1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Nasib AKP Migran: Mengejar Upah, Dikejar Bajak Laut

Indonesien  | Farida Indriastuti -  Blogger
Farida Indriastuti
6 Juli 2023

Di saat konsumen menyantap ikan, pernahkah terpikir dari mana sumber kekayaan laut ini? Bagaimana nasib awak nelayan di atas kapal penangkap ikan? Berikut opini Farida Indriastuti.

https://p.dw.com/p/4STXW
Para nelayan di kapal
Gambar ilustrasi nelayanFoto: Farida Indriastuti /DW

Sajian kuliner berbahan ikan yang diolah oleh para koki profesional di restoran-restoran yang berpendingin ruangan, sungguh menggoda lidah. Cita rasa yang lezat, aroma yang wangi dan kenikmatan ini-- merupakan seni gastronomi yang memadukan racikan ikan dengan berbagai bumbu rempah.

Di saat konsumen menyantap makanan gurih ini, pernahkah Anda berpikir dari mana sumber kekayaan laut ini? Bagaimana nasib Awak Kapal Perikanan (AKP) di atas kapal penangkap ikan yang berbendera asing?

Rantai distribusi ikan itu seringkali menciptakan ketidakadilan di tengah laut yang berjarak ribuan mil hingga jutaan mil. Saya coba menelusuri, bagaimana kehidupan AKP yang melintasi berbagai benua, dari Asia-Pasifik, Amerika hingga Afrika. Saya menemui Syarifuddin Siregar, 42 tahun, bekas AKP kapal penangkap ikan berbendera Taiwan, bernama "Hoom Xiang 168.” Perawakannya sebagai AKP tidak tinggi, namun beban hidupnya di atas kapal sangat tinggi.

@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.
Penulis: Farida Indriastuti Foto: Farida Indriastuti

Sejak 2010 hingga 2012, dia harus berpindah-pindah ke kapal Hoom Xiang dengan nomor registrasi yang berbeda-beda. Katanya, sampai delapan kali pindah kapal. Syarifuddin bukan anak muda yang memiliki pengalaman di laut. Dia tumbuh dan besar di pegunungan yang berhawa sejuk di Kabupaten Padang Siburian, Sumatera Utara. Aroma laut nyaris tak pernah diendus hidungnya.

Tapi kemiskinan membuat Syarifuddin terpaksa hengkang dari daerahnya. Ia menuju Pulau Jawa, tepatnya Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dengan iming-iming upah 500 dollar AS alias 7,5 juta rupiah per bulan, dia menuju ke Taiwan, meninggalkan istri dan anak semata wayangnya yang berumur lima tahun. Namun, janji perusahaan kapal penangkap ikan asal Taiwan itu cuma omong kosong, justru menjebak Syarifuddin dalam perdagangan manusia dan perbudakan modern.

Bulan pertama berlayar, dia hanya diupah $200 sebagai pinjaman alias jeratan utang yang harus dikembalikan ke perusahaan asal Taiwan. Alasan perusahaan itu untuk biaya berbagai "dokumen" (palsu) perjalanan. Syarifuddin bekerja tanpa kenal lelah dan waktu, dari pagi, siang, sore hingga malam. Waktu istirahatnya sangat terbatas.

Dipenjara di negeri orang dan dikejar bajak laut

Dia pernah melintasi Mikronesia, sebuah negara kepulauan berdaulat di Samudra Pasifik. Dia singgah ke Mauritius, Afrika Timur, lalu ke perairan Ghana hingga Afrika Selatan, bahkan ke perairan Amerika Latin. Syarifuddin selama 17 bulan bekerja di atas kapal penangkap ikan Hoom Xiang yang berbendera Taiwan, tanpa diupah, bahkan tak bisa mengirim uang ke keluarganya. Namun dia harus bekerja tanpa henti di tengah laut Afrika Selatan. Di daratan Cape Town, Afrika Selatan, Syarifuddin dan AKP asal Indonesia lainnya, harus merasakan dinginnya jeruji penjara imigrasi, karena tidak memiliki dokumen resmi.

Cerita yang tak jauh berbeda dialami Fredi Seprizal, 28 tahun, bekas AKP yang bekerja di kapal penangkap ikan berbendera Cina, bernama "Long Xing 638.” Dia berangkat melalui sponsor di Cirebon, kemudian didaftarkan ke perusahaan PT. PJS. Fredi yang berasal dari Sumatera Selatan ini, baru pertama kali menjadi AKP. Upahnya $300 atau hampir 4,5 juta rupiah per bulan. Namun dia diwajibkan membayar jaminan $800, dipotong dari upah bulanannya. Fredi hanya memegang uang $50 atau sekitar 750 ribu rupiah per bulan untuk kebutuhan harian dan uang $50 dikirim ke keluarga di Sumatera Selatan.

Selama 17 bulan bekerja di kapal penangkap ikan yang berbendera Cina, Fredi telah mengirimkan uang ke keluarga sebanyak 24 juta. Di saat Fredi harus bertahan hidup dengan kerja paksa selama lebih 18 jam per hari, dia masih memikirkan keluarganya. Fredi sering kali melihat kru kapal asing Cina membentak, memukul dan menendang para AKP asal Filipina, karena dianggap tidak kompak dalam bekerja. Tak tahan menyaksikan perlakuan buruk bos-bos asal Cina itu, Fredi memilih keluar kerja dengan membawa bekal $100. Dia masih dipaksa membayar uang denda Rp10 juta, semua dokumen pribadi ditahan dan upahnya tidak dibayar selama tiga bulan.

Selama bekerja, Fredi berlayar melintasi perairan Oman, Arab Saudi, Somalia, Madagaskar hingga Srilanka. Kapal penangkap ikan asing berbendera Cina yang menaunginya, sering kali melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara berdaulat. Fredi dan kawan-kawan AKP asal Indonesia menjadi saksi mata di kejar-kejar oleh bajak laut Somalia yang ganas, dengan senjata laras panjang di perairan Somalia. Kata Fredi, beruntung setiap kapal penangkap ikan berbendera Cina sudah dibekali perlengkapan senjata dan badan kapal di pasang kabel setrum listrik tegangan tinggi, jika para bajak laut Somalia mendekat.

Lemahnya ASEAN melindungi AKP migran

Pengalaman Syarifuddin dan Fredi ini menggambarkan lemahnya perlindungan AKP migran di berbagai kapal penangkap ikan yang berbendera asing. Ocean Justice Initiative (IOJI) menilai ASEAN sebagai salah satu kawasan asal terbesar AKP migran sedunia belum memiliki data akurat mengenai jumlah AKP migran, padahal banyak penempatan non prosedural di sektor ini. Sedangkan menurut data ILO tahun 2020, terdapat 125 ribu AKP yang bekerja di kapal-kapal asal Korea Selatan, Thailand dan Taiwan.

Upaya penguatan perlindungan AKP migran melalui pengadopsian ASEAN Declaration on the Protection of Migrant Fishers harus terus dilanjutkan. Apalagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN saat ini, memiliki kemampuan untuk mengadopsi perlindungan bagi AKP migran. Bahkan saat KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, NTT, bulan lalu. Para pemimpin ASEAN sepakat mengadopsi tiga deklarasi, salah satunya ASEAN Declaration on the Placement and Protection of Migrant Fishers.

Perlindungan bagi AKP migran ini sangat penting, karena banyak AKP asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal yang berbendera non ASEAN. Banyak pula, AKP asal Indonesia yang menjadi korban eksploitasi, korban perdagangan manusia hingga mengalami perbudakan modern. Bahkan sangat rentan mengalami segala bentuk kekerasan verbal dan fisik, terutama kematian, yang pernah terjadi pada beberapa AKP migran asal Indonesia di kapal penangkap ikan yang berbendera Cina, beberapa bulan lalu.

Acapkali dokumen para AKP dipalsukan oleh perusahaan, sehingga mereka dianggap melakukan tindak pidana, karena memasuki ZEE negara-negara berdaulat, mencuri kekayaan laut dan pelanggaran imigrasi di suatu negara, seperti yang dialami Syariffudin yang harus mendekam di penjara Cape Town, Afrika Selatan. Tindak kejahatan berupa eksploitasi, perdagangan manusia dan perbudakan modern juga sering terjadi di perairan Indonesia.

@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.