1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Aksi Selamatkan Perempuan Korban KDRT Saat Lockdown di India

7 September 2020

Saat virus corona membuat hampir semua orang berdiam di rumah, Talat Jahan sibuk melintasi daerah kumuh dengan sebuah tuktuk. Tanpa lelah ia membantu perempuan yang dilecehkan dan kelaparan di India.

https://p.dw.com/p/3hx6c
Gambar ilustrasi tuktuk di India
Gambar ilustrasi tuktuk di IndiaFoto: Getty Images/AFP/X. Galiana

Talat Jahan, 29, adalah seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Baru-baru ini ia dan belasan perempuan lainnya dilatih untuk menjadi perempuan pengemudi tuktuk pertama di Bhopal, India. Mereka bertugas mengantarkan makanan dan kebutuhan pokok lainnya bagi keluarga-keluarga di kota itu yang terpukul parah selama masa kuncian yang berlangsung berbulan-bulan.

Namun sering pula, Jahan dan rekan-rekan sesama relawan dari pusat krisis Gauravi harus menjadi pendengar yang simpatik bagi para perempuan yang harus terkurung bersama para pelaku kekerasan dalam rumah tangga selama masa penguncian akibat Covid-19. Angka kekerasan dalam rumah tangga di seluruh dunia memang diketahui meningkat selama masa lockdown.

"Beberapa perempuan terjebak di rumah bersama suaminya yang kasar, mereka akan datang dan mencari saya dan memberi tahu saya tentang masalah mereka," kata Jahan yang juga pernah mengalami kekerasan dan tuntutan mas kawin dari mertuanya.

Lembaga Gauravi termasuk badan amal pertama yang didirikan setelah pemerkosaan dan pembunuhan brutal terhadap seorang perempuan di dalam bus di Delhi pada tahun 2012. Kejahatan ini memicu kemarahan global atas perlakuan terhadap perempuan dan menyebabkan diperketatnya undang-undang antipemerkosaan di India.

"Saya tahu rasanya tidak berdaya"

Gauravi sendiri dalam bahasa Hindi berarti hati yang berani. Lembaga ini memberikan dukungan hukum, keuangan, sosial dan psikologis kepada korban pelecehan. Lembaga ini juga membantu Jahan dan para perempuan pengemudi tuktuk lainnya yang sebagian besar adalah penyintas KDRT untuk menemukan pekerjaan baru, serta memberikan berbagai bantuan bagi perempuan lain yang membutuhkan.

"Saya merasa diberkati dapat membantu para perempuan ini karena saya telah melewati hal yang sama dan tahu seperti apa rasanya tidak berdaya," kata Jahan kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari Bhopal, ibu kota negara bagian Madhya Pradesh. 

Suasana lockdown di India
Kebijakan lockdown akibat wabah corona mengakibatkan banyak perempuan terkurung bersama penganiayanya.Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Maqbool

"Ketika salah satu dari mereka berkata kepada saya 'Seandainya bukan karena kamu, saya akan mati', saya tahu saya telah melakukan hal yang benar."

Saat negara-negara di seluruh dunia melaporkan adanya lonjakan panggilan ke pusat pengaduan telepon untuk KDRT, pemerintah federal dan negara bagian India pun menyiapkan saluran bantuan khusus untuk para perempuan selama pembatasan akibat wabah corona.

Komisi Nasional untuk Perempuan (NCW) juga meluncurkan saluran bantuan lewat aplikasi WhatsApp pada bulan April 2020, menurut Kementerian Perempuan di India. NCW mencatat adanya 660 pengaduan kekerasan dalam rumah tangga di bulan Juli, jumlah ini naik sekitar 45 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Selama masa kuncian ketat antara akhir Maret dan Juni, saluran bantuan komisi ini juga mencatatkan sekitar 1.500 keluhan. Baik Kementerian Perempuan maupun NCW tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.

Sentuhan yang menyembuhkan

Sarika Sinha, Direktur ActionAid India yang mengelola Gauravi, mengatakan pengemudi tuktuk perempuan memainkan peran kunci dalam mengidentifikasi dan memastikan adanya dukungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.

"Ini masa yang sulit. Anda kehilangan mata pencarian, kehilangan makanan, kehilangan rasa aman," katanya. "Jadi, ke mana para perempuan yang paling rentan ini mesti berpaling? Itulah gambaran besar yang perlu dilihat terhadap pandemi COVID-19."

Dia mengatakan pusat layanan yang ia kelola menerima sekitar 1.400 panggilan darurat dari para perempuan selama masa lockdown. Aduannya mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dalam pernikahan, dan kasus perdagangan hingga perempuan hamil yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan aborsi.

Dalam kasus yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, konselor akan berbicara dengan pasangan tersebut melalui telepon. Jika tidak berhasil mencapai kesepakatan, mereka akan menemui suaminya di rumah pasangan tersebut atau di kantor Gauravi sebelum meminta bantuan polisi.

"Jika suami tidak memperbaiki perilaku mereka, kami akan membawa para perempuan dan anak-anak mereka ke tempat penampungan kami," kata Neelima Jatav, 26, yang bergabung dengan Gauravi sebagai pekerja staf setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan keguguran.

"Sebelumnya kami akan memeluk para perempuan itu, memeluk mereka, menghapus air mata mereka untuk menghibur mereka selama masa sulit," ujarnya. "Sentuhan penyembuhan, itulah yang paling dibutuhkan selama Covid-19, dan itulah yang benar-benar hilang."

Butuh lebih banyak bantuan

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut kekerasan dalam rumah tangga sebagai ‘pandemi bayangan’ yang terjadi selama pandemi Covid-19. PBB memprediksi bahwa kebijakan penguncian dapat menyebabkan lonjakan pelecehan terhadap para perempuan di seluruh dunia hingga 20 persen. 

Untuk mencegah prediksi ini menjadi nyata, para perempuan di Gauravi memutuskan untuk mencari orang-orang yang rentan, membuat daftar kebutuhan mereka, mengemas peralatan makanan dan bantuan penting lainnya. Mereka menggunakan tuktuk untuk mengantarkan bahan kebutuhan ini kepada hampir 10.000 orang selama tiga bulan. Mereka juga mengantar para perempuan untuk pergi bekerja, membantu mereka memanggil ambulans dan meningkatkan kesadaran tentang Covid-19.

Pranita Achyut, Direktur Pusat Penelitian Internasional Perempuan di Asia, menyambut baik proyek-proyek semacam itu. Namun ia mengatakan bahwa India masih harus menempuh jalan panjang dalam mendukung dan merehabilitasi perempuan yang berusaha menghindari pelecehan. 

Dia menyerukan serangkaian tindakan, termasuk mereformasi sistem peradilan pidana India untuk memastikan lebih banyak korban KDRT dalam mengakses pengadilan, dan membuat sistem lebih sensitif terhadap masalah kesehatan mental yang diderita oleh banyak korban.

Sementara itu, Jahan mengatakan bahwa dia senang dengan keterampilan mengemudi yang baru ia kuasai ini. Keterampilan ini ia akui sangat meningkatkan kepercayaan dirinya, yang menurutnya kurang ia miliki pada masa lalu.

"Awalnya saya sangat gugup ... orang juga mengolok-olok saya. Tapi saya terus melakukannya. Mereka perlahan mengerti bahwa saya tidak akan mundur," katanya, seraya menambahkan bahwa dia sekarang merasa siap untuk belajar mengemudikan bus, lalu menerbangkan pesawat. "Saya belum pernah naik pesawat, tapi sudah menjadi impian masa kecil saya untuk menerbangkannya."

ae/yp (Thomson Reuters Foundation)