1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
ReligiIndonesia

Memaknai Konsep Halal dan Haram dalam Islam (Bagian 1)

28 April 2022

Pada edisi spesial Ramadan kali ini, K.H. Muhammad Arifin mengajak pembaca untuk kembali mengenali konsep halal haram dalam Islam, dari bunga bank, rokok, hingga ke sertifikasi.

https://p.dw.com/p/4ASGR
Foto ilustrasi produk halal
Foto ilustrasi produk halalFoto: picture alliance / maxppp

Konsep halal dan haram memang selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, baik di tingkat cendekiawan muslim maupun kalangan awam. Pada wawancara spesial Ramadan kali ini, DW Indonesia berbincang dengan K.H. Muhammad Arifin dari Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an atau PSQ. Lembaga ini didirikan sejak 2004 oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang dikenal sebagai ulama moderat yang kerap menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang menyejukkan di tengah masyarakat Indonesia yang begitu plural.

K.H. Muhammad Arifin sendiri menempuh pendidikan S-1 dengan mendalami Studi Islam dan Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan S-2 di bidang Pengajaran Bahasa Arab untuk asing di International Institute for Arabic Language, Khartoum, Sudan, 1998.

Pada bagian pertama wawancara ini, K.H. Muhammad Arifin akan bercerita mengenai konsep dasar halal dan haram, ia juga bercerita mengenai sejarah sertifikasi halal di Indonesia. Berikut perbincangannya:

DW Indonesia: Seperti apa konsep halal dan haram di agama Islam? Mengapa perlu diatur mengenai halal dan haram?

K.H. Muhammad Arifin: Dalam agama Islam, sebenarnya bukan agama Islam saja, saya kira agama Kristen agama Yahudi juga punya konsep halal/haram. Tetapi sejauh yang saya ketahui dari Al-Qur'an yang kemudian disimpulkan oleh ulama-ulama, bahwa halal dan haram itu ditentukan oleh Tuhan untuk manusia.

Pertama, untuk kemashalatan manusia. Jadi hal-hal atau benda-benda, makanan-makanan yang dilarang, atau perbuatan-perbuatan yang diharamkan itu memang pada dasarnya perbuatan itu kalau tetap dilakukan akan membahayakan manusia itu sendiri. Karena itu dilarang.

Yang kedua, untuk menguji. Dalam pandangan Islam menguji kesalehan, kepatuhan sang manusia terhadap perintah Tuhan. Apakah dengan Tuhan menurunkan perintah ini, larangan ini, manusia taat atau tidak. Nah, dari situ 'kan nanti terlihat siapa yang benar-benar beriman dan patuh pada perintah Tuhan. Dan siapa yang tidak beriman, siapa yang tidak patuh. Jadi itu konsep dasarnya.

Kemudian dari sisi lain, yang menghalalkan yang mengharamkan sesuatu itu sebetulnya semata-mata hanya Tuhan, hanya Allah dalam pandangan Islam. Jadi manusia tidak bisa, bahkan seorang nabi pun. Nabi Muhammad dalam hal ini nabi terakhir yang membawa ajaran Islam, itu pun Beliau tidak punya wewenang untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, kecuali berdasarkan wahyu dari Allah. 

K.H. Muhammad Arifin
K.H. Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al-QuranFoto: Privat

Setelah wafatnya rasul, nabi sudah wafat. Sekarang persoalan yang timbul di masyarakat 'kan banyak. Dulu zaman rasul mungkin tidak ada, zaman nabi tidak ada, sekarang ada. Nah itu ulama-ulama yang bertugas menyimpulkan untuk menentukan apakah barang baru ini atau perkembangan yang seperti ini halal atau haram. Semuanya itu harus merujuk pada apa yang sudah pernah ada contohnya pada zaman Rasul Sallallahu Alaihi wa Salam.

Selain Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 173, ada referensi lain bagi umat Islam mengenai konteks halal/haram?

Banyak sekali. Di dalam ayat 173 itu 'kan yang diharamkan menyebutkan bangkai, kemudian daging babi, darah yang tidak boleh dikonsumsi. Sebetulnya yang lain-lain itu masih banyak. Ada di surat Al-Maidah ayat satu, ayat tiga, ada di surat Al-Baqarah juga tapi di ayat yang berbeda, ayat 168 yang berbicara tentang keharusan memakan makanan yang halal yang tersedia di muka bumi ini.

Kalau kita hitung, ayat Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat kata halal itu kurang lebih 30 ayat. Tapi di luar itu, ayat-ayat lain yang berbicara tentang kehalalan sesuatu atau keharaman sesuatu tanpa menyebut kata halal/haram masih banyak lagi. Contohnya begini, ayat yang terjemahannya kurang lebih jangan dekati zina. Tidak ada kata haram atau kata halal di situ. Tapi mengandung pesan bahwa perbuatan zina adalah sesuatu yang haram.

Kemudian ada lagi umpamanya ayat yang menyebutkan janganlah kalian memakan harta sesama kamu, sesama manusia dengan cara yang tidak benar, dengan cara yang batil. Di situ juga tidak disebutkan kata haram, tidak ada kata halal. Tapi itu mengandung pesan bahwa halal adalah cara memakan makanan. Berinteraksi secara halal misalnya dagang. Cara yang batil merampok, mencuri dan seterusnya, itu tidak benar.

Jadi, memang banyak sekali selain 30 ayat yang tadi mengandung kata halal, masih ada puluhan ayat lain yang tidak mengandung kata halal tapi mengandung pesan ada kehalalan atau keharaman. Itu yang ada di dalam Al-Qur'an. Ini belum yang hadis. Hadis nabi ada banyak lagi.

Apa penafsiran Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 173? Apakah penafsiran itu selalu kontekstual atau tekstual?

Kalau dalam metode penafsiran Al-Qur'an yang selama ini berkembang, menafsirkan ayat Al-Quran itu harus memadukan dua-duanya. Tekstual iya, kontekstual iya. Kontekstual dalam arti begini, ketika turunnya ayat Al-Qur'an yang mengharamkan sesuatu itu kontekstual, masih berlaku, ya kita sebisa mungkin mengikuti itu, apa yang sudah berlaku pada masa itu.

Soal kontekstual umpamanya perkembangannya hal-hal yang dulu memang barang dan bendanya tidak ada. Rokok umpamanya. Rokok 'kan zaman nabi tidak ada. Nah itu penafsiran kontekstualnya kita harus upayakan mencari ayat atau hadis yang kira-kira bisa membantu kita menentukan hukum rokok ini seperti apa.

Dilihat dari segi kesehatan umpamanya dokter-dokter, atau orang-orang kesehatan mengatakan rokok itu membahayakan, membuat penyakit jantung dan sebagainya. Dari situ ada pesan Al-Qur'an atau pesan hadis bahwa setiap perbuatan yang mengakibatkan bahaya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain adalah perbuatan yang terlarang. Baru kemudian ulama menyimpulkan kalau begitu rokok haram.

Penafsiran ayatnya tidak saklek walaupun kata rokok tidak ada di dalam Al-Qur'an, di dalam hadis. Nah dalam rokok terkandung bahaya, sesuatu yang membahayakan sehingga ulama banyak yang menyimpulkan: oh rokok diharamkan. Karena secara jelas Al-Qur'an dan hadis mengharamkan segala apa pun yang mengakibatkan bahaya bagi manusia - diri sendiri maupun bagi orang lain.

Apakah manusia boleh menambahkan hal-hal pengharaman yang sebenarnya dihalalkan oleh Tuhan? Mengapa demikian?

Karena memang kita ini hamba dalam pandangan Islam, semua manusia menghamba pada Allah, pada Tuhan, sehingga harus benar-benar mengikuti apa yang Tuhan sudah gariskan. Ini bukan berarti kemudian kita diam ya, tidak melakukan upaya-upaya menentukan sesuatu halal atau haram, tidak.

Nyatanya sekarang Majelis Ulama Indonesia, di negara lain ulama-ulama hampir pekerjaannya setiap hari memikirkan, membahas persoalan-persoalan baru yang ditanya masyarakat apa hukumnya halal atau haram terutama terkait dengan makanan. Karena itu kebutuhan sehari-hari.

Jadi tidak boleh dalam hal ini bukan berarti kemudian kita manusia tidak mengambil langkah apa-apa untuk memastikan hukum kehalalan suatu makanan. Ini maksudnya adalah jangan sembarang kita mengatakan ini halal ini haram tanpa merujuk ke ayat Al-Qur'an, tanpa merujuk hadis nabi. Karena dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an, segala sesuatu sudah dijelaskan dalam hadis nabi. Sehingga tidak ada yang luput.

Tapi itu artinya pokok-pokoknya. Pokok persoalan yang dihadapi manusia itu sudah pernah dibahas semua, sudah pernah terjadi semua, dan ada rujukannya di dalam Al-Qur'an.

Dengan begitu jika kita menemukan kasus baru, katakanlah sering muncul soal kehalalan cacing yang katanya untuk obat. Ini halal atau haram? Nah, manusia tidak bisa berdiri sendiri mengatakan ini halal ini haram. Tidak bisa dalam pandangan Islam. Tapi harus berusaha mencari dulu cacing itu jenis hewan yang seperti apa. Menjijikkan atau membawa penyakit tertentu atau apa. Setelah diketahui jenis hewan itu, kita rujuk nanti dalam hadis. Adakah hadis-hadis yang menyebutkan hewan-hewan yang serupa. 

Begitu ditemukan kesamaannya itu, baru kita menyimpulkan berdasarkan hadis yang ini, berdasarkan ayat yang ini, cacing punya kemiripan ini-ini sehingga hukumnya sama dengan hukum hewan tertentu. Jadi itu maksud manusia tidak bisa menghalalkan sendiri. Harus merujuk kepada hadis, harus merujuk kepada ayat Al-Qur’an.

Adakah legitimasi yang menguatkan halal atau haram hal tertentu? Misal, sertifikasi legitimasikan halal atau haram? Bila ada, apakah ini sudah cukup?

Sertifikasi halal atau haram itu relatif baru di Indonesia. Setahu saya dulu tahun 70-an, itu pernah ada Kementerian Kesehatan mengeluarkan semacam sertifikasi tapi bukan halal justru haram. Sertifikasi haram. Jadi label bahan makanan yang mengandung babi pada saat itu diberi label haram. Yang berarti tidak boleh dikonsumsi oleh umat Islam.

Mengapa hanya haram saat itu konon katanya, saya membaca dari sumber-sumber rujukan, katanya yang mengonsumsi hal-hal itu sedikit, sehingga lebih banyak halal yang beredar di pasaran, sehingga itulah yang lebih ditekankan bahwa ini haram.

Kadang-kadang daging kan dijual bersamaan, daging babi, daging sapi, dalam boks yang hampir sama, berdekatan. Nah paling di situnya yang diberi label ini daging babi. Atau makanan lain, makanan yang mengandung babi diberi label haram. 

Kalau merujuk dahulu yang lebih awal lagi, zaman sejarah di Indonesia dan dunia Islam tidak ada pelabelan halal/haram. Tidak ada. Karena masyarakat sudah mengerti dari apa yang disimpulkan oleh ulama. Kalau ulama sudah mengatakan barang-barang A, B, C, itu halal, mereka tidak ragu-ragu untuk mengonsumsi barang-barang itu.

Tapi kan dalam perkembangan sekarang ini, di pasaran itu banyak sekali muncul keragu-raguan dari masyarakat apakah makanan tertentu itu benar halal atau haram.

Contohnya begini, saya pernah masuk ke sebuah resto bersama keluarga saya kemudian di situ tidak ada label halalnya dari MUI. Kemudian saya bertanya kepada petugasnya di situ. Ini halal atau tidak. Halal Pak, kami semua muslim yang di sini. Tapi kenapa tidak ada labelnya, tidak ada label halalnya? Kami belum memproses. Boleh saya bicara dengan managernya saya bertanya begitu. Boleh. Begitu bicara sama managernya. Wah saya juga belum bisa memastikan Pak untuk minyaknya ini apakah mengandung babi atau tidak.

Nah dari situ tentu masyarakat muslim ketika menghadapi persoalan seperti itu mundur, mundur, walaupun semua karyawannya muslim. Tapi karena ada keragu-raguan, ada kemungkinan di barang seperti minyak gorengnya mengandung babi itu pasti mundur, begitu.

Karena ada keragu-raguan semacam itulah, kemudian pemerintah, awalnya pemerintah melalui Kementerian Agama kemudian MUI merasa perlu untuk memastikan setiap barang bahan yang diperjual-belikan itu harus ada kepastian hukum halalnya. Itulah berlaku sertifikasi halal.

Jadi sebetulnya menguntungkan kedua belah pihak. Si pelanggan atau konsumen juga diuntungkan karena mendapat kepastian hukum. Pedagang juga akan diuntungkan oleh pembelinya seperti saya kalau ada kepastian, saya sudah pasti masuk ke situ. Dan saya membawa beberapa orang.

Jadi saya kira sertifikasi halal ini memang terobosan yang patut kita syukuri bersama karena menguntungkan masyarakat bukan cuma yang muslim, tapi juga yang nonmuslim dalam hal ini pedagang atau pelaku usahanya.

Apakah sertifikasi halal/haram ini pada akhirnya akan membatasi kemampuan manusia untuk berpikir dan mengambil keputusan? Mengapa demikian?

Bisa dikatakan begitu. Manusia dalam hal ini orang awam. Ada manusia yang awam, ada yang terpelajar. Tentu buat yang awam ini sangat membantu sekali mereka untuk tidak ragu lagi mengonsumsi makanan-makanan yang beredar di pasaran.

Tapi bagi scholar (cendekiawan muslim, red.), bagi orang-orang peneliti, bagi orang yang mengkaji, apalagi yang tugasnya mengkaji hukum agama atau mufasir yang mempelajari Al-Qur'an, tidak cukup berhenti sampai di situ. Karena persoalan berkembang terus. Persoalan yang berada di masyarakat ini berkembang terus.

Seperti persoalan bunga bank saja, itu ulama-ulama muslim masih tidak pada satu titik. Ada dua pandangan. Ada yang berpandangan bahwa bunga di bank itu riba, termasuk riba yang artinya haram. Ada yang mengatakan itu tidak riba karena dengan perjalanan waktu, uang yang nilainya sekarang katakan satu juta bisa beli barang A, di satu-dua tahun lagi uang satu juta tidak bisa membeli barang itu. Ada kenaikan di situ. Nah itu perlu ada bunga.

Pendapat-pendapat ulama yang semacam itu masih terus berkembang dan sertifikasi halal itu tidak akan cukup bagi mereka. Pada saat itu mungkin sertifikat halal cukup bagi mereka. Tapi mereka masih akan terus menggali lagi sampai mencapai pada keyakinan bahwa inilah hukum yang paling tepat.

Itu pun bisa mengalami perkembangan dengan berjalannya waktu. Karena bisa jadi sekarang bank-bank sudah melakukan penyesuaian diri dengan hukum ekonomi Islam. Setelah sistemnya semua telah dimodifikasi dengan hukum Islam, maka semua produk dari bank syariah itu menjadi halal.

Jadi kurang lebih kalau untuk orang awam ya bisa bikin orang berhenti sampai di situ jadi mandeg, tidak berpikir lagi. Cukup mengikuti apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah. Tapi bagi ulama, scholar, itu belum cukup mereka masih menggali terus.

Lanjut ke bagian ke-2

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).