1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warga Suriah Butuh Dukungan Internasional

22 Juni 2011

Situasi di Suriah semakin bergolak. Kini para pengamat mulai membandingkan cara dunia barat menyikapi revolusi di Suriah dengan di Libya.

https://p.dw.com/p/11hgg
Warga Suriah di kamp pengungsi di TurkiFoto: dapd

Janji reformasi Presiden Suriah Bashar al Assad dikomentari oleh harian kiri liberal Spanyol El Pais :

"Untuk meredam aksi protes, Bashar al Assad menjanjikan reformasi yang tidak jelas dan mengumumkan amnesti baru. Namun, strategi ini terbukti sebagai penipuan, karena tidak ada yang berubah dengan represi aksi protes yang brutal. Kepala pemerintahan ini telah kehilangan kepercayaan warga di dalam dan luar negeri. Amerika Serikat, Eropa dan Dewan Keamanan PBB termasuk pihak yang gagal dalam konflik Suriah. Melalui retorika dan sanksi simbolis mereka tidak membantu konflik paling berdarah di dunia Arab ini. Dunia internasional seharusnya menghentikan kemunafikan tersebut dan mulai menjatuhkan sanksi yang efektif."

Harian La Voix du Nord yang terbit di Lille Perancis juga menulis tentang sikap negara asing terhadap aksi protes di Suriah yang menuntut mundur Presiden Assad dan membandingkannya dengan serangan terhadap pemegang kekuasaan Libya Muammar Gaddafi :

"Mengapa dunia internasional atau tepatnya negara barat segera melibatkan diri dalam kekacauan di Libya, namun mengabaikan kondisi di Suriah yang semakin memburuk? Sejak dua bulan, Perancis dan Inggris berdebat untuk merancang resolusi PBB terhadap pimpinan Suriah. Rusia mengancam akan menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan. Assad punya cukup waktu. Cina menolak untuk ikut campur, karena takut, kelak akan mengalami hal yang sama. India, Brasil, dan Afrika Selatan merasa dijebak sejak Resolusi 1973 bagi Libya. Sikap dunia terbelah : Bagaimana cara melindungi warga sipil, tanpa harus mengusir Gaddafi?"

Sementara itu, harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung menanggapi proses pengadilan terhadap mantan pemiliki kekuasaan Tunisia Zine el Abidin Ben Ali :

"Proses pengadilan pasangan tersebut baru berjalan satu hari. Amnesty International memang menyambutnya, sama seperti mayoritas warga Tunisia. Untuk pertama kalinya seorang penguasa di dunia Arab berada di bangku terdakwa dengan tuduhan korupsi. Namun, proses keadilan terhadap bekas kepala pemerintahan ini tidak ada hubungannya dengan demokrasi dan hukum negara. Hal yang sebenarnya diinginkan para pejuang revolusi. Vonis hukuman yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sudah harus dipertanyakan. Jika sistem pengadilan Tunisia tetap seperti ini, maka masa depan negara ini tidak akan menjadi lebih baik."

Terakhir, harian Perancis Le Monde yang juga berkomentar atas vonis hukuman bagi mantan presiden Tunisia Zine el Abidin Ben Ali dan istrinya :

"Vonis yang dijatuhkan melalui pengadilan pertama di Tunis terhadap pasangan suami istri ben Ali kembali menunjukkan, bahwa hukum dan revolusi jarang bisa sejalan. Di akhir proses yang hanya berlangsung satu hari itu, mantan presiden Tunisia dan istrinya yang tidak hadir di pengadilan, masing-masing divonis 35 tahun penjara dan denda sebesar 91 juta Dinar karena kepemilikan ilegal uang devisa dan perhiasan. Di saat vonis dibacakan, mereka berada di Arab Saudi. Dikhawatirkan, usaha katarsis ini tidak akan berhasil. Proses pengadilan ini memang membingungkan siapa pun, baik mereka di Tunisia mau pun di negara lain. Dan tentu Ben Ali, seperti yang dikatakan oleh kejaksaan 'tidak berhenti mencuri dalam 23 tahun'. Tetapi bagaimana dengan kasus pelanggaran HAM dan tewasnya ratusan warga dalam revolusi?"

Vidi Legowo-Zipperer / afp / dpa

Editor : Hendra Pasuhuk