1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB: Jutaan Orang di Asia Akan Menjadi Pengungsi Iklim

3 Maret 2022

Sekitar 143 juta orang kemungkinan akan meninggalkan rumah mereka dalam 30 tahun ke depan akibat naiknya permukaan air laut, banjir, suhu panas ekstrem, dan bencana iklim lain.

https://p.dw.com/p/47tWc
Banjir di Jakarta, foto diambil pada 18 Februari 2021
Banjir di Jakarta, foto diambil pada 18 Februari 2021Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Dinding rumah yang ditinggali Saifullah, 73, di utara Jakarta bergaris-garis ibaratnya garis yang ditemui di lingkaran pohon. Garis ini menandai ketinggian banjir yang mampir setiap tahunnya. Saat air kian meninggi, Saifullah mengungsikan keluarganya ke rumah teman-temannya.

Dia sendiri menjaga rumah hingga air banjir agak surut dan bisa dikuras menggunakan pompa darurat. Apabila pompa itu sudah tidak bisa lagi bekerja, ia memakai ember atau menunggu saja sampai air surut sendiri.

''Biasa di sini,'' kata Saifullah. ''Tapi ini 'kan rumah kami. Mau ke mana lagi?"

Jutaan orang terpaksa tinggalkan kampung halaman

Sebagai kota besar yang paling cepat tenggelam di dunia, Jakarta menunjukkan bagaimana perubahan iklim telah membuat lebih banyak tempat jadi tidak layak huni. Dengan perkiraan sepertiga kota akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang - sebagian karena naiknya Laut Jawa - pemerintah Indonesia berencana memindahkan ibu kota ke Pulau Kalimantan.

Langkah ini diperkirakan akan merelokasi sebanyak 1,5 juta pegawai pemerintah. Ini adalah upaya besar dan menjadi bagian dari perpindahan orang skala besar yang  kemungkinan akan meningkat di masa depan. 

Sekitar 143 juta orang kemungkinan akan meninggalkan rumah-rumah mereka selama 30 tahun ke depan akibat naiknya permukaan air laut, kekeringan, suhu panas ekstrem dan bencana iklim lainnya. Demikian menurut laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim yang diterbitkan pada hari Senin (28/02) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pemerintah di negara-negara di Asia telah dibuat kewalahan mengatasi hal ini. Satu dari tiga migran di dunia saat ini berasal dari Asia, yang juga memiliki jumlah pengungsi tertinggi karena cuaca ekstrem seperti badai dan banjir, menurut laporan itu. Desa-desa pedesaan pun kosong dan kota-kota besar seperti Jakarta terancam. Para ilmuwan memperkirakan arus migrasi dan kebutuhan akan relokasi akan semakin bertambah.

"Di bawah semua tingkat pemanasan global, beberapa daerah yang saat ini berpenduduk padat akan menjadi tidak aman atau tidak dapat dihuni," menurut laporan itu. Ada pula perkiraan bahwa sedikitnya 40 juta orang di Asia Selatan mungkin terpaksa pindah selama 30 tahun ke depan karena kekurangan air, gagal panen, gelombang badai dan bencana lainnya.

Belum ada suaka bagi pengungsi iklim

Namun dari semua ini, meningkatnya suhu menjadi perhatian khusus, kata ilmuwan lingkungan Universitas Stanford, Chris Field, yang mengetuai laporan PBB yang dirilis pada tahun-tahun sebelumnya.

"Saat ini ada relatif sedikit tempat di muka Bumi yang terlalu panas untuk dihuni," ujar Chris Field. "Tapi seperti yang mulai terlihat di Asia, di masa depan mungkin akan ada lebih banyak lagi dan kita perlu berpikir keras tentang implikasinya."

Sejauh ini tidak ada negara yang menawarkan suaka atau perlindungan hukum lainnya kepada pengungsi akibat perubahan iklim, meskipun pemerintahan Biden telah mempelajari gagasan tersebut.

Ada banyak alasan mengapa orang-orang meninggalkan rumah mereka, antara lain karena kekerasan dan kemiskinan. Namun yang terjadi di Bangladesh menunjukkan peran perubahan iklim juga, kata Amali Tower, pendiri organisasi Climate Refugees yang menangani pengungsi akibat perubahan iklim.

Para ilmuwan memperkirakan bahwa pada tahun 2050 sebanyak 2 juta orang di negara dataran rendah itu akan mengungsi karena naiknya muka air laut. Saat ini saja ada lebih dari 2.000 migran yang tiba di ibu kota Dhaka, Bangladesh, setiap harinya. Kebanyakan mereka melarikan diri dari kota-kota pesisir. 

"Anda dapat melihat pergerakan orang yang sebenarnya. Anda benar-benar dapat melihat bencana yang meningkat. Itu nyata," kata Amali Tower.

Arus migrasi dapat diperlambat jika negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa bertindak sekarang juga untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mereka menjadi nol, katanya. Sementara ilmuwan lain mengatakan negara-negara kaya yang menghasilkan lebih banyak emisi harus menawarkan visa kemanusiaan kepada orang-orang dari negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim.

Cegah kemiskinan urban

Berurusan dengan para pengungsi iklim akan menjadi masalah bagi kebijakan utama negara-negara Sub-Sahara di Afrika dan Amerika Latin selama beberapa dekade mendatang, menurut laporan itu. Kebanyakan orang akan berpindah dari daerah pedesaan ke kota, terutama di Asia.

"Pada dasarnya orang-orang bermigrasi dari daerah pedesaan dan kemudian akan tinggal berdesakan di daerah kumuh di suatu tempat,'' kata Abhas Jha, dari bagian Manajemen Risiko Bencana dan Perubahan Iklim Bank Dunia di Asia Selatan.

Meski demikian migrasi tidak selalu harus menyebabkan krisis, kata Vittoria Zanuso, direktur eksekutif Mayors Migration Council, organisasi yang membantu kota-kota dalam membentuk kebijakan nasional dan internasional tentang migrasi. Di Dhaka utara, misalnya, para pejabat sedang membangun tempat perlindungan bagi para migran iklim dan meningkatkan pasokan air. Mereka juga bekerja dengan kota-kota kecil untuk ditetapkan sebagai "climate havens" untuk menyambut para migran, kata Zanuso.

Masuknya angkatan kerja baru menawarkan kesempatan bagi ekonomi di kota-kota kecil ini untuk bertumbuh, ujarnya. Ini diharapkan bisa mencegah para migran melarikan diri dari desa-desa mereka yang terancam oleh naiknya air laut ke kota-kota besar yang sudah memiliki masalah kelangkaan air.

Di tahun-tahun mendatang, kata Zanuso, mempersiapkan kota-kota seperti ini untuk bisa dimasuki pendatang adalah kunci.

ae/hp (AP)