1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Vaksinasi untuk Lansia dan Influencer, Mana Lebih Penting?

20 Januari 2021

Beberapa negara memprioritaskan lansia mendapat vaksinasi COVID-19. Namun program vaksinasi di Indonesia justru menempatkan influencer dalam kelompok awal penerima vaksin. Apa alasannya?

https://p.dw.com/p/3o4Nw
Ada kemungkinan lansia mendapatkan suntikan vaksin Sinovac
BPOM masih menunggu uji klinis tahap akhir di Brasil sebelum menggunakan vaksin Sinovac untuk lansia di IndonesiaFoto: Rafael Henrique/SOPA/ZUMA/picture alliance

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kelompok prioritas penerima vaksin, yakni tenaga kesehatan, tokoh agama, tenaga pendidik, aparatur pemerintah, peserta BPJS, dan masyarakat berusia 18-59 tahun. Keenam kategori tersebut tidak mencantumkan kelompok lansia (masyarakat berusia di atas 60 tahun).

Alasan keamanan dan keterbatasan jumlah vaksin Sinovac diyakini menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak memasukkan kelompok lansia di tahap awal program vaksinasi. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/1/2021 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), lansia dimasukkan ke dalam tahap kedua vaksinasi.

Tapi saat ini, Lansia sudah dijadikan salah satu sasaran prioritas penerima vaksinasi COVID-19, meski sebelumnya sempat tidak dimasukkan dalam kelompok penerima awal. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa ini merupakan bentuk komitmen pemerintah menjamin hak kesehatan.

Keputusan pemerintah tersebut diapresiasi Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia, Prof. Iris Rengganis. "Karena vaksinnya pun terbatas dan biarkan saja untuk garda terdepan dahulu yang memang masuk usia itu, tetapi tidak mempunyai komorbid (penyakit penyerta)," ucapnya.

BPOM tunggu hasil uji klinis Brasil dan Cina

Dari segi medis, penggunaan vaksin Sinovac untuk kelompok usia lanjut di Indonesia saat ini belum bisa dilakukan. Pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih menunggu hasil uji klinis fase tiga dari Brasil dan uji klinis fase satu dan dua yang dilakukan di Cina. Nantinya setelah Brasil melakukan uji klinis tahap akhir vaksin Sinovac, Indonesia tidak akan mengulang pengujian vaksin tersebut bagi lansia.

Juru bicara vaksinasi COVID-19 dari Kementerian Kesehatan, Dokter Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, kemungkinan penggunaan vaksin Sinovac untuk lansia diproyeksikan terjadi pada Maret mendatang.

"Jadi mungkin pada tahap ketiga atau keempat, ini tentunya sangat tergantung dengan data uji klinis tahap tiga Sinovac di Bandung yang baru akan selesai pada bulan Maret 2021. Memungkinkan penggunaan Sinovac (bagi lansia) tetapi perlu data yang lebih akurat. Adapun vaksin yang sudah memiliki data dan sudah jelas itu kan AstraZeneca dan BioNTech/Pfizer, tetapi kedua vaksin tersebut, terutama AstraZeneca kemungkinan baru akan tiba di Indonesia sekitar Mei atau Juni 2021,” ungkapnya.

Epidemiolog dan Peneliti Pandemi Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan perbedaan vaksin Sinovac dengan BioNTech/Pfizer ada pada proses riset.

Dicky Budiman
Epidemiolog dan Peneliti Pandemi Griffith University, Dicky BudimanFoto: privat

"Setelah saya analisa dan tanya langsung ke penelitinya, mereka (peneliti BioNTech/Pfizer) melakukan dan lead langsung (risetnya), tetapi kalau Sinovac diserahkan ke masing-masing negara, termasuk Brasil, Turki, Chili, Bangladesh, dan Indonesia. Kita bisa melihat masing-masing seperti BUMN-nya lah itu melakukan riset ini dengan desainnya masing-masing dan pertimbangan masing-masing, seperti yang kita lihat di Indonesia adalah 18-59 tahun, salah satu yang disampaikan alasannya memang dianggap lebih cepat imunitasnya walaupun itu bisa diperdebatkan ya,” ucapnya.

Meskipun demikian, langkah pemerintah Indonesia dalam memilih untuk mendahulukan warga yang berusia produktif (18-59 tahun) dalam daftar pertama penerima vaksin, sangat berbeda dengan kebijakan di kebanyakan negara barat, yang menempatkan lansia di urutan penerima pertama vaksin COVID-19.

Alasan mobilitas kelompok usia produktif

Dokter Nadia menyatakan, pertimbangan memasukkan kelompok usia produktif dalam prioritas penerima vaksin adalah karena mereka merupakan pelaku ekonomi aktif yang beraktivitas di luar rumah. Mengingat klaster keluarga menjadi salah satu penyumbang terbesar kasus COVID-19 di Indonesia, pelaksanaan vaksinasi pada mereka yang berusia 18-59 tahun diyakini dapat memutus mata rantai penularan klaster tersebut.

"Kita tahu bahwa kelompok ini merupakan mayoritas kelompok yang melakukan aktivitas ekonomi. Lansia cenderung tidak melakukan aktivitas di luar rumah, karena mereka bukan tulang punggung ekonomi keluarga. Yang terjadi di Indonesia klaster keluarga cukup tinggi, jadi kita tentunya memberikan vaksinasi kepada mereka yang berusia 18-59 tahun, dan kita punya dua keuntungan ya. Pertama, kita memberikan perlindungan antibodi kepada kelompok usia produktif yang merupakan pelaku ekonomi. Kedua, kita bisa memutus rantai penularan di klaster keluarga,” kata Nadia kepada DW.

Sementara epidemiolog Dicky mengungkapkan jika pemilihan populasi usia 18-59 tahun karena berdasarkan penilaian mereka lebih mobile dibanding kelompok lansia, maka alasan tersebut bisa terbantahkan.

"Ada semacam argumen ‘ini mobile banget yang usia produktif, sedangkan yang usianya di atas itu tidak mobile' ini tidak terlalu bisa dibenarkan, secara riset pun itu terbantahkan. Kemudian argumen lain ‘oh yang respon imunitas paling bagus usia yang 18-59 tahun' ini pun bisa diperdebatkan, karena ada riset yang menyatakan pada usia produktif dan lansia hampir sama respon imunitasnya setelah divaksin,” kata Dicky ketika dihubungi DW.

Namun Dicky menyatakan, sejauh ini kebijakan pemerintah masih berada dalam koridor yang bisa diterima, lantaran kelompok tenaga kesehatan menjadi salah satu prioritas penerima vaksin pada gelombang pertama.

Vaksinasi dan influencer

Strategi pemerintah Indonesia dalam hal pembagian vaksin COVID-19 menuai pro dan kontra, terlebih saat melibatkan influencer. Jubir Vaksinasi COVID-19, dokter Nadia menjelaskan bahwa upaya memanfaatkan influencer merupakan strategi komunikasi program vaksinasi.

"Terlepas dari siapa sosok influencer secara pribadi, sebenarnya dengan menggandeng influencer itu juga merupakan salah satu strategi komunikasi dalam pelaksanaan vaksinasi. Kita memang memanfaatkan bukan hanya tokoh masyarakat, tokoh agama, tetapi dengan kondisi saat ini juga influencer memegang peranan penting ya,” katanya.

Epidemiolog Dicky Budiman menilai keputusan pemerintah menggaet sosok influencer masuk dalam deretan teratas penerima vaksin, bukan sebuah kebijakan yang tepat dan tidak terlalu lazim.

"Memang ini tidak terlalu lazim ya. Strategi secara umum itu kita tentu akan memprioritaskan sebagaimana yang terjadi di negara lain. Pesan yang ingin saya ingatkan kepada pemerintah adalah setiap pemilihan kebijakan, strategi, dan tindakan dalam situasi pandemi ini harus berbasis science. It's a must. Termasuk memilih influencer,” ucapnya.

Dicky menjelaskan riset terbaru menyebutkan dua profesi yang memiliki dampak positif besar dalam kaitan vaksinasi COVID-19 sebagai bagian dari public campaign, mereka adalah politisi dan ahli kesehatan yang berpengaruh.

"Termasuk pemerintah Australia, (segala kebijakan yang diambil) berdasarkan pada riset ini. Mereka tidak mau pakai influencer artis atau segala macam, karena riset itu juga mengatakan bisa kontra produktif. Dalam kesehariannya, banyak artis yang tidak memahami kaitan pandemi dengan upaya 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas),” papar Dicky.

Strategi komunikasi yang salah?

Pemerintah Indonesia sejatinya berharap, influencer mampu menarik perhatian masyarakat ,agar bersedia menjalani vaksinasi COVID-19. Namun adanya "insiden" yang dilakukan seorang influencer ”pilihan”, dengan melakukan aktivitas yang tidak menerapkan protokol kesehatan setelah menerima vaksin, justru memicu permasalahan baru. 

Prof. Dr. dr. Iris Rengganis
Ketua Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia, Prof. Iris RengganisFoto: Privat

Dokter spesialis alergi dan imunologi, Prof Iris menolak untuk berkomentar banyak terkait hal itu. Namun sangat menyayangkan kejadian tersebut. Ia menegaskan sikap disiplin sudah sepatutnya muncul di setiap diri warga terlepas dari status sosial mereka. 

”Saya mengimbau masyarakat lebih disiplin menjalankan protokol kesehatan mengingat pandemi sudah berlangsung hampir satu tahun akan tetapi selama delapan bulan terakhir justru kasus terus mengalami peningkatan tajam. Vaksin bukan akhir dari segalanya. Meski sudah disuntik vaksin, apabila tidak menerapkan protokol kesehatan maka ada kemungkinan tetap akan tertular,” jelasnya.

Istana Kepresidenan menyebut telah menegur influencer yang bersangkutan terkait aktivitasnya yang terlihat berkumpul bersama sejumlah artis tanpa mengindahkan protokol kesehatan pada Rabu malam (13/01). Tindakan sang influencer tersebut menjadi sorotan publik lantaran ia masuk dalam daftar orang pertama yang menerima vaksin COVID-19 bersama Presiden Joko Widodo.

Kepala Sekretariat Kepresidenan Heru Budi Hartono mengatakan, tidak akan ada lagi influencer yang dilibatkan dalam vaksinasi COVID-19. "Tentunya tahap berikutnya sudah tidak ada itu (influencer) bergulir, sebagaimana jadwal dari Kementerian Kesehatan,” terangnya. (ha/as)