1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Pemilu Rwanda Membawa Stabilitas di Negara itu?

15 September 2008

Pemilu akan diadakan dari 15 sampai 17 September. Konflik etnis antara suku Hutu dan Tutsi tahun 1994 lalu masih membayangi negara di Afrika tengah itu. Kini pemerintah usahakan perbaikan ekonomi secepat mungkin.

https://p.dw.com/p/FI8J
Kuburan Nyaza tempat korban genosida 1994 dimakamkanFoto: AP

Seorang aktivis perdamaian memberikan gambaran demikian tentang keadaan di Rwanda saat ini: ketakutan ada di mana-mana. Dan itu tidak mengherankan. "Setelah kejadian mengerikan yang menimpa negara ini, tidak ada hati yang bisa tenang. Semua orang hatinya terluka.”

Demikian dikatakan aktivis perdamaian asal Rwanda yang tidak mau disebut namanya di radio. Ia sudah beberapa kali mendekam di penjara akibat pernyataan yang diberikannya. Kini dengan sebuah organisasi non pemerintah ia berusaha menggalakkan perdamaian di negara itu.

Pemilu Yang Demokratis?

14 tahun setelah pembunuhan massal, rakyat Rwanda akan memberikan suara untuk kedua kalinya dalam pemilu. Dewan perwakilan di negara itu memiliki dua majelis, yaitu parlemen yang terdiri dari 80 kursi dan senat dengan 26 kursi.

Pakar ilmu sosial Gerd Hankel dari Universitas Hamburg menjelaskan, berdasarkan hukum pemilu di negara itu, keputusan demokratis sebetulnya hanya dapat tercapai 50%. Karena hanya 53 dari 106 wakil rakyat di parlemen dipilih melalui pemilu yang bebas, adil dan rahasia. 53 lainnya dipilih secara tidak langsung. Ini tentunya dapat dikendalikan pihak tertentu.

Pihak Yang Berkuasa

Pihak yang dimaksud adalah FPR atau Front Patriotis Rwanda. Inilah partai Presiden Paul Kagame. Partainya mengendalikan hasil pemilu melalui berbagai organisasi yang mengirimkan wakilnya ke parlemen.

Namun demikian untuk membungkam suara-suara kritis pemerintah menekankan, bahwa demokrasi yang ditentukan sejumlah partai sesuai dengan ketetapan dalam konstitusi, dan hal inilah yang dilaksanakan. Di negara itu ada 9 partai. Namun seorang aktivis perdamaian mengatakan, semua partai itu sebenarnya hanya boneka.

Lebih Baik Satu Partai

Menurut perkiraan pakar ilmu sosial Gerd Hankel, Rwanda berada dalam masa-masa menuju negara dengan satu partai. Menurutnya, kenyataan bahwa ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan korban perang dan pembunuhan massal tidak boleh dilupakan.

Sejumlah besar keluarga dan orang-orang yang selamat sekarang masih berada di negara itu, dan pengalaman mengerikan ini tentunya sangat mempengaruhi. Banyak warga Rwanda yang mengatakan, lebih baik hidup di dalam negara yang hanya memiliki satu partai, atau di bawah pemerintah yang otoriter dan bahkan diktator, daripada harus mengalami semua itu lagi.

Bantuan Dana untuk Kemajuan

Rwanda termasuk kelompok negara yang berkembang sangat lambat. Meskipun demikian perekonomian di negara itu tumbuh dengan stabil dan Rwanda kemungkinan besar akan dapat mencapai tujuan pembangunan yang dicanangkan PBB.

Bulan April lalu Kanselir Jerman, Angela Merkel memuji presiden Rwanda saat berkunjung ke Berlin. Merkel mengatakan, Jerman ingin agar Rwanda terus melanjutkan upayanya yang berhasil. Jerman juga mengucurkan dana bantuan sejumlah lebih dari 12 juta Euro bagi Rwanda.

Tabu Soal Etnis

Akibat pengalaman buruk berupa pembantaian massal, di Rwanda tidak dibicarakan lagi adanya perbedaan etnis. Secara resmi perbedaan dalam masyarakat tidak ada lagi. Suku Hutu dan Tutsi tidak ada lagi. Yang ada hanya rakyat Rwanda. Dengan cara itu pemerintah berusaha menghindari terulangnya kekerasan antar etnis. Berkaitan dengan tabu tentang perbedaan etnis itu, harapan baru sekarang tumbuh.

Kendati begitu aktivis perdamaian yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, itu juga bisa berarti menyangkal realita. Karena pada kenyataannya, masalah perbedaan etnis masih relevan di dunia politik, ekonomi dan sosial. Perbedaan itu penting, tetapi tidak diakui.

Pers Dibatasi

Tabu ini juga berlaku bagi media. Laporan tentang latar belakang genosida tidak pernah diberikan kepada masyarakat umum. Lebih dari itu, dikatakan pakar ilmu sosial Gerd Hankel, secara keseluruhan media yang bersikap kritis terhadap pemerintah juga tidak ada. Hankel menambahkan, kebebasan pers tidak ada, karena orang beranggapan, pers harus dikontrol. Sebab pers dulu memegang peranan penting di awal perang, dan terutama dalam asal-muasal genosida. Jadi laporan pers tertentu tidak bisa diterima.

Oleh sebab itu bagi organisasi non pemerintah “Reporter Lintas Batas” dan “Freedom House”, Rwanda berada di salah satu peringkat paling bawah dalam hal kebebasan pers. (ml)