1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

020310 D Afrika Militär

5 Maret 2010

Tahun 2009, militer Jerman Bundeswehr telah melatih sekitar 600 tentara dari berbagai pasukan Afrika. Untuk tahun 2010, militer Jerman juga menjanjikan bantuan pelatihan.

https://p.dw.com/p/MHtM
Anggota Bundeswehr mengawasi jalannya latihan militerFoto: dpa

Menurut pemerintah Jerman, kerjasama pelatihan itu meliputi tema demokrasi dan penegakan negara hukum. Namun ternyata, konsep ini tak selalu berhasil. Seperti di Guinea, misalnya. September 2009, aksi pasukan terjun payung didikan Jerman di Guinea menjadi buah bibir masyarakat. Kemudian, tentara pendukung junta Moussa Dadis Camara ini menembaki rakyatnya sendiri yang tengah berdemonstrasi secara damai. Lebih 150 orang tewas dalam pembantaian itu. Lalu bagaimanakah kriteria kerjasama militer itu sebenarnya?

"Deutscher Putsch“ atau "Kudeta Jerman“, begitu sebutan untuk kudeta yang dilancarkan Kolonel Moussa Dadis Camara dan para pendukungnya di Guinea, tahun 2008. Bukan saja karena Camara sering berbahasa Jerman, Camara kerap memakai baret merah lambang regu terjun payung Jerman yang didapatnya selama empat tahun di militer Jerman Bundeswehr.

Pelaku kudeta yang pernah mengikuti pelatihan Bundeswehr di Jerman tak sedikit. Di Guinea saja, selain Moussa Dadis Carama, juga menteri Keuangan Mamdou Sandé dan Menteri Keamanan Mamadouba Camara adalah lulusan Bundeswehr. Setelah junta itu mulai menumpas rakyatnya sendiri, barulah kerjasama jangka panjang Bundeswehr dan militer Guinea diakhiri. Tentara Guinea yang terakhir, akan meninggalkan Jerman pada Februari 2011.

Menurut Thomas Silberhorn, juru bicara Partai Kristen Sosialis CSU di Parlemen Jerman, pemutusan kerjasama dalam kasus Guinea itu sudah tepat. Namun pada dasarnya kerjasama pendidikan atau pelatihan militer merupakan alat baik untuk mendorong demokrasi, dikatakan Thomas Silberhorn.

Secara keseluruhan militer Jerman bekerjasama dengan 28 negara Afrika, dan telah turut mendidik sekitar 1200 perwira dari negara-negara itu. Namun kedua instansi penyelenggara program ini, yakni Kementerian Luar Negeri dan Kementrian Pertahanan Jerman, menolak memberitahukan kriteria bagi militer asing yang ingin mengikuti kerjasama tersebut.

Menurut Mathias John dari organisasi pemantau HAM, Amnesty International, militer Ethiopia, Nigeria dan Kenya, yang pernah ikut dalam program kerjasama ini, diketahui melakukan banyak pelanggaran Hak Azasi Manusia. Meskipun kerjasama sudah diakhiri, Amnesty Internasional menuntut transparensi dalam menentukan penerima bantuan pendidikan militer Jerman.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Jerman mengatakan, Jerman biasanya menawarkan kerjasama kepada negara yang dianggapnya memiliki potensi untuk menjadi lebih baik. Seringkali, potensi ini terlihat pada negara-negara yang belum 100% demokratis. Karenanya, Jerman berusaha mempengaruhi peran militer dalam masyarakat itu, khususnya yang terkait upaya pembentukan negara hukum dan lingkaran inti kepemimpinan.

Namun keberhasilannya sulit dibuktikan. Bagaimana caranya memastikan bahwa tentara asing didikan Bundeswehr tak menggunakan kemampuan barunya justru untuk menekan rakyat di negaranya? Juru bicara Kementrian Pertahanan Jerman mengakui hal itu tidak mudah. Penentuan siapa yang dapat mengikuti pelatihan merupakan tanggung jawab negara mitra kerjasama itu. Thomas Silberhorn dari partai CSU menegaskan, Jerman memastikan bahwa mitra kerjasamanya memiliki tujuan sejalan dengan prinsip demokrasi yang dikedepankan Jerman.

Sementara itu, Amnesty International menuntut agar situasi hak azasi manusia di sebuah negara, menjadi salah satu kriteria untuk mulai meniti kerjasama. Menurut Mathias John, "Bukan saja reformasi militer dan pasukan keamanan yang terpenting dalam kerjasama antara negara. Melainkan, reformasi sistim peradilan, kepolisian dan penguatan masyarakat sipil."

Namun mendukung masyarakat sipil suatu negara juga bukan langkah yang mudah. Apalagi bila bersamaan dengan itu, ada keinginan mengucilkan pemerintah negara tersebut. Sekali lagi, Guinea bisa menjadi contoh kasus. April 2009, Jerman memutuskan untuk mengurangi bantuan kerjasama dengan Guinea di sejumlah bidang pembangunan, dengan tujuan melancarkan tekanan pada pemerintahan militer negara itu. Kudeta berikut di Guinea itupun diiringi upaya pembunuhan terhadap Moussa Dadis Camara. Setelah Camara tergeser, wakilnya, Brigadir Jenderal Sékouba Konaté, yang lulusan pelatihan militer Perancis mengambil alih pemerintahan.

Martin Heidelberger/Edith Koesoemawiria

Editor: Hendra Pasuhuk