1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman Harus Bangun Poros Ekonomi Baru di Asia

Thomas Kohlmann
Thomas Kohlmann
22 November 2022

Pemerintah Jerman melepaskan diri dari kertergantungan Cina dan kini fokus pada kawasan Indo-Pasifik. Namun, semuanya perlu waktu dan tidak akan terwujud dengan cepat. Opini editor DW Thomas Kohlmann.

https://p.dw.com/p/4JpPF
Kanselir Jerman Olaf Scholz di KTT G20, Nusa Dua, Bali
Kanselir Jerman Olaf Scholz di KTT G20, Nusa Dua, BaliFoto: Dita Alangkara/dpa/picture alliance

Mantra baru pemerintah Jerman adalah bahwa Asia lebih dari hanya Cina. Itu memang jelas bagi banyak orang, tetapi setelah 16 tahun Jerman hanya fokus pada Cina di bawah mantan Kanselir Angela Merkel, pandangan sekarang ini merupakan titik balik dalam hal kebijakan ekonomi. Seperti halnya gas Rusia, era Merkel telah mengarahkan Jerman ke ketergantungan yang tidak sehat dan tidak bijaksana.

Di bawah kepemimpinan Merkel, Cina menjadi mitra dagang terbesar Jerman dan pasar penjualan terpenting bagi banyak perusahaan. Dengan setiap kontrak besar yang diselesaikan oleh kelompok industri Jerman, ketergantungan pada pasar Cina makin besar. Pemerintah Jerman saat ini sekarang memandang Cina sebagai pesaing.

Statistik perjalanan Merkel berbicara sendiri: Dia mengunjungi Cina 12 kali, selalu diiringi delegasi bisnis yang besar. Namun, bagaimana dengan Singapura atau Vietnam? Atau negara tuan rumah G20 baru-baru ini, Indonesia? Mantan Kanselir Jerman itu mengunjungi masing-masing negara tersebut hanya satu kali. Padaha indonesia dan Singapura adalah ekonomi kelas berat ASEAN, yang seluruhnya punya 650 juta penduduk.

Perkembangan Indonesia sejauh ini cukup meyakinkan, dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar pada tahun 2021, yaitu sekitar USD1,19 triliun. Perekonomian Singapura memang jauh lebih kecil, tetapi pulau ini sangat maju. Dengan ukuran hanya kira-kira seluas Hamburg, PDB per kapitanya lebih tinggi daripada Amerika Serikat atau Jerman. Singapura juga mengoperasikan pelabuhan peti kemas terbesar kedua di dunia dan merupakan pusat keuangan utama Asia.

Perubahan tidak akan terjadi dengan cepat

Republik Rakyat Cina sejauh ini merupakan mitra dagang terpenting Jerman di Asia. Jerman dan Cina bertukar barang senilai sekitar 250 miliar euro per tahun. Sebagai perbandingan, volume perdagangan Jerman dengan Vietnam dan Singapura masing-masing hanya €14,5 miliar dan lebih dari €11 miliar.

Jadi, perubahan haluan tidak akan terjadi dengan cepat. Jalan menuju diversifikasi perdagangan luar negeri Jerman kemungkinan besar akan menjadi maraton, bukan lari cepat.

Hal yang sama berlaku untuk pasokan bahan baku utama. Selain pemasok energi baru, pemasok baru bahan mentah yang langka juga penting untuk mendukung transisi energi. Tembaga, litium, dan logam tanah jarang adalah kata kunci di sini. Bahan-bahan tersebut penting untuk transisi energi, apakah itu tembaga untuk motor listrik atau logam tanah jarang yang diproses dalam produksi magnet permanen yang digunakan dalam turbin angin.

Strategi ekonomi baru yang sangat terlambat

Strategi ekonomi yang disesuaikan dengan realitas baru sudah lama ditunggu – tidak hanya ketika berhadapan dengan Cina. Pemerintah harus menemukan jawaban dan menentukan tindakan bersama dengan komunitas bisnis. Bisnis, pada bagiannya, telah lama mulai mendiversifikasi rantai pasokannya setelah pandemi virus corona.

Di mana perekonomian Jerman dalam 5, 10, atau 20 tahun mendatang? Masih sulit untuk menjawabnya. Cina, di sisi lain, telah lama menetapkan peta jalannya untuk kemajuan ekonomi, menetapkan dengan tepat jenis target dan sasaran waktunya. Di Jerman, target ini terbatas pada pengumuman sumber energi mana yang harus diberhentikan dan kapan.

Tidaklah adil untuk mengharapkan pemerintah saat ini memperbaiki orientasi sepihak selama 16 tahun terhadap Cina di bawah Angela Merkel dalam waktu singkat. Namun, Jerman tidak boleh membuang-buang waktu dalam hal itu.

(hp/ha)