1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Lawan Narkoba Telah Gagal?

12 September 2016

Di Asia, perang melawan narkoba semakin keras. Namun peredaran narkoba semakin "gila-gilaan".

https://p.dw.com/p/1K0MG
Foto: Imago/Zuma Press

Filipina meluncurkan "perang melawan narkoba" berdarah yang telah menewaskan sedikitnya 2.400 orang hanya dalam waktu dua bulan. Sementara Indonesia, menyatakan " darurat narkotika " dan setelah lama absen, telah kembali mengimplementasikan hukuman mati pada narapidana narkoba. Di Thailand dan Myanmar, pengguna narkoba kecil membuat penjara penuh sesak.

Melambungnya popularitas methamphetamine – narkoba murah dan sangat adiktif—yang juga dikenal sebagai meth – mendorong nagara-negara di Asia mengimplementasikan kebijakan keras anti-narkotika Namun para pakar memandang kebijakan tersebut cenderung malah hanya menimbulkan efek-efek buruk.

Sebagai detektif di kepolisian London, Geoff Monaghan yang telah menyelidiki gerakan perdagangan narkoba selama 30 tahun karirnya, menyaksikan dampak buruk kebijakan anti-narkoba yang penuh kekerasan. "Kita memiliki banyak data, tetapi sering kita lupakan sejarah," kata Monaghan. "Itulah masalahnya."

Ia meyakini kampanye anti obat bius yang dilancarkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte hanya akan menjadi bahan bakar lebih banyaknya aksi kekerasan ketimbang melumat jaringan trafficking itu sendiri..

Badan PBB untuk Penanggulangan Narkoba (UNODC) menyebutkan jumlah meth yang disita di Asia Timur dan Tenggara semakin melonjak. Jumlahnya bahkan mencapai hampir empat kali lipat dari sekitar 11 ton pada tahun 2009 dan 42 ton pada 2013. Meth menjadi "obat-obatan yang paling memprihatinkan" di sembilan negara Asia, termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, Jepang dan Korea Selatan.

Kebijakan pemerintah kerap kontraproduktif

Para ahli menyalahkan lonjakan produksi meth dan shabu di Asia pada tidak efektifnya kebijakan pemerintah yang kontraproduktif. Mereka mengatakan kebijakan dengan langkah-langkah keras –yang mengkriminalisasi pengguna -- telah gagal untuk menanggulangi banjirnya obat-obatan dan menangkap gembong narkoba yang sesuangguhnya.

Para ahli lebih merekomendasikan pengurangan permintaan obat bius itu melalui pelayanan rehabilitasi narkoba yang berkualitas: "Ada begitu banyak keresahan dan histeria akan masalah obat, "kata Gloria Lai dari Internasional Drug Policy Consorsium (IDPC), jaringan global dari 154 kelompok non-pemerintah untuk masalah narkoba. “Memakai pola lama dalam penanggulangannnya, tidak membuahkan hasil.”

Banyak produksi meth berlangsung di laboratorium di Myanmar Barat yang tak terjangkau penegakan hukum. Bahan seperti pseudoefedrin dan kafein kerap diselundupkan melintasi perbatasan yang mudah dilintasi dari dataran India, Cina dan Vietnam. "

Laos dan Thailand menjadi rute perdagangan utama, di sepanjang Sungai Mekong untuk kemudian didistribuskan di seluruh Asia Tenggara dan Cina. Meth dijual dalam bentuk pil murah yang disebut "ya ba", atau dalam bahasa Thai berarti "obat gila". Yang lebih kuat berbentuk kristal dikenal sebagai "shabu" atau “ice“.

Jeremy Douglas, yang merupakan Kepala Asia Pasifik UNODC mengatakan:"Kita harus mulai berpikir bagaimana melibatkan pihak-pihak di wilayah-wilayah tersebut, untuk bekerjasama sampai ke level tertinggi. Tidak mungkin untuk menangani masalah ini secara sendiri-sendiri atau per negara, "katanya. "Bahkan, saya tidak ingat kapan terakhir kali gembong perdagangan utama bisa tertangkap.

Tingginya biaya sosial

Ledakan meth membawa konsekuensi sosial besal: besarnya ongkos pelayanan kesehatan, ongkos pengelolaan penjara penuh sesak, kehancuran keluarga dan masyarakat terkoyak.

Thailand meluncurkan "perang melawan narkoba" pada tahun 2003, dimana aktivis HAM mengatakan sekitar 2.800 orang tewas dalam tiga bulan di negara itu. "Dunia kalah dalam perang melawan narkoba, bukan hanya Thailand," ujar menteri kehakiman negara Paiboon Koomchaya kepada Reuters. Paiboon mengisyaratkan perubahan radikal dalam kebijakan atas narkoba dengan mengurangi hukuman bagi pemilik dabn pengguna narkoba

Hingga kini penjara Thailand dijejali para pengguna narkoba kecil, yang mencapai 70 persen dari sekitar 300.000 narapidana terkait obat bius, demikian menurut data pemerintah Thailand.

Sulit memulihkan

Kecanduan Meth sulit untuk diobati. Pemulihannya membutuhkan biaya mahal dan memakan waktu lama untuk konseling. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi otak.

Pada bulan Maret 2016, Presiden AS Barack Obama mengatakan ketergantungan obat harus dilihat sebagai "masalah kesehatan masyarakat dan bukan masalah kriminalitas belaka". Kebijakan di Asia sebagian besar bergerak ke arah yang berlawanan. Rehabilitasi narkoba diselimuti masalah kekurangan dana dan buruknya fasilitas rehabilitasi.

Kurang dari 1 persen dari pengguna ketergantungan narkoba di Indonesia yang diobati pada tahun 2014, tandas UNODC. Banyak pengobatan alternatif seperti mandi herbal, jampi-jampi dan lainnya yang tak terbukti efektif. "Rehabilitasi" di banyak negara sering berarti menjalani penahanan. Di Thailand, ribuan pengguna ditempatkan di kamp tentara selama empat bulan. "Seringkali, respon pemerintah menyebabkan lebih membahayakan individu daripada obat itu sendiri, "kata Lai. Angka kekambuhan mencapai 60 hingga 90 persen.

Sebuah 2015 studi di Malaysia menemukan setengah orang-orang yang menjalani wajib rehab di pusat-pusat rehabilitasi mengalami kekambuhan dalam rata-rata 32 hari setelah lepas dari rehabiliasi. Bandingkan dengan yang sukarela untuk menjalani pengobatan. Rata-ratanya kambuh setelah 429 hari lepas dari rehabilitasi.

Meth di konsumsi di berbagai kalangan, profesi, usia dan kelas sosial. Di Myanmar, pekerja kasar mengklaim bahwa mengkonsunsumsi meth meningkatkan stamina mereka, sedangkan para siswa mengatakan konsumsi obat terlarang itu membantu meningkatkan nilai mereka.

Seorang mahasiswa di Yangon yang menjalanitrehabilitasi di sebuah klinik rehabilitasi negara mengatakan ia mengkonsumsi benda berbahaya itu untuk membantu dia berkonsentrasi pada studinya. Ketika ditanya reuters berapa banyak teman-temannya yang juga menggunakannya, mahasiswa itu menjawab: "Hampir semua dari mereka."

ap/yf(rtr)