1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Islamis, Bukan Komunis

25 Mei 2016

Apa alasan dasar dari pemburuan komunis, seolah-olah para pendukung PKI masih berjaya & para “cheerleaders” ideologi komunisme masih segar-bugar sehingga membahayakan tatanan sospol Indonesia? Ulasan Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/1Ir9y
Unruhen in Indonesien 1965
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images

Saya heran kenapa sejumlah aparat keamanan, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, partai politik, dan ormas Islam di Indonesia begitu bergemuruh memburu kaum komunis yang sudah “mati suri” sementara membiarkan “kaum Islamis” yang terang-benderang bergentayangan dimana-mana. Dalam konteks negara-bangsa Indonesia dewasa ini, kelompok Islamis-lah yang justru jauh lebih berbahaya bagi fondasi kenegaraan dan kebangsaan kita, bukan “hantu” komunis yang sudah lama terkubur.

Sebelum saya jelaskan tentang “kelompok Islamis” (Islamist groups) itu, supaya tidak salah paham dan dituduh macam-macam, terlebih dulu saya ingin menegaskan bahwa saya bukanlah fans ideologi komunisme. Meskipun saya belajar dan mengajar tentang beberapa ide, konsep, dan teori-teori “duo” Karl Marx (1818 – 1883) dan Friedrich Engels (1820 – 1895) yang sangat brilian di kelas sosiologi dan antropologi yang saya ampu, tetapi saya sama sekali tidak berminat untuk mempraktikkan gagasan, konsep, ideologi, dasar-dasar politik, dan propaganda pendukung komunisme.

Saya membaca buku-buku Marx, Engels, dan beberapa pemikir Marxis seperti Antonio Gramsci, Maurice Bloch, Eric Wolf, atau Tan Malaka misalnya sebatas sebagai pengetahuan dan referensi akademik saja. Sebagai akademisi, bukan aktivis atau pegiat politik, saya harus mempelajari berbagai sumber pengetahuan supaya imbang dan luas dalam melihat sebuah persoalan. Keluarga dan leluhurku juga tidak memiliki tautan sejarah dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meskipun mengakui Marxisme sebagai sebuah teori dan konsep ekonomi-historis yang sangat luar biasa yang kemudian “dicuri” oleh para ideolog politik dan pendiri komunis seperti Vladimir Lenin (1970 – 1924), secara pribadi saya berpendapat bahwa gerakan komunisme dan ideologi politik komunis yang otoriter-totaliter itu tidak tepat dan memang berbahaya dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk.

Berlebihan dan mengada-ada

Tetapi masalahnya, kembali ke pertanyaan awal saya di tulisan ini: apa alasan fundamental dari pemburuan komunis seolah-olah para pendukung PKI masih berjaya dan para “cheerleaders” ideologi komunisme masih segar-bugar sehingga membahayakan tatanan sosial-politik negara Indonesia?

Jika alasannya karena “potensi makar”, saya kira terlalu berlebihan dan mengada-ada. Saat ini komunisme itu hidup segan mati tak mau. Uni Soviet sebagai negara asal-usul komunis sudah hancur berantakan berkeping-keping. Rusia, sebagai “pewaris” Soviet, tidak lagi berpartai tunggal (Partai Komunis) tetapi sistem demokrasi multi-partai. Rusia bahkan kini menjelma menjadi “negara agamis” dan Vladimir Putin (l. 1952) sendiri sebagai tokoh sentral Russia adalah seorang pengikut Kristen taat yang oleh Presiden Suriah Bashar Assad disebut sebagai “the sole defender of Christian civilization.” Kemudian China juga menjelma menjadi ‘negara gado-gado”: setengah komunis, setengah kapitalis.

Dulu, PKI banyak pengagumnya karena mereka “jualan” isu-isu yang menyentuh lapisan masyarakat bawah seperti buruh, petani, dan nelayan sehingga laris-manis. Tetapi sejak dibabat habis oleh rezim Orde Baru, para pendukung partai palu-arit ini nyaris tak tersisa lagi.

Lalu, apa sebetulnya yang dikhawatirkan dari “makhluk” yang bernama komunis ini? Komunis susah bangkit lagi di Indonesia karena masyarakat kini sudah cerdas, dewasa, dan lumayan makmur sehingga “dagangan” komunis akan susah laku. Sehingga kalaupun sisa-sisa aktivis dan simpatisan PKI membuat partai politik pun saat ini, saya yakin masyarakat tidak akan meliriknya. Catatan lagi, jika alasannya karena kaum komunis pernah membuat makar di Indonesia sehingga perlu diganyang dimana-mana, sejarah makar atau pemberontakan politik di Indonesia juga bukan hanya monopoli PKI.

Sejarah makar di tanah air

Ada sejumlah kelompok politik, termasuk yang berafiliasi ke ideologi Islam seperti DT/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tercatat pernah melakukan upaya makar terhadap pemerintah yang sah. Sejarah bahkan mencatat DI/TII sampai empat kali melakukan percobaan penggulingan kekuasaan, sementara PKI hanya dua kali. Sebagaimana PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan Komunisme, DI/TII juga sama ingin mengganti Pancasila dengan ideologi “Islamisme”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh para pentolan “partai Islamis” Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dulu ikut membekingi pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra. Sejak Masyumi dikendalikan oleh Muhammad Natsir (1908 – 1993), kelompok ini gencar mengusung konsep Negara Islam dan mengupayakan penggantian Pancasila dengan ideologi Islam sehingga Presiden Sukarno membubarkannya pada tahun 1960. Masyumi memang telah dibubarkan tetapi para aktivis dan simpatisannya masih bertebaran dimana-mana: di ormas-ormas keislaman, pemerintah, partai politik, dan bahkan aparat keamanan.

Bahkan kini, kaum Islamis atau para “cheerleaders” ideologi Islamisme yang sangat bernafsu mengganti tatanan sosial-politik-kenegaraan Indonesia yang mereka anggap “tidak Islami” untuk kemudian diganti dengan sistem kepolitikan-pemerintahan Islam semakin beragam. Bukan hanya para mantan aktivis dan pendukung Masyumi saja, tetapi dari berbagai kelompok keislaman lain seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan sejumlah kelompok “Salafi ekstrim” yang bertebaran di berbagai tempat di Indonesia.

Saudi Arabien Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby blogger dan akademisiFoto: S. al Qurtuby

Meski mereka tidak memiliki kaitan sejarah dan afiliasi dengan Masyumi tetapi mereka memiliki semangat, pandangan, dan tujuan yang kurang lebih sama dengan Masyumi (atau DI/TII), yakni mengubah Indonesia menjadi “Negara Islam” (apapun bentuknya termasuk “Negara Khilafah” yang diusung HTI) serta mengganti ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang mereka anggap kafir-sesat-sekuler itu dengan sistem kepolitikan-pemerintahan-kenegaraan yang berbasis pada ajaran dan ideologi Islam.

Dengan demikian, jika komunis yang sudah menjadi “hantu kuburan” saja dianggap berbahaya apalagi kaum Islamis yang masih sehat wal afiat dan setiap hari kampanye dan propaganda jualan “Negara Islam” seraya mengutuk “Negara Indonesia”. Kaum Islamis inilah seharusnya yang harus disikat, bukan kaum komunis yang sudah di alam akhirat.

Penulis:

Sumanto al Qurtuby, staf pengajar Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh PhD dari Boston University dan penulis buku Religious Violence and Conciliation: Christians and Muslims in the Moluccas (London and New York: Routledge, 2016).