosial dan citra. Sejak zaman kolonial, kawasan selatan selalu diidentikan dengan kemiskinan, kebodohan, dan jorok—citra yang juga selalu ditempelkan pada pribumi. Juga bukan kebetulan, aktivis pergerakan nasional yang pernah bermukim di Bandung saat itu—misalnya, Soekarno dan M. Natsir—juga tinggal di kawasan selatan, walau pun bersekolah di kawasan utara. Tentu saja salah satu alasannya, karena menyewa tempat tinggal di kawasan selatan lebih mudah dan murah bagi orang pribumi.

Sebaliknya, kawasan utara adalah kawasan yang bersih, tertib, dan indah, dengan banyak taman kota untuk pelesiran warganya. Kawasan utara juga jadi tempat pelesiran warga pribumi dari Bandung selatan, di mana mereka bisa menikmati suasana dan bergaya seperti orang Belanda, kemudian pulang ke selatan seakan-akan seperti sudah naik kelas sosial. Nama daerah Dago juga lahir dari kebiasaan itu, di mana orang-orang pribumi saling menunggu (dalam bahasa Sunda disebut ngadagoan) di tempat itu, kemudian pelesir bersama-sama lebih jauh ke utara.

Di era perang kemerdekaan, Bandung juga dibagi dua, namun garis pembatasnya bukan lagi Jalan Raya Pos, tapi rel kereta api. Sisi selatan rel kereta api jadi wilayah kaum Republik, sementara sisi utara jadi wilayah pasukan Sekutu. Di sepanjang rel kereta itu kerap terjadi aksi saling tembak antara milisi Indonesia dengan tentara sekutu.

Pembagian dipertahankan

Melompat ke era kemerdekaan sampai hari ini, pembagian kawasan utara-selatan itu masih terjadi dan dipertahankan—entah disengaja atau tidak. Kawasan utara masih identik dengan permukiman elite, sedangkan utara pemukiman bagi warga kelas menengah ke bawah. Pembangunan dan tata kotanya pun masih mengikuti pola kolonial. Kawasan utara terus dipercantik dengan beragam fasilitas, sementara kawasan selatan semakin sumpek karena jadi wilayah industri dan perdagangan, dan belakangan menjadi kawasan pemukiman untuk warga kelas menengah.

Demikian pula dengan perilaku warganya. Kawasan selatan identik dengan ketidaktertiban, sementara kawasan utara lebih terjaga ketertibannya. Misalnya dalam perilaku berlalu-lintas, jika kita melakukan perjalanan dari utara ke selatan atau sebaliknya, sangat terasa perubahan perilaku itu, di mana para pengguna jalan di kawasan selatan lebih serampangan, tetapi ketika kita memasuki kawasan utara—setidaknya setelah melewati rel kereta api—pengguna jalan relatif lebih tertib jika dibandingkan dengan di kawasan selatan.

Artinya, di Bandung, perubahan zaman—dari era penjajahan ke era kemerdekaan—tidak membuat sekat-sekat sosial yang dibangun oleh kolonialisme hilang, tapi malah dipertahankan baik secara sengaja atau tidak. Hal itu bisa dilihat dari penataan kota, di mana wilayah selatan dari Jalan Raya Pos (sekarang bernama Jalan Asia-Afrika) sampai sekarang masih identik dengan kepadatan, kekumuhan, dan ketidakteraturan. Sedangkan wilayah utara tetap dipandang sebagai kawasan elit dengan nuansa Eropa yang kuat. Bahkan belakangan ini ada kecenderungan untuk membuat kawasan itu semakin kuat bercitra Eropa era kolonial, dengan berbagai hiasan di jalan dan di taman-taman yang di arahkan ke citra itu.

Partisipasi Komunitas di Bandung Dalam Menata Kota

Ada ratusan taman kota di Bandung

Taman-taman di wilayah utara pun secara rata-rata lebih luas dan lebih banyak dibanding di wilayah utara. Berdasarkan data yang diunduh dari ppid.bandung.go.id, di Kota Bandung terdapat 627 taman di Kota Bandung. Dari jumlah itu, sebanyak 249 taman berada di 10 kecamatan yang berada di utara Jalan Raya Pos, artinya setiap kecamatan di sebelah utara jalan pemisah itu rata-rata memiliki 25 taman, dengan rata-rata luas setiap taman 3.543 meter persegi. Sedangkan di wilayah selatan Jalan Raya Pos terdapat 378 taman yang tersebar di 20 kecamatan, secara rata-rata setiap kecamatan memiliki 19 taman, dengan luas rata-rata setiap taman 3.368 meter persegi.

Yang menarik perhatian saya dari dokumen itu, data taman di kawasan selatan didominasi oleh taman kompleks perumahan, yang artinya taman-taman itu dibangun oleh developer perumahan, bukan oleh pemerintah Kota Bandung, dan bukan juga warisan dari masa kolonial. Dari 378 taman yang tercatat ada di wilayah selatan, sebanyak 285 taman adalah taman kompleks perumahan. Artinya hanya ada 93 taman yang berada di kawasan umum, entah dibangun oleh pemerintah Kota Bandung, atau mungkin juga sudah ada sejak zaman kolonial.

Bandingkan dengan taman di kawasan utara, dari 249 taman di sana, hanya 19 taman yang merupakan taman di dalam kompleks perumahan. Artinya sebanyak 230 taman adalah taman yang dibangun pemerintah Kota Bandung atau warisan masa kolonial.

Data itu menggambarkan beberapa hal. Pertama, konsentrasi taman kota—yang dibangun pemerintah kolonial atau pemerintah sekarang—memang berada di utara Jalan Raya Pos, dan itu menggambarkan bahwa kawasan utara memang didesain untuk memberikan kenyamanan bagi warganya. Bandingkan dengan kawasan selatan, yang sebenarnya memiliki jumlah kecamatan—dan juga jumlah penduduk dua kali lipat dari kawasan utara—jumlah taman yang dibangun pemerintah baik di era kolonial maupun di era sekarang sangatlah sedikit. Jumlah taman di kawasan selatan bisa lebih banyak dibandingkan kawasan utara, bukan hasil desain pemerintah, tapi hasil kreasi developer kompleks perumahan.

Kedua, data itu menggambarkan bagaimana aparat pemerintah di kawasan utara dan aparat pemerintah di kawasan selatan berbeda dalam mempersepsikan taman kota. Jika melihat data tersebut, ada kecenderungan aparat pemerintah di kawasan utara untuk tidak memasukkan taman di dalam kompleks perumahan ke dalam daftar taman kota, sehingga hanya memasukkan 19 taman kompleks perumahan ke dalam daftar. Karena berdasarkan observasi saya, sebenarnya masih banyak taman di dalam kompleks perumahan di kawasan utara yang tidak masuk di dalam daftar itu, misalnya dua taman yang cukup luas di area tempat tinggal saya. Berbeda dengan aparat pemerintah di kawasan selatan yang begitu rajin memasukkan 285 taman di dalam kompleks perumahan ke dalam daftar taman Kota Bandung.

Mungkin, aparat di kawasan utara—karena terbiasa melihat taman yang luas di area publik—menganggap taman di dalam kompleks perumahan bukanlah taman kota yang sesungguhnya karena hanya bisa diakses oleh warga kompleks perumahan tersebut. Sedangkan aparat di kawasan selatan, menganggap apa pun yang terlihat sebagai ruang terbuka adalah taman, tak peduli taman itu hanya bisa diakses secara ekslusif oleh warga perumahan setempat.

Beragam fasilitas

Demikian pula dengan fasilitas-fasilitas lainnya. Di bidang pendidikan, misalnya, selalu ada sekolah yang dikategorikan sebagai sekolah elite atau sekolah favorit sejak dulu, misalnya SMAN 3, SMAN 5, SMAN 2, SMAN 1, dan SMAN 20. Semuanya berada di kawasan utara, dan menempati gedung megah peninggalan Belanda. Di selatan, baru belakangan saja ada sekolah favorit yaitu SMAN 8. Berbagai perguruan tinggi terkenal—baik negeri maupun swasta—juga lebih banyak berada di kawasan utara

Dalam fasilitas kesehatan, kawasan utara lebih banyak memiliki rumah sakit favorit baik milik pemerintah maupun swasta, misalnya RS Hasan Sadikin, RS Boromeus, RS Advent, RS Halmahera, dan belakangan ada RS Santosa. Di selatan, walau sekarang mulai bermunculan rumah sakit-rumah sakit atau klinik-klinik baru, yang terbesar dan terkenal di kawasan itu hanya RS Imanuel dan RS Al Islam—keduanya milik swasta

Pertanyaannya, kenapa Bandung secara relatif masih mempertahankan segregasi warisan kolonial itu? Kenapa garis batas kelas warisan kolonial itu masih bertahan sampai sekarang?

Jawabannya mungkin terletak jauh di dalam diri warga Kota Bandung: mentalitasnya sebagai bangsa yang pernah terjajah belum benar-benar pulih. Waryaga dan pemerintahnya mungkin masih punya mimpi untuk jadi seperti bangsa penjajah, yang dianggap sebagai superior dan ditiru cara hidup sebagai kelas elite, persis seperti kita memandang dan mempersepsikan kawasan utara Bandung, sebagai wilayah kaum elit sejak dulu. Sementara itu pemerintah kotanya pun masih seperti pemerintah kolonial bagi warganya: terus mempercantik dan mengagung-agungkan warisan penjajah, dan terus memoles agar terlihat seperti kota Eropa, sementara mengabaikan warisan bangsa terjajah di selatan.

Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz)

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis