1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

WHO Menjuluki COVID-2019 ''Musuh Publik Nomor 1''

12 Februari 2020

WHO telah mengumumkan nama resmi untuk virus corona jenis baru yakni COVID-19. Kepala WHO memperingatkan adanya konsekuensi tinggi bila penyebaran COVID-2019 mencapai negara-negara dengan sistem kesehatan lemah.

https://p.dw.com/p/3XdbT
Jenewa, Swiss | Konferensi Pers WHO - Tedros Adhanom Ghebreyesus | COVID-2019
WHO mengumumkan nama resmi untuk virus corona jenis baru yakni COVID-2019Foto: picture-alliance/dpa/Xinhua News Agency/C. Junxia

Kepala Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus akhirnya mengumumkan nama resmi untuk virus corona jenis baru yakni COVID-19.

"CO" adalah singkatan dari "corona", "VI" singkatan dari "virus", "D" untuk penyakit (disease), dan "19" untuk tahun 2019, karena virus corona jenis baru ini pertama kali dikonfirmasi secara resmi pada Desember tahun lalu.

Ghebreyesus menambahkan WHO sengaja tidak menggunakan nama-nama yang dapat dikaitkan dengan wilayah geografis, hewan, atau sekelompok orang.

''Musuh Publik Nomor 1"

WHO juga mengumumkan lebih dari 1.000 orang meninggal akibat terinfeksi COVID-2019. Ghebreyesus meminta dunia untuk bertindak dan memperingatkan bahwa ''virus ini menciptakan pergolakan politik, ekonomi, dan masalah sosial lebih kuat daripada serangan teroris apa pun.''

"Jika dunia tidak ingin bertindak dan menganggap virus ini sebagai musuh publik nomor satu, saya tidak yakin kita akan belajar dari masalah ini," ujar Ghebreyesus. "Virus ini musuh nomor satu bagi seluruh dunia, dan bagi seluruh umat manusia."

Hingga Rabu (12/02), jumlah kematian akibat COVID-2019 mencapai 1.113 orang, setelah provinsi Hubei melaporkan 94 kematian baru dan tiga kematian di wilayah Cina lainnya.

Dalam laporan hariannya pada Selasa (11/02), komisi kesehatan provinsi Hubei mengkonfirmasi 2.105 kasus baru terkait COVID-2019, terendah sejak 30 Januari.

Ghebreyesus yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri Ethiopia ini juga meminta adanya upaya tindakan pencegahan dan bantuan terhadap negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih lemah. Ia memperingatkan bahwa jika virus ini mencapai negara dengan sistem kesehatan yang lebih lemah, maka akan mendatangkan malapetaka.

‘‘Untuk sekarang nampaknya tidak seperti itu, tetapi bukan berarti hal itu tidak akan terjadi. Mungkin saja," katanya.

Penyebaran COVID-2019 telah melumpuhkan ekonomi Cina. Banyak perusahaan besar menghentikan sementara kegiatan mereka dan meminta karyawan untuk tinggal di rumah sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit.

Sementara itu, memasuki minggu kedua masa karantina kapal pesiar Diamond Princess di lepas pantai Jepang, dilaporkan ada 39 kasus tambahan. Sehingga telah ada sedikitnya 174 kasus terinfeksi COVID-2019, dari total 3.700 penumpang dan awak kapal. Seorang petugas karantina juga ditemukan teinfeksi virus.

Petugas karantina COVID-2019 di kapal pesiar Princess Diamond.
Petugas karantina COVID-2019 turun dari kapal pesiar Princess Diamond di JepangFoto: Imago Images/Kyodo

‘‘Kami tidak akan diam saja’’

WHO telah mengadakan konferensi dengan 400 ahli medis untuk menyiapkan roadmap dalam merespons wabah COVID-2019, termasuk pembahasan seputar vaksin.  

"Mereka butuh waktu untuk mengembangkannya (vaksin), tetapi sementara itu, kami tidak akan diam saja," kata Ghebreyesus, seraya menambahkan vaksin pertama bisa siap dalam 18 bulan.

Ghebreyesus juga merekomendasikan untuk rutin mencuci tangan dan menjaga jarak dari orang-orang yang mengidap gejala penyakit. Ia menyarankan bila batuk, usahakan selalu tutupi mulut dengan tisu atau siku.

Pemerintah Cina menyebut saat ini ada lebih dari 44.200 kasus terkait COVID-2019 di negaranya.

Secara terpisah, ahli epidemiologi Cina dan penasihat medis senior Zhong Nanshan mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa puncak penyebaran wabah COVID-2019 kemungkinan akan terjadi sebelum akhir Februari.

"Saya berharap wabah ini atau peristiwa ini bisa berakhir pada bulan April," ujar Zhong, pria berusia 83 tahun, yang juga terlibat dalam memerangi epidemi SARS 2002-2003 lalu.

pkp/rap (Reuters, AFP)