1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Irak Debatkan Pidana KDRT Usai Tewasnya Vlogger Perempuan

Cathrin Schaer
9 Februari 2023

Kasus pembunuhan demi kehormatan terhadap perempuan muda di Irak memanaskan debat soal kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan pegiat HAM pun mengakui masalah tidak bisa ditanggulangi lewat legislasi di parlemen.

https://p.dw.com/p/4NFJg
Protes anti KDRT di Baghdad, Irak
Protes anti KDRT di Baghdad, IrakFoto: AHMAD AL-RUBAYE/AFP

Tiba Ali, buruh migran berusia 22 tahun dari selatan Irak, baru saja pulang dari Turki untuk mengunjungi keluarganya, ketika sang ayah mencekiknya hingga meninggal dunia pada 31 Januari lalu. Dalihnya adalah gaya hidup liberal Tiba di luar negeri yang sering diunggahnya di media sosial.

Pembunuhan itu direspons keesokan harinya dengan aksi demonstrasi pegiat hak perempuan di ibu kota Baghdad. Mereka menuntut agar parlemen secepatnya menyelesaikan pembahasan undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga dan kejahatan seksual yang mandek sejak bertahun-tahun.

Namun, bahkan jika UU tersebut disahkan, korban pembunuhan demi kehormatan seperti Tiba Ali belum akan bisa dihindari, kata Kholozd Ahmad, jurnalis Irak di Baghdad.

"Jika orang tahu mereka akan dihukum jika melakukan tindak kekerasan seksual atau jika perempuan diberikan tempat berlindung jika menghadapi kekerasan, itu bisa membantu,” kata dia. "Saat ini, rasanya seperti tidak ada hukuman serius bagi pelaku.”

Pembiaran oleh hukum

Maraknya kekerasan terhadap perempuan antara lain dimudahkan konstitusi. Menurut pasal 398 KUHP Irak, kasus pidana pemerkosaan akan dihentikan jika pelaku setuju menikahi korban. Sementara pada pasal 409 hanya mengancam tiga tahun penjara jika seorang suami membunuh istri karena menyeleweng.

Menurut konstitusi Irak, hak dasar bagi suami mencakup "kewenangan untuk menghukum istri, dalam batas yang ditentukan oleh undang-undang atau adat istiadat.”

Dalam responsnya terkait pembunuhan Tiba Ali, Perserikatan Bangsa-bangsa mengimbau pemerintah Irak agar segera mencabut pasal-pasal tersebut.

Lemahnya perlindungan hukum menyurutkan niat perempuan melaporkan kasus kekerasan di rumah tangga. Menurut informasi resmi, laporan delik KDRT yang diproses di pengadilan mencapai rata-rata 15.000 kasus per tahun.

Prioritas pada kekerasan antara laki-laki

Dalam survey oleh sejumlah lembaga PBB sepanjang tahun lalu, sebanyak 75 persen perempuan Irak mengaku tidak melaporkan kasus pelecehan seksual atau tindak KDRT. Adapun sekitar 85 persen laki-laki mengaku akan berusaha membujuk anggota keluarga perempuan agar tidak melapor ke polisi.

Lembaga Bantuan Hukum bagi Perempuan (WOLA) di Sulaymaniyah, Kurdistan, mengeluhkan betapa kasus kekerasan terhadap perempuan sering diabaikan di pengadilan. Keterlambatan akhirnya mendorong banyak korban mencabut laporan.

Para pegiat lain mengatakan, kepolisian dan pengadilan lebih memprioritaskan kasus kekerasan antara laki-laki. Terlebih, jenis hukuman bagi pelaku acap bergantung pada status klan atau keluarganya di masyarakat setempat. 

Meski begitu, sebuah survey oleh sebuah lembaga wadah pemikir di Baghdad pada 2020 lalu mengindikasikan perubahan pada perilaku masyarakat. Dari sekitar 13.000 responden, sebanyak setidaknya 89 persen laki-laki mendukung hukuman bagi pelaku kekerasan di dalam rumah tangga. Yang menarik, semua responden berusia antara 18 hingga 29 tahun. 

(rzn/ha)