1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIrak

20 Tahun Invasi AS di Irak: Harapan Berujung Tragedi

15 Maret 2023

Cuma butuh tiga pekan bagi aliansi Barat untuk menggulingkan diktator Irak Saddam Hussein pada 2003. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah kehancuran dan pertumpahan darah selama dua dekade.

https://p.dw.com/p/4Of5I
Jatuhnya patung Saddam Husein di Baghdad
Serdadu AS menutupi patung Saddam Husein dengan bendera Foto: Jerome Delay/AP/picture alliance

Ketika aliansi Barat menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, Adel Amer merayakan apa yang diyakininya sebagai kebebasan dan berakhirnya isolasi internasional.

"Saya menari seperti orang gila dan sempat tidak percaya bahwa Saddam sudah dijatuhkan. Saya merasa seperti burung yang terbebas dari kandang". Adel adalah seorang desertir perang.

Dia menolak bertaruh nyawa demi Saddam yang memerintahkan invasi terhadap Iran pada akhir 1980an. Banyak pula yang mengambil langkah serupa dalam invasi Irak terhadap Kuwait

Presiden AS; George W. Bush di Irak
Bekas Presiden AS, George W. Bush, saat berkunjung ke Irak, 2007Foto: Cherie A. Thurlby/DoD/picture-alliance/dpa

"Saya sadar bisa dihukum mati jika tertangkap. Tapi bertahan hidup tetap lebih baik, meski hanya sementara dan saya melakukannya. Sebab itu saya masih hidup hingga hari ini,” kata pria berusia 62 tahun itu.

Adel dibenci oleh tetangga dan bekas rekan sejawat di dinas kemiliteran. Namun, tidak ada yang berani mengadukannya ke kepolisian karena tahu ancaman eksekusi mati. "Saya banyak menderita dan terkadang, saya berpikir untuk bunuh diri.”

Demokratisasi berdarah di Irak

Presiden AS saat itu, George W. Bush, memerintahkan serangan udara secara masif pada 20 Maret 2003, dengan klaim bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan itu tidak pernah bisa dibuktikan.

Serangan udara pasukan koalisi disusul invasi darat oleh serdadu AS dan Inggris yang mencapai klimaks pada 9 April, yakni kejatuhan ibu kota Baghdad yang terkulminasi pada penggulingan patung Saddam Hussein.

Saddam baru ditangkap pada bulan Desember, saat bersembunyi di sebuah lubang di dekat kota Tikrit. Dia diadili dan dieksekusi mati sebelum pergantian tahun.

Apa yang kemudian terjadi lebih menyerupai kisah horor, mulai dari perang berdarah di Fallujah,  kejahatan HAM di penjara Abu Ghraib, perang saudara antara Sunni dan Syiah, hingga invasi Islamic State yang pada 2015 menduduki separuh negeri.

Petaka berkepanjangan

Jika dulu rezim Saddam merupakan satu-satunya sumber ancaman, kini petaka datang dari mana-mana, kata Adel Amer. 

Kehidupannya membaik usai bekerja di sebuah perusahaan konstruksi asing pada 2010. Tiga tahun kemudian, dia ditangkap sekelompok milisi bersenjata dan dipukuli hingga babak belur. 

"Mereka bilang saya tidak boleh bekerja untuk perusahaan Amerika Serikat karena pekerjaan itu menjadikan saya sebagai seorang mata-mata,” ujarnya.

"Bagi saya sulit menerima situasi ini. Saya tidak menderita di bawah rezim Saddam untuk lalu kehilangan keluarga di tangan teroris … hanya karena saya mengimpikan hidup yang lebih baik.”

Dia tetap bercita-cita meninggalkan Irak dan melanjutkan hidup dengan tenang di tempat lain. "Saya dulu harus bersembunyi di bawah rezim Saddam Hussein, dan sekarang saya lagi-lagi harus bersembunyi,” imbuhnya. 

"Sebelum Invasi AS, hanya ada satu orang Saddam. Sekarang jumlahnya banyak.”

rzn/hp