1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Toleransi Apa yang Sesuai Keindonesiaan Kita?

Zacky Khairul Umam4 Juli 2016

Seiring modernitas yang terus dikejar, ada yang sulit dicapai sekaligus: soal toleransi. Kemajuan teknologi & pengetahuan tidak serta merta mendorong masyarakat untuk maju dalam hal toleransi. Opini Zacky Khairul Umam.

https://p.dw.com/p/1JFaw
Foto: Reuters/Darren Whiteside

Para cendekiawan kita sudah berbicara banyak soal toleransi yang menjadi asas penting dalam pembentukan masyarakat madani atau beradab. Yakni, upaya tenggang rasa atau saling menghormati di antara berbagai perbedaan yang mengemuka di masyarakat.

Akan tetapi, dewasa ini kita mengalami surplus identitas politik dan keakuan yang, tidak bisa dihindari, sering berkumandang dari gema masyarakat liberal di negeri-negeri Barat. Misalnya, gagasan toleransi dipahami sebagai engkau harus menghormati daku yang berpandangan dan bahkan bersikap intoleran.

Pertentangan muncul di sini. Banyak orang yang berpandangan intoleran justru menuntut untuk dihormati sebagai haknya.

Sepadan dengan demokrasi yang sedang kita bangun, ada banyak sekali unsur kebangsaan yang memiliki gagasan dan gerakan anti-demokrasi namun bernafas dengan oksigen kebebasan demokratis pasca-1998.

Tidak secuil di antaranya, bahkan, yang hakikatnya ingin merobohkan demokrasi dan prinsip toleransi dengan cara menunggangi dalil demokrasi.

Di antara berbagai masyarakat muslim di dunia, hanya masyarakat muslim Indonesia yang paling “toleran” dalam hal kontradiktif ini.

Wacana dan jaringan keindonesiaan kita, tidak bisa dipungkiri, tidak bisa dilepaskan dari kuatnya pengaruh demokrasi liberal di Barat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualitas tetapi sering luput bahwa nilai ini bisa menyerang balik dirinya. Tegasnya, metamorfosis toleransi menjadi intoleransi.

Penulis: Zacky Khairul Umam
Penulis: Zacky Khairul UmamFoto: Zacky Khairul

Membentuk “budaya dominan”

Sama seperti di Jerman, misalnya, banyak dari kita sedang terpacu untuk membentuk “keberagamaan yang digdaya” atau kecenderungan untuk membentuk “budaya dominan” alias Leitkultur.

Seiring dengan gagalnya prinsip hidup saling menghormati di antara berbagai identitas yang beragam, yakni gagalnya membumikan multikulturalisme, banyak yang tergerak untuk membentuk sebuah keseragaman yang adiluhung yang dibungkus dengan wicara keindonesiaan.

Di kota atau provinsi yang menerapkan syariat Islam atau tidak, misalnya, ada semacam konvensi sosial baru bahwa ruang-ruang sekolah dan kepegawaian wajib dihiasi dengan penggunaan jilbab atau hijab bagi perempuan.

Mereka yang tidak mengenakan, meskipun tidak eksplisit disebut sebagai tidak Islami, bisa saja mengalamai eksklusi sosial. Jilbab tidak lagi merupakan simbol kebebasan dan perlawanan. Di sini kita melihat sisi keterpaksaan.

Karena terlalu “religius” pula, hanya masyarakat ´Muslim Indonesia yang kebanyakan tergiring opini keliru bahwa warung-warung dan restoran selama bulan Ramadan kemarin harus mutlak tutup.

Dalil yang dirapal berkelindan dengan toleransi: para pemilik warung harus menghargai mereka yang berpuasa.

Di banyak wilayah kota, bahkan pemerintah ikut merazia mereka yang istikamah berjualan selama bulan puasa. Belakangan kita miris melihat seorang ibu yang dirampas barang dagangannya, sumber satu-satunya ia mengais rezeki. Untungnya, banyak warga madani yang peduli.

Toleransi memperhatikan hak-hak sosial lainnya

Maka, kita semestinya mengaitkan pemahaman kita tentang toleransi dengan kebutuhan untuk menumbuhkan keadilan sosial di masyarakat kita.

Di sinilah, kita perlu mendedah kembali pertanyaan yang benar tentang jenis toleransi apa yang sesuai dengan keindonesiaan kita.

Sudah saatnya traktat tentang toleransi dan keadilan dirancang bersamaan supaya kita tidak limbung dalam berdikari. Dalam bahasa Arab, kata “toleransi” berarti tasamuh yang pengertiannya mengandung hal resiprokal, musyarakah baynal isnayn.

Ada unsur perserikatan yang saling menopang di sini atau tolerantia dalam bahasa Latin yang mengandung pengertian “mendukung dan berdaya tahan.” Artinya, toleransi sejatinya bukan toleransi jika tidak memperhatikan hak-hak sosial lainnya.

Dalam keterkaitan semantik tersebut, kita mengendaki sejenis toleransi yang berwajah emansipatoris. Apapun posisi tindakan kita, apakah terkait dengan hubungan antaragama, intra-agama, atau sesama warga dan masyarakat pada umumnya, terpaku pada determinasi untuk menciptakan iklim kehidupan yang tidak hanya menjunjung tenggang rasa setinggi-tingginya, melainkan juga membentangkan rasa adil seluas-luasnya.

Dalam timbangan itu, kita sulit memberatkan ego/hasrat masing-masing yang orang lain harus “menoleransinya” lebih berat dari keadilan sosial yang menjadi tujuan agama itu sendiri.

Melalui ukuran ini, barangkali gagasan al-hanifiyyah al-samhah atau ide toleransi yang lapang sebagai “manisfetasi agama yang paling dicintai Tuhan,” seperti bunyi hadis yang diriwayatkan sahabat Nabi Ibnu ‘Abbas yang berilmu luas, bisa dibumikan di Nusantara. Wallahu a'lam.

Penulis: Zacky Khairul Umam

Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.