1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Veronica Koman Akui Dapat Ancaman Perkosaan dan Pembunuhan

3 Oktober 2019

Aktivis Papua, Veronica Koman, mengritik pemerintah yang ibaratnya lebih berusaha membunuh pembawa pesan, ketimbang menuntaskan akar persoalan Papua. Hal itu diungkapkannya dalam wawancara dengan televisi Australia.

https://p.dw.com/p/3Qgj0
Indonesien | Proteste für Unabhängigkeit von Westpapua
Foto: picture-alliance/Zumapress/A. I. Damanik

Kuasa Hukum Komite Nasional Papua Barat, Veronica Koman, buka suara menyusul penetapan status tersangka oleh Kepolisian RI. Dalam wawancara eksklusif dengan stasiun televisi Australia, SBS, aktivis Papua ini mengungkapkan perubahan status hukum tersebut bukan pengalaman paling pahit selama berkecimpung soal isu Papua.

"Saya mulai mendapat ancaman dibunuh dua tahun lalu. Sekarang hampir setiap hari saya mendapat ancaman pembunuhan atau pemerkosaan secara online," kata perempuan berusia 31 tahun tersebut. "Mereka terus berusaha membunuh si pembawa pesan. Tapi mereka tidak bisa membantah data-data saya, jadi mereka berusaha menghancurkan kredibilitas saya."

Dipicu tragedi Paniai

Ancaman tidak hanya diarahkan pada Veronica yang kini menetap di Australia, tetapi juga kepada keluarganya yang masih hidup di tanah air. "Keluarga saya di Jakarta sudah pindah sejak sebulan ini untuk menghindari intimidasi," ujarnya dalam wawancara pertama sejak penetapan status tersangka oleh kepolisian RI.

Veronica mulai aktif mengadvokasi Papua sejak pecahnya tragedi Paniai, di mana oknum TNI/Polri diduga membunuh empat warga dan mencederai 17 lainnya. "Sudah jadi misi pribadi saya untuk mengungkap apapun yang terjadi di Papua," kata kuasa hukum komnas Papua Barat ini kepada SBS. Salah satu risiko yang ditanggung Veronica adalah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia menyusul permintaan Polda Jawa Timur untuk mencabut paspornya.

Sementara itu situasi di Bumi Cendrawasih saat ini dikabarkan masih tetap belum kondunsif. Sebagian besar pusat perbelanjaan dan sarana pendidikan masih tutup lantaran minimnya jaminan keamanan.

Puluhan ribu mengungsi dari Papua

Ratusan pengungsi masih menunggu proses evakuasi pasca kerusuhan yang menewaskan 33 orang di Wamena. Pemerintah Provinsi Jawa Timur misalnya menggandeng TNI Angkatan Udara untuk memfasilitasi pemulangan warga Jatim dari Papua. Sementara penduduk Sumatera Barat mengumpulkan dana sumbangan untuk membiayai warganya yang ingin pulang kampung.

Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos mengklaim sudah sebanyak 11.646 pengungsi yang hengkang dari Papua, demikian dilansir kantor berita Antara. Dari jumlah itu lebih dari 7.000 orang diangkut dengan menggunakan pesawat TNI, sementara sisanya menggunakan penerbangan komersial.

Akibat situasi keamanan di Papua, negeri jiran Papua Nugini sampai memerintahkan penutupan perbatasan sampai waktu yang belum ditentukan. Kementerian urusan Kewarganegaraan Papua Nugini juga melarang penduduknya berbelanja di Pasar Batas yang terletak di perbatasan Indonesia atau berpergian ke Jayapura.

Pendekatan keamanan dikecam

Saat ini satuan TNI/Polri dikerahkan untuk menjaga keamanan di sejumlah kota dan kawasan. Namun  Victor Yeimo, aktivis referendum Papua menilai, justru di situ letak permasalahannya. "Sebenarnya masalahnya kan sederhana, selesaikan akar masalah di Papua dengan cara damai dan elegan. Tapi jawaban Jakarta kan malah mengerahkan pasukan di mana-mana," kata dia.

Pendekatan keamanan yang digunakan Indonesia membuahkan dendam lintas generasi, yang menurut Victor, ikut melahirkan kerusuhan di Wamena. "Di Wamena itu, semua keluarga korban kekerasan aparat dari Nduga, Lanny Jaya dan tempat lainnya berkumpul di sana."

"Kehadiran aparat dalam jumlah besar dan ditambah dengan ketegangan rasial pada akhirnya membuncah menjadi kerusuhan berdarah", tegas aktivis referendum Papua itu.

rzn/as (sbs, rnz, dw)