1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mampukah Jokowi Batalkan UU MD3?

22 Februari 2018

Presiden Jokowi mengajak masyarakat membatalkan UU MD3 yang kontroversial. Tapi Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi diyakini bakal terbentur independensi pimpinan lembaga yudikatif yang dicurigai dekat dengan DPR.

https://p.dw.com/p/2t7oV
Indonesien Neuer Präsident Joko Widodo 20.10.2014
Foto: picture-alliance/AP/Dita Alangkara

Gelagatnya sudah tercium sejak jauh hari. Toh pasal sesat itu tetap menyusup dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Isinya tidak lain adalah upaya parlemen memberangus kritik dan melindungi anggota legislatif dari kejaran hukum. Presiden Joko Widodo akhirnya menunda penandatanganan Undang-undang tersebut, meski tanpanya pun amandemen tetap akan berlaku.

"Sampai saat ini belum saya tandatangani, karena saya ingin agar ada kajian-kajian, apakah perlu ditandatangani atau tidak. Yang tidak setuju silahkan berbondong-bondong ke MK untuk di judicial review," ujarnya seperti dikutip Tribunnews.

Namun tanpa tandatangan presiden, masyarakat tidak bisa mengajukan pengujian yudisial kepada Mahkamah Konstitusi kecuali menunggu hingga 30 hari sampai UU 17/2017 berlaku secara otomatis. Sejauh ini baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Jaringan Advokasi Rakyat Solidaritas yang telah mengumumkan akan mengambil langkah hukum buat membatalkan UU MD3.

 "Revisi UU MD3 itu mencederai demokrasi. Para anggota DPR itu memperlihatkan watak mereka yang menutup diri terhadap suara kritis rakyat sebagai konstituen,” kata Ketua Umum PSI, Grace Natalie. Namun banyak pakar yang meyakini pengujian yudisial tidak akan dikabulkan MK, terutama menjelang Pilkada serentak dan Pemilu Kepresidenan 2019.

Indonesian Corruption Watch bahkan meragukan independensi Ketua MK Arief Hidayat sehingga menilai upaya Judicial Review terhadap UU MD3 tidak akan membuahkan hasil.

"Kami tidak akan gugat UU MD3, kita enggan melakukan gugatan sepanjang Arief Hidayat masih menjadi Ketua MK," ujar Koordinator Politik ICW, Donal Faris kepada detikcom pekan lalu. "Kalau MK sekarang tidak objektif gimana mau meluruskan masalah konstitusi? MK ini kan pintu terakhir untuk meluruskan konstitusi, tapi kalau yang terjadi di MK malah lobi-lobi mau gimana lagi? Intinya kita enggan mengajukan gugatan kalau Arief masih jadi Ketua!"

Alhasil bola panas itu kini berada di tangan Presiden Jokowi.

Beberapa pakar hukum seperti Mahfud MD mendesak presiden agar meniru langkah pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2014 silam DPR mengesahkan revisi UU Pilkada yang membatalkan Pilkada langsung dan memindahkan proses pemilihan eksekutif ke DPRD. SBY akhirnya menerbitkan dua Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU Pilkada yang disusun DPR.

"Presiden tanda tangan, besok cabut pasal ini, dengan bunyi begitu dan sudah selesai. Bisa itu. bisa melalui Perppu," ujarnya seperti dilansir situs berita Viva. Namun demikian pengesahan Perppu hanya bisa dilakukan oleh DPR. Tanpa sikap kooperatif lembaga legislatif, niat Jokowi membatalkan UU MD3 akan urung membuahkan hasil.

rzn/yf (detik, tribunnews, viva, cnnindonesia, kompas)