1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis: Tutup Keran Impor Sampah dan Limbah

Rizki Akbar Putra
28 Agustus 2019

Presiden Jokowi tegaskan pemerintah akan memperketat izin dan pengawasan dalam upaya mengendalikan impor sampah dan limbah dari negara maju. Aktivis berpendapat, menutup keran impor merupakan cara yang paling ampuh.

https://p.dw.com/p/3OavS
Bildergalerie Indonesien Das Dorf der Müllsortierer
Foto: Reuters/W. Kurniawan

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menegaskan langkah-langkah pengendalian harus segera dilakukan dalam rapat terbatas (ratas) tentang penanganan impor sampah dan limbah yang digelar di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/08) kemarin. Menurutnya ada tiga langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut.

Yang pertama adalah dengan memaksimalkan potensi sampah yang ada di dalam negeri terlebih dahulu untuk kebutuhan bahan baku industri dalam negeri. Kedua, mempercepat penyelesaian regulasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola impor sampah dan limbah. Ketiga yakni penegakan aturan dan pengawasan seketat-ketatnya terhadap impor sampah dan limbah yang masuk ke Indonesia.

Selain itu, langkah-langkah tegas juga wajib dilakukan apabila ditemukan adanya pelanggaran di lapangan. Maka dari itu koordinasi antar kementerian mutlak diperlukan.

"Saya rasa ini koordinasi di antara menteri-menteri terkait sangat diperlukan sehingga jangan sampai terjadi perbedaan pandangan yang menghambat penanganan impor sampah dan limbah," imbuh Jokowi.

Indonesien | Regierung Joko Widobo | Müll-Import
Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas soal pengendalian impor sampah dan limbah di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/08)Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr.

Lebih lanjut, menurutnya permasalahan impor sampah dan limbah dari negara maju tak hanya terjadi di Indonesia. "Saya juga beberapa kali di dalam summit, di ASEAN Summit dan konvensi yang lainnya juga disampaikan mengenai banyaknya sampah dan limbah yang diekspor dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Jadi bukan hanya di Indonesia saja," jelasnya.

Ia pun mengimbau agar persoalan ini disikapi dengan hati-hati. Bak dua sisi mata uang, impor sampah terutama kertas dan plastik bisa memenuhi kebutuhan baku industri. Tetapi, di sisi lain banyaknya sampah dan limbah yang masuk ke Indonesia juga berpotensi merusak lingkungan dan mengancam kesehatan jika jika sampah dan limbah tersebut terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3).

Revisi Peraturan Menteri Perdagangan

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, mengatakan saat ini pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun. Pihaknya bersikeras untuk mempertahanakan tingkat pengotor impor plastik di angka 2 persen dan ke depan bisa menjadi 0 persen.

"Kalau saya berharap 0 persen ini bisa sebelum 2021,” ujar Siti usai rapat terbatas.

Angka ini berbanding terbalik dengan keinginan industri plastik yang ingin batas kontaminan dinaikkan ke angka 5 persen. Tingkat pengotor yang diizinkan bagi importir memang kerap dianggap menjadi celah untuk memasukkan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke Indonesia.

Muharram Atha Rasyadi | Greenpeace Indonesia
Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi Foto: privat

Sebelumnya kepada DW Indonesia, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, menilai upaya memperketat izin dan pengawasan impor sampah dan limbah tidak akan menyelesaikan masalah. Ia berpendapat, seharusnya pemerintah memperjelas definisi sampah dan limbah di dalam peraturan agar menjadi dasar upaya pengendalian.

"Karena di dalam UU pengelolaan sampah kita nomor 18 tahun 2008, disebutkan bahwa setiap pihak tidak dapat membawa masuk atau mengimpor sampah ke dalam wilayah Indonesia. Sedangkan pengertian sampah adalah sisa kegiatan atau konsumsi masyarakat. Berbeda dengan limbah yang merupakan sisa kegiatan produksi,” jelas Atha saat diwawancarai DW Indonesia.

Ia berpendapat bahwa Indonesia semestinya menutup keran impor sampah dan limbah seperti halnya yang dilakukan Cina, agar tidak ada lagi ruang bagi para importir untuk mengirimkan sampahnya masuk ke Indonesia dengan dalih apa pun. Karena menurutnya sebagian besar sampah dan limbah yang masuk tersebut  merupakan jenis sampah yang tidak dapat didaur ulang.

"Karena sebagian besar tidak dapat didaur ulang, tentu berpotensi menjadi timbunan atau bahkan dibakar secara bebas,” imbuh Atha.

Berdasarkan data Kementerian KLHK, hingga Agustus 2019, Indonesia sudah mereekspor lebih dari 400 kontainer sampah  yang berisikan limbah B3 ke negara asal. Kontaminan tersebut antara lain bekas infus, pampers, ampul suntik, bungkus obat, hingga aki bekas. Angka ini belum termasuk 1.200 kontainer yang masih dalam proses pemeriksaan.

rap/ts