1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mereduksi Kultur Militeristik Brimob

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
29 Juni 2019

Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk meminimalisir kultur militeristik dalam Brimob? Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3Kswn
Indonesien Unruhen nach der Wahl
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Hari-hari ini satuan Brigade Mobil kembali menjadi perhatian publik. Sesuai dengan fungsinya sebagai pasukan "pemukul” Polri, satuan Brimob selalu berada di garis depan dalam kerja-kerja lapangan, khususnya dalam meredam aksi kerusuhan 21-22 Mei lalu. Kemudian dilanjutkan dengan pengamanan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019. Saat naskah ini sedang disusun, sidang MK masih tengah berlangsung.

Dalam upaya mengatasi setiap kerusuhan, khususnya pada peristiwa Mei kemarin, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menegaskan, pasukan kepolisian (utamanya Brimob) tidak dibekali peluru tajam. Namun dalam kenyataan di lapangan ada sekitar korban tewas (setidaknya) delapan orang. Karenanya masih menjadi tanda tanya besar, dari mana asal peluru tajam yang menyebabkan kematian tersebut.

Saat ini merupakan fase krusial bagi Polri, bahwa klarifikasi soal peluru tajam perlu menjadi prioritas, untuk menepis keraguan publik.  Sejak resmi berpisah dari TNI pada tahun 2000,  pimpinan Polri menyusun disain besar,  bagaimana mengurangi kultur militeristik (khususnya) bagi personel Brimob. Dan  salah satu implementasinya adalah,  tidak lagi menggunakan peluru tajam dalam penindakan huru-hara di perkotaan, atau kasus urban lainnya.

Sesuai surat keputusan Kapolri  Skep/27/IX/2002 tentang reformasi Korps Brimob, yang salah satu poinnya mengatur soal perubahan kultur. Secara bertahap diharapkan  terjadi perubahan signifikan perilaku personel Brimob yang militeristik, menjadi personel Brimob Polri berstatus sipil.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Antara Reformasi Polri dan Brimob

Seperti juga TNI, Polri juga melakukan reformasi internal, yang meliputi tiga aspek: struktural, instrumental dan kultural. Secara singkat, perubahan kultural adalah perubahan perilaku anggota Polri, yang mengedepankan jatidiri sebagai polisi sipil. Polisi sipil dimaksud adalah polisi yang menghargai hak-hak sipil, bersahabat, lebih membela kepentingan rakyat ketimbang kepentingan penguasa, dan yang paling utama menjunjung tinggi nilai HAM.

Polisi sipil selain sebagai paradigma, juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses  reformasi dimaksud tidak bisa dijalankan secara parsial, tetapi secara berkelanjutan. Sehingga akan terjadi percepatan dalam mewujudkan polisi sipil, yang dicirikan dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsisten terhadap supremasi hukum.

Namun harus diakui, dalam praktik di lapangan, kultur polisi belum banyak berubah, meski sudah ada reformasi Polri. Khusus untuk satuan Brimob, perubahan kultur itu terkesan  lambat, terlebih bila diukur dari tahun diterbitkannya Skep di atas, yakni tahun 2002, berarti sudah 17 tahun. Dalam hal perubahan kultur, Brimob juga  terkesan lebih lambat dibanding korps lainnya dalam Polri, seperti intelpam, reserse, korlantas, dan sabhara (patroli).

Masih adanya bias dalam perilaku anggota Brimob di lapangan, bisa dilihat dari narasi turunan  reformasi Polri terhadap Brimob,   masih terkesan militeristik: "Fungsi Brimob adalah satuan pamungkas Polri yang memiliki kemampuan spesifik  penanggulangan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat, yang didukung oleh personel terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid, perlatan, perlengkapan dengan teknologi modern”.

Masih butuh waktu beberapa tahun lagi untuk meminimalisir kultur militeristik dalam Brimob. Mengingat dari sejarahnya, Brimob sejak awal memang dibentuk sebagai pasukan paramiliter, mengacu pada pasukan polisi paramiliter sejenis di era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Diperlukan satu fase lagi, untuk mereposisi Brimob dalam kerangka besar konsep polisi sipil.

Politisasi Brimob

Nama Brimob sudah terlanjur melegenda, wajar bila mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Dibanding korps lain dalam jajaran Polri, seperti reserse, korlantas, sabhara, dan seterusnya, adalah Brimob yang paling dikenal publik. Mungkin karena kebesaran namanya pula, ada pihak lain yang berusaha melemahkan dirinya. Begitulah takdir sebagai satuan besar, politisasi dari pihak di luar dirinya menjadi tak terhindarkan lagi.

Salah satunya terjadi di masa kepemimpinan Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Bagi matra darat, era kepemimpinan Benny bisa jadi adalah kenangan indah, namun tidak bagi Korps Brimob. Pada era Benny, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, selain hanya dipimpin perwira berpangkat kombes (kolonel),  struktur komandonya sekadar "dititipkan”  pada Direktorat Samapta Mabes Polri, jadi bukan sebagai Korps yang berdiri sendiri. Direktur Samapta sendiri saat itu berpangkat brigjen, setara dengan Direktur Reserse Mabes Polri, semantara posisi Kabareskrim Mabes Polri sekarang adalah pati bintang tiga (komjen).

Pada waktu  bersamaan, figur legendaris Brimob (khususnya bagi Resimen Pelopor) yakni Jenderal Anton Sujarwo menjabat Kapolri. Terlihat ada faktor politis di sini, seolah memang ada grand design  Benny untuk mengecilkan peran Brimob. Sementara Anton Soejarwo sebagai sesepuh Brimob, tidak mampu berbuat banyak bagi Brimob yang sedang menghadapi cobaan kala itu. Bagi yang paham zaman itu, memang seolah terjadi saling "sandera” antara Benny dan Anton, mengingat keduanya adalah segenerasi dan sama-sama tokoh kebanggaan dari satuan asal.

Begitu juga di masa Orde Lama,  nama besar Brimob justru menempatkannya pada posisi dilematis. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Brimob juga sempat terseret-seret dalam wilayah politis praktis, yang terbukti merugikan citra satuan di kemudian hari. Begitu dekatnya hubungan emosional antara Bung Karno dengan Brimob, terlihat ketika Bung Karno mengorbitkan seorang perwira Brimob berpangkat Kombes menjadi Kapolri, yakni Sutjipto Danukusumo (Kapolri 1964-1965). Itu bisa terjadi, mengingat pasukan Brimob di bawah Komisaris Sutjipto yang mengawal Bung Karno di masa-masa awal kemerdekaan dulu, ketika satuan semacam Paspampres belum lagi dibentuk.

Salah satu cara Brimob untuk merebut kembali kepercayaan publik, adalah dengan meningkatkan kemampuan satuan, seraya mengambil jarak dengan politik kekuasaan. Salah satu kemampuan yang paling aktual untuk ditingkatkan – baik di tingkat satuan kecil maupun perorangan – adalah dalam hal antiteror. Dengan mengasah kemampuan di bidang ini, Brimob telah memberi andil besar bagi terciptanya rasa aman masyarakat, yang memang merupakan visi Brimob sejak didirikan dulu.

Sinergi dengan TNI

Meredusi aspek militeristik juga bisa diimplementasikan dalam pelayanan yang adil dan imparsial, penggunnaan kekerasan yang minimal.  Reformasi Polri tidak boleh ketinggalan dengan reformasi yang terjadi di kementerian dan lembaga negara lain. Dalam konteks pertahanan negara, Brimob dengan kekuatan dan kompetensinya mampu menjadi instrumen pendukung utama bagi kegiatan TNI dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang datang dari dalam dan luar negeri. Demikian pula pada operasi-operasi kemanusiaan dan bencana, sesuai dengan semboyan Korps Brimob: Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan.

Bila selama ini terkesan ada konlik laten antara TNI (khususnya matra darat) dan Brimob, baik secara keanggotaan dan institusi, kini asumsi perlu dibalik, sesuai dengan perkembangan zaman. Brimob dan TNI AD memiliki domain penugasan sendiri-sendiri, dan ada undang-undang yang memayunginya. Sehingga tidak cukup alasan untuk terus bersaing, berdasarkan kebanggaan (berlebihan) korps. Kini yang dibutuhkan adalah sinergi dan koordinasi antara TNI, khususnya pada unit pasukan khusus, dengan satuan dengan kualifikasi setara di Brimob.

Arti penting koordinasi dan tukar informasi kini semakin semakin terasa, mengingat ada "perkembangan” dalam bentuk teror: dari teroris (sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda). Sebagaimana diketahui, unit-unit antiteror di negeri kita, pada umumnya dilatih untuk menghadapi aksi-aksi teror dari sekelompok teroris, artinya yang dihadapi adalah sekelompok manusia juga, seperti pembajakan pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang dihadapi adalah bom, perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.

Kemampuan yang ada selama ini, adalah sebatas melumpuhkan atau menjinakkan bom, yang belum sempat meledak dan  sudah diketahui keberadaannya. Tugas ini biasa dilakukan oleh unit Jihandak (Penjinakan Bahan Peledak) dari Gegana Brimob Polri dan satuan dari Zeni AD.

Lebih spesifik lagi, dibutuhkan koordinasi antara personel unit intelijen dan unit antiteror. Biasanya memang personel intel dan antiteror berada dalam satuan yang terpisah. Seperti di Kopassus misalnya, unit intel tergabung dalam Grup 3/Sandi Yudha, sedang unit antiteror tergabung dalam Satgultor 81(Satuan Penanggulangan Teror). Demikian juga yang terjadi dalam Resimen IV/Gegana Brimob Polri. Fungsi intelijen dipegang oleh Detasemen A, sementara Detasemen C menjalankan fungsi antiteror.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.