1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kemanjaan Politikus dan Potretnya di Undang-Undang MD3

5 Maret 2018

Orang-orang yang bekerja keras untuk hidupnya pasti paham, bahwa kepercayaan, kewibawaan, dan penghargaan dari orang lain itu harus diraih, bukan dibeli, apalagi dipaksakan. Opini Zaki Yamani.

https://p.dw.com/p/2tSbW
Indonesien Parlament Archiv 15.08.2014
Foto: picture-alliance/dpa/Bagus Indahono

Ambil contoh seorang pedagang, hal pertama yang harus dia jaga adalah integritasnya. Dia harus tahu barang yang bagus, di mana mencarinya, bagaimana menjaganya agar tetap bagus, dan bagaimana menetapkan harga yang layak untuk dagangannya. Seorang pedagang yang memiliki integritas tidak akan membiarkan dirinya menjual barang yang jelek, juga tidak akan membiarkan konsumennya membayar dengan harga yang terlalu mahal atau terlalu murah. Jika dia menjual barang dengan harga terlalu mahal, konsumen akan merasa tertipu. Jika dia menjual dengan harga terlalu murah, dia telah merendahkan barang dagangannya sendiri, dan tentu saja merendahkan dirinya sendiri dengan menanggung kerugian yang tidak seharusnya.

Hal yang sama berlaku pada semua pekerjaan dan profesi, termasuk politikus.Seorang politikus yang memiliki integritas tidak akan membiarkan dirinya menjadi politikus karbitan. Dia akan menempuh jalan berliku untuk membuktikan bahwa dirinya mampu meraih kepercayaan orang lain, menjaga kepercayaan itu, dan melaksanakannya sampai tuntas. Seorang politisi yang berintegritas akan memulai pekerjaannya dengan membuat sebuah konsep, menguji konsepnya berulang kali, mengadu konsepnya dengan para pesaingnya, dan jika konsepnya yang dipilih warga, maka dia akan menjalankan konsep itu sampai tuntas dengan sepenuh hati, menjaga kepercayaan warga yang dibebankan kepadanya.

Zaky Yamani, jurnalis dan novelis
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Lain ceritanya jika seseorang terdidik dan terlatih untuk manja—apakah dia seorang pedagang, politisi atau lainnya. Jika dia seorang pedagang, mungkin dia hanya bisa berdagang jika ada orang yang memberinya uang tanpa beban tanggung jawab mengembalikan uang itu—katakanlah dia mendapat uang mudah dari orangtuanya. Mungkin dia akan memiliki toko yang terlihat mewah dengan modal seperti itu, tanpa tahu konsep bisnis, dan tak tahu apa yang harus dilakukan untuk memajukan toko itu, karena memang dia merasa tidak perlu mengganti uang yang dipercayakan kepadanya. Ketika bisnisnya terpuruk, mungkin dia akan merengek meminta modal lagi, tanpa belajar dari pengalaman. Terus seperti itu, sampai tak seorang pun percaya untuk memberinya modal lagi.

Bagaimana dengan politikus manja?

Politikus yang manja juga seperti itu. Yang dia lakukan bukan meraih kepercayaan publik dengan konsep yang dia ajukan, bekerja keras untuk menjalankan konsep yang dia punya, dan menjaga kepercayaan publik yang dia raih. Politisi yang manja hanya akan melakukan lobi kepada para politisi senior—dan mungkin juga kepada para investor politik—untuk memberinya ruang dan modal untuk bertaruh di dunia politik. Yang dia lakukan adalah menjilat semua orang yang dia anggap akan menguatkan posisinya di dunia politik, sampai ketika dia merasa sudah punya cukup kekuatan, dia akan mulai unjuk gigi dengan pameran pencitraan di berbagai sudut desa dan kota, serta menghamburkan uang untuk membeli suara warga.

Politisi yang menjalani kariernya dengan cara seperti itu tidak pernah paham artinya integritas. Baginya kepercayaan, penghargaan, kewibawaan dan seterusnya, adalah sesuatu untuk dibeli, dan kalau tidak bisa dibeli harus dipaksakan dengan berbagai cara.

Bukankah jenis politisi seperti itu yang banyak hadir di setiap pemilu di negeri ini? Bukankah mereka yang berkali-kali meraih suara terbanyak dan bisa duduk nyaman di lembaga-lembaga politik, baik di eksekutif maupun legislatif? Bukankah jenis politisi seperti itu pula yang mengisi ruang-ruang pemberitaan media massa: memproduksi dan mereproduksi wacana yang seringkali konyol dan tidak selayaknya terlontar dari politikus yang berintegritas?

Baca juga:

Mampukah Jokowi Batalkan UU MD3?

Kriminalisasi LGBT Menguat di Tahun Politik

Malah mengkerdilkan demokrasi

Karenanya, bagi saya, tidak mengejutkan ketika lahir produk-produk politik yang penuh rengekan dan kemanjaan dari institusi politik yang memang diisi oleh banyak politisi semacam itu. Misalnya saja dalam isu Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3). Kita tahu Undang-Undang MD3 berisi pasal-pasal yang mengkerdilkan demokrasi, mengkriminalkan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Undang-undang itu, bagi saya, adalah salah satu potret paling vulgar dari para politisi yang tak ingin mendengar kritikan publik, tak mau berada dalam kontrol masyarakat yang mereka wakili, ingin bekerja seenak mungkin tanpa ada yang menuntut pertanggungjawaban.

Mereka begitu manjanya, sampai ingin wibawa dan kehormatannya dijaga dengan memaksa aparat hukum untuk mengkriminalkan siapa pun yang mereka anggap merendahkan wibawa dan kehormatan mereka. Seperti tak terpikirkan oleh mereka, bahwa wibawa, kehormatan, dan kepercayaan harus diraih dengan kerja keras dan kecerdasan, bukan dengan memaksa polisi untuk menjadi penjaga sesuatu yang mungkin tak mereka pahami. Pun demikian mereka tak mau dipersalahkan dan diminta pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan, sampai meminta presiden untuk melindungi tindak-tanduk mereka.

Saya tidak melihat wajah para politisi yang cerdas dan tangguh di dalam UU MD3. Yang saya lihat adalah wajah anak-anak yang ketakutan, yang tak terdidik dengan benar oleh lingkungannya, yang dimanjakan dengan uang, kemewahan dan kekuasaan, yang merasa kuat ketika berada di ketiak bapaknya, tapi ketika dunia menantangnya mereka merengek minta dihalangi dari setiap serangan.

Lalu bagaimana mereka bisa memiliki kekuasaan untuk bermanja-manja di lembaga politik? Karena para politisi jenis itu, saudara-saudara, yang kita pilih di setiap pemilihan umum.

Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis