1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekCina

Alasan Cina Tidak Mengandalkan Rapid Test

William Yang
15 Februari 2022

Di saat negara-negara Barat mulai mendistribusikan tes antigen cepat gratis kepada warga, Cina menetapkan tes PCR sebagai standar pengujian dalam strategi nol-Covid di negara itu.

https://p.dw.com/p/471I4
Seorang pekerja medis bekerja di laboratorium pengujian
Meskipun Cina memproduksi tes cepat, negara tersebut tidak ingin menggunakannya karena kekhawatiran akan akurasiFoto: XinHua/dpa/picture alliance

Varian Omicron yang terus menyebar ke seluruh dunia membuat permintaan tes antigen cepat (RAT) untuk COVID-19 juga meningkat. Bulan lalu, Gedung Putih mengumumkan warga Amerika Serikat dapat mulai memesan RAT gratis mulai 19 Januari, karena Washington telah membeli 1 miliar RAT.

Di saat negara-negara Barat mengandalkan RAT sebagai alternatif untuk sistem pengujian PCR, Cina tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang hampir secara eksklusif hanya mengandalkan tes PCR untuk mengidentifikasi virus corona.

Tes PCR mencari materi genetik virus seperti asam nukleat atau RNA, sedangkan RAT mencari potongan protein yang terinfeksi oleh virus. Tes PCR biasanya lebih akurat dibanding RAT karena lebih sensitif. Artinya, tes antigen membutuhkan konsentrasi virus yang lebih tinggi daripada tes PCR untuk menunjukkan hasil positif.

Menurut data Administrasi Produk Medis Nasional Cina pada akhir tahun 2021, Cina menyetujui 68 reagen uji COVID-19 baru, termasuk 34 reagen pengujian asam nukleat, 31 reagen pengujian antibodi, dan hanya tiga reagen pengujian antigen.

RAT buatan Cina tersebar luas secara global

Laporan media Cina menunjukkan setidaknya 10 jenis RAT yang diproduksi di Cina telah disetujui di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan Yunani. Padahal banyak RAT yang diproduksi di Cina belum disetujui di dalam negeri,

Sejumlah ahli berpendapat, alasan mengapa Cina belum mulai meluncurkan RAT dalam skala massal adalah karena kegigihan negara itu dalam menegakkan strategi nol-Covid. “Penegakan Cina terhadap kebijakan nol-Covid di masa mendatang, menentukan tes antigen cepat mungkin tidak cukup efektif pada tahap saat ini,” kata Xi Chen, seorang profesor kebijakan kesehatan dan ekonomi di Yale School of Public Health.

Pakar lain setuju dengan penilaian Chen. Mei-Shang Ho, seorang peneliti di Institute of Biomedical Sciences di Academia Sinica di Taiwan menyebutkan, karena RAT tidak begitu sensitif terhadap viral load yang rendah, pengujian PCR adalah metode yang disukai untuk negara-negara yang menerapkan strategi mengidentifikasi semua kasus yang ada.

"Untuk Cina, mereka perlu mengidentifikasi semua orang yang terinfeksi, termasuk individu tanpa gejala, jadi lebih akurat bagi mereka untuk mencapai tujuan itu dengan mengandalkan tes PCR," katanya kepada DW.

Munculnya varian Omicron juga menimbulkan tantangan baru terhadap akurasi RAT. Chunhuei Chi, Direktur Pusat Kesehatan Global di Oregon State University di Amerika Serikat mengatakan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan, karena varian Omicron  lebih terkonsentrasi di sekitar tenggorokan atau mulut pasien pada awal infeksi, ketika mereka mencoba untuk mengambil sampel dari hidung menggunakan RAT, sensitivitas tes kemungkinan lebih rendah.

"Alasan sebenarnya untuk ini belum ditentukan, tetapi kita sekarang tahu bahwa tes antigen kurang akurat dalam menghadapi varian Omicron," katanya kepada DW.

Kapan Cina akan mulai menggunakan RAT?

Para ahli tampaknya setuju dengan fakta, selama Cina menjunjung tinggi strategi nol-Covid-nya, tidak mungkin Beijing mulai menggunakan RAT dalam skala luas. “Karena tes antigen tidak begitu sensitif terhadap beban virus yang rendah, kasus negatif palsu dapat mengancam strategi nol-Covid,” kata Chen dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Yale kepada DW.

Chi dari Oregon State University juga menunjukkan, tidak seperti Cina, negara-negara yang telah menggunakan RAT dalam jumlah besar, telah mengubah tujuan tindakan pengendalian pandemi menjadi pencegahan gejala serius dan kematian.

“Jika tujuannya untuk mencegah gejala serius dan kematian, serta mencegah rumah sakit kelebihan beban, maka negara-negara ini tidak perlu terlalu peduli seberapa akurat tesnya,” jelasnya.

"Yang mereka pedulikan adalah mencegah jumlah infeksi agar tidak lepas kendali."

Selain itu, faktor non-medis lainnya juga dapat berkontribusi pada keputusan Cina untuk tidak menggunakan RAT dalam skala besar, kata Chi. “Karena RAT sebagian besar dilakukan oleh warga di rumah, pihak berwenang di Cina mungkin kurang percaya pada hasil tes tersebut,” katanya kepada DW.

Dalam sebuah wawancara dengan China News Weekly yang dikelola pemerintah Cina, Bo-lin Tang, Direktur Penjualan Ningbo Dasky Life Science mengatakan, salah satu alasan mengapa RAT berkembang lambat di Cina adalah karena hampir tidak ada pasar untuk tes cepat. “Karena tes PCR dipandang sebagai standar emas di Cina dan kapasitas pengujian negara itu dapat memenuhinya, tidak ada ruang untuk tes antigen cepat,” katanya.

Selain itu, karena Administrasi Produk Medis Nasional Cina (NMPA) menggunakan proses yang panjang untuk meninjau alat tes COVID-19, Tang mengatakan produsen mungkin merasa kesulitan untuk melewati proses resmi dan mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh NMPA Cina.

Menggabungkan kekuatan tes RAT dan PCR

Salah satu solusi menggabungkan manfaat tes RAT dan PCR mungkin ada di depan mata bagi warga negara Cina. Dalam studi peer-review yang diterbitkan dalam jurnal Nature Biomedical Engineering pada hari Senin (14/02), para ilmuwan Cina dari Universitas Fudan Shanghai mengatakan, mereka telah mengembangkan tes COVID-19 yang dapat memproses hasil seakurat tes PCR dalam waktu kurang dari empat menit.

Para peneliti mengumpulkan sampel hidung dari 33 pasien PCR-positif COVID-19, 23 pasien PCR-negatif, enam pasien positif influenza, dan 25 sukarelawan sehat. Tes tersebut secara akurat memproses semua kasus tanpa kesalahan dalam waktu kurang dari empat menit, menurut penelitian tersebut.

Namun, karena penelitian dilakukan pada sampel kecil, pakar Universitas Johns Hopkins Andrew Ching mengatakan kepada DW, hal itu hanya akan membuat perbedaan jika tingkat akurasi 100% dapat bertahan dalam uji sampel yang lebih besar. Chunhuei Chi meyakini, RAT mungkin tidak akan mendapatkan kepercayaan dari otoritas Cina dalam waktu dekat.

"Dengan asumsi bahwa Cina perlahan-lahan akan mempertimbangkan untuk menjauh dari strategi nol-Covid setelah peristiwa politik besar musim gugur ini, RAT mungkin mulai dianggap lebih serius oleh otoritas Cina mulai saat itu," katanya.

Chen dari Yale juga menganalisis, kapasitas manufaktur Cina untuk RAT mungkin memainkan peran yang lebih penting dalam tindakan pengendalian pandemi di masa depan. "Kapasitas produksi yang besar untuk tes antigen, akan menjadi lebih penting karena strategi nol-Covid Cina akhirnya bergeser," pungkasnya.

(ha/as)