1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Unruhen Libyen

21 Februari 2011

Gelombang unjuk rasa menjalar di Libya. Putra Muammar Gaddafi, Saif al-Islam Gaddafi , Senin (21/02) dalam pidatonya di TV Arab menjanjikan reformasi sekaligus memperingatkan tersulutnya perang saudara.

https://p.dw.com/p/10LAH
Sayf al-Islam Gaddafi menjanjikan reformasi di negerinya.Foto: picture-alliance/dpa

Malam menjelang Senin (21/02) peristiwa di Libya berkembang pesat. Putra Muammar Gaddafi, Saif al-Islam Gaddafi dalam pidatonya di teleivisi nasional memperingatkan perang saudara di negeri itu. Ia mengatakan, penentang rezim telah menguasai sejumlah pangkalan militer dan senjata. Dan menyebutkan, jumlah korban tewas yang dipublikasikan oleh media asing,berlebihan. Menurutnya, jumlahnya tidak mencapai 200 orang, akan tetapi hanya 84 orang tewas.

Ia menambahkan, dalam beberapa hari yang akan datang akan dilaksanakan reformasi. Dikatakan, saat ini sedang dirundingkan perubahan konstitusi serta pencabutan beberapa restriksi. Namun tidak dikatakan dengan konkrit bagian konstitusi yang akan diubah. Kemudian putra Gaddafi itu menekankan, bahwa aparat keamanan setia pada ayahnya dan akan tetap mendukungnya.

Tidak ada yang tahu, di mana Muammar al Gaddafi kini berada. Seorang diplomat tinggi Libya menuturkan di televisi Arab, Muammar al Gaddafi tidak lagi berada di Libya.

Sementara itu, Minggu malam (20/02) di ibukota Tripolis kembali terjadi pertikaian sengit. Awalnya aparat keamanan dapat membubarkan demonstran, namun situasinya memanas dan terjadi bentrokan kekerasan. Berbagai media Arab melaporkan, di pusat ibukota terjadi pertempuran sengit. Dari beberapa bagian kota terdengar suara tembakan senapan mesin dan gedung-gedung terbakar.

Televisi Al Arabia memberitakan, ada beberapa pasukan tentara yang mendadak berubah haluan, memihak pada demonstran. Hal ini juga terjadi di kota Benghazi ketika tersebar isu bahwa Gaddafi mengerahkan prajurit dari negara Afrika lainnya untuk memburu demonstran Libya. Pasukan khusus polisi Libya segera ganti haluan, membela para demonstran.

Malam itu juga, juru bicara salah satu kelompok suku terbesar di Libya mengancam Muammar Gaddafi. Bila dalam 24 jam pertempuran berdarah tidak diakhiri, sukunya akan menghentikan persediaan minyaknya. Bersamaan dengan itu, kepala suku Warfala mengancam akan mengakhiri dukungannya pada Gaddafi jika aksi kekerasan tidak segera dihentikan. Ia menuturkan, warganya telah bersolidarisasi dengan demonstran. Jumlah warga Warfala mencapai satu juta orang. Suku itu membentuk seperenam dari seluruh penduduk Libya.

Namun semua laporan yang datang dari Libya tidak dapat dibuktikan kebenarannya, karena sementara ini pemerintah Libya tidak membolehkan media independen masuk ke negara itu dan menyensor semua berita yang keluar dari Libya. Hari Minggu (20/02), pemerintah Libya mengancam tidak akan menghalangi arus pengungsi dari Afrika ke Eropa. Bila Uni Eropa tetap mendukung gerakan pro demokrasi, Libya akan menghentikan kerja samanya dengan Eropa terkait masalah pengungsi. Hal ini disampaikan kepada duta besar Hungaria di Tripolis, lapor kantor berita Reuters Minggu ((20/02).

Tanpa menghiraukan ancaman diplomat Libya itu, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton tetap menyerukan diakhirinya kekerasan di negara itu. Kepada jurnalis ia mengatakan, bahwa dialog harus dimulai. "Saya betul-betul cemas, apa yang terjadi di Libya. Kami mendesak agar semua pihak menahan diri. Semua menteri luar negeri Eropa sepakat bahwa itu sangat penting. Kami menuntut diakhirinya kekerasan dan dimulainya dialog."

Peter Steffen/Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk