Bagaimana Nasib Perjanjian Perdagangan Uni Eropa-Indonesia?
10 Februari 2023Negosiator Uni Eropa (UE) dan Indonesia bertemu di Jakarta minggu ini untuk pembicaraan tatap muka pertama mereka selama hampir tiga tahun pandemi COVID-19 untuk membahas perjanjian perdagangan. Tujuannya untuk membuka akses pasar yang lebih besar di kedua kawasan dan meningkatkan perdagangan antara Eropa dan Indonesia.
Pejabat UE menyatakan yakin bahwa putaran ke-13 negosiasi CEPA itu sekarang akan menunjukkan kemajuan. Perundingan itu dimulai pada tahun 2016, tapi beberapa isu menjadi hambatan besar, misalnya keluhan Jakarta atas undang-undang lingkungan Eropa yang dirasa memberatkan Indonesia.
Setelah pertemuan di sela-sela KTT G20 di Bali pada November lalu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dan Presiden Indonesia Joko Widodo telah menyatakan tekad untuk segera menyelesaikan kesepakatan CEPA sebelum mandat mereka berakhir. Artinya, perjanjian perdagangan itu seharusnya sudah rampung paling lambat awal tahun depan, karena masa jabatan Jokowi akan berakhir pada 2024.
Uni Eropa ingin tingkatkan hubungan dengan Asia Tenggara
Seorang diplomat senior UE yang tidak ingin disebut namanya mengatakan kepada DW, Brussel memiliki harapan tinggi bahwa negosiasi minggu ini ini akan menghasilkan terobosan. "Ini adalah ujian kritis untuk menilai prospek guna mempercepat negosiasi," kata diplomat itu.
Meskipun UE "berkomitmen" untuk hasil yang positif, "pencapaian kesepakatan pada akhirnya bergantung pada peningkatan keterlibatan Indonesia, di semua bidang negosiasi," tambahnya.
UE telah mengamankan pakta perdagangan dengan Singapura dan Vietnam. Pembicaraan dengan Malaysia dan Filipina saat ini ditunda, meski ada optimisme akan bisa segera dimulai kembali. Sedangkan dengan Thailand konsultasi juga sedang digalakkan.
Bagi Indonesia, yang dilihat sebagai hambatan utama adalah kebijakan Uni Eropa soal perlindungan hutan. Selama ini Uni Eropa mengawasi ketat impor barang-barang ke kawasannya yang terkait dengan deforestasi atau degradasi hutan.
Selain itu, November lalu Komisi Eropa menyetujui langkah untuk menghapus biodiesel berbasis minyak kelapa sawit secara bertahap sampai tahun 2030. Langkah itu menyulut protes keras dari Indonesia dan Malaysia, produsen minyak sawit terbesar dunia. Kedua negara bahkan telah menggugat UE ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena melakukan "proteksionisme".
Indonesia juga mengklaim bahwa aturan ketat UE tentang deforestasi akan menghancurkan industri pertanian skala kecil mereka, karena sebagian besar bisnis lokal tidak akan dapat mematuhi tuntutan begitu banyak berkas dan birokrasi yang luas yang diminta UE.
Kebijakan Uni Eropa 'perlu dikomunikasikan lebih baik'
Uni Eropa saat ini memang punya target ambisius dalam transisi energi bersih dan perlindungan iklim, yang bisa memukul industri sawit Indonesia dan Malaysia. Namun, menghadapi berbagai komplikasi akibat perang di Ukraina, Uni Eropa justru bisa kesulitan jika Malaysia dan Indonesia segera memberlakukan embargo ekspor.
Anggota parlemen Eropa Bernd Lange, yang juga Ketua Komite Parlemen Eropa untuk Perdagangan Internasional, mengatakan kepada DW bahwa dia sekarang melihat sudah ada "lebih banyak pemahaman di Indonesia untuk pengelolaan sektor kelapa sawit yang berkelanjutan dan pendekatan yang lebih rasional untuk peluang ekspor, sehingga konflik ini tidak menjadi hambatan lagi untuk kemajuan lebih lanjut."
Dia menerangkan, yang penting juga adalah bahwa "kebijakan UE, terutama undang-undang unilateral, perlu dikomunikasikan dengan lebih baik.” Bernd Lange termasuk dalam delegasi Parlemen Eropa untuk hubungan dengan Asia Tenggara. "Kemitraan perdagangan hanya bisa benar-benar tumbuh dalam kemitraan," tambahnya.
Terlepas dari banyaknya sumber perselisihan, banyak pengamat setuju bahwa kedua belah pihak akan mendapat manfaat bersama dari kesepakatan perdagangan. Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tetapi volume perdagangannya dengan Uni Eropa masih terhitung kecil, pada 2021 hanya senilai 24,8 miliar euro, tidak sampai setengah volume perdagangan UE-Vietnam. Jadi perdagangan bilateral UE-Indonesia masih "jauh di bawah potensinya," kata seorang diplomat UE.
(hp/ha)