1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UU Penodaan Agama,Dipertahankan, Direvisi atau Dicabut?

4 September 2018

Bagaimana pandangan pembaca DW atas usulan pencabutan UU Penodaan Agama setelah divonisnya Meiliana?

https://p.dw.com/p/33qF0
Indonesien Lautsprecher an Moschee
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Pengadilan Negeri Medan memvonis bersalah Meiliana dan menghukumnya dengan 18 bulan penjara atas dakwaan dugaan penistaan agama. Perempuan keturunan Tionghoa itu dianggap terbukti menghina agama Islam karena mengeluhkan volume suara adzan yang dinilainya terlalu keras.

Perkara berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu keras. "Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut," ujar terdakwa kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa. Setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana.

Namun tanpa diduga pertemuan tersebut ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan melempari rumah dan membakar 14 vihara umat Buddha. Pihak keluarga sebelumnya sempat meminta maaf.

Beberapa kelompok masyarakat mengritik putusan itu sebagai bentuk pelanggaran HAM. Komnas HAM  mempertanyakan mengapa Meiliana didakwa 18 bulan sementara para pelaku kerusuhan hanya mendapat rata-rata hukuman kurung selama 1 bulan 15 hari oleh PN Tanjung Balai.

Tak jauh beda dengan kasus Ahok

Kasus Meiliana ini mengingatkan kita akan kasus penistaan agama yang divonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Institute for Justice Reform (ICJR) misalnya, mengatakan kasus Meiliana yang divonis bersalah akibat mengeluhkan volume pengeras suara masjid tak beda dengan kasus penodaan agama yang terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurut ICJR, kasus-kasus itu terjadi akibat pemanfaatan pasal untuk menyerang minoritas tertentu, sementara unsur kesengajaan tak bisa dibuktikan.

Tak urung berbagai kelompok masyarakat pun menilai pentingnya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama.

DW Indonesia juga membuka ruang diskusi bagi para pengguna sosial media untuk memberikan tanggapan dan masukannya terkait masalah ini, dengan pertanyaan apakah UU PENODAAN AGAMA seharusnya dicabut atau tetap dipertahankan di Indonesia?

Hasilnya di Twitter:

62 % MEMPERTAHANKAN

38% DICABUT

Sementara di Facebook: <iframe src="https://www.facebook.com/plugins/post.php?href=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fdw.indonesia%2Fposts%2F1972209182817257&width=500" width="702" height="178" style="border:none;overflow:hidden" scrolling="no" frameborder="0" allowTransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>

59% MEMPERTAHANKAN

41% DICABUT

Apa saja alasan users DW dalam menyatakan pendapatnya? Berikut beberapa di antaranya:

@asthyk_9

Selama perangkat hukum masih tidak bebas, UU tersebut dipakai oleh oknum untuk mengarahkan hasil sidang sesuai yang mereka harapkan. Kemenangan untuk oknum tanpa melihat keseimbangan fakta.

@viyboy

Lalu bagaimana kasus pembakaran masjid di Tolikara Papua, pelaku malah diundang ke istana, ini juga menteri Agama yang nota bene Muslim malah mau membantu jadi ahli kalau diminta.

@_SyairHaq

Ada UU masih berani menghina.apalagi kalau tidak ada. Negara ini bukan negara Islam, tp negara ini mayoritas  penduduknya umat IIslam, yang setiap waktu shalat mesti diingatkan dg pengeras suara untuk menghadap kepada Tuhannya pada waktu yang tepat.

@JokSusi2019

Bukan keadilan untuk Meliani dan Ahok minoritas. Tapi keadilan mayoritas yg berdemonstrasi. Hakim nurut pada tekanan demo (kelompok) mayoritas. Sedikit omong salah bakar vihara gereja penjarahan. Kalau mayoritas yang salah omong bebas dan bisa dpt SP3.

Desi AL:

UU penodaan agama itu pasal karet, suka disalahgunakan untuk menindas minoritas.

Adi Syuhada Jamal:

Di Amerika, negara tidak campur tangan soal agama karena pemerintahan terpisah dengan agama. Anda mau beragama atau tidak itu bukan urusan negara selama Anda taat pada undang-undang negara federal.

Rizki Andrianto:

Diubah, koruptor juga masuk dalam penistaan agama, karena sebelumnya sudah disumpah jabatan.

Sahat Nainggolan:

Penodaan agama cuma untuk minoritas

Tabz:

Tetap dipertahankan. Kalau dicabut bisa timbul masalah yang fatal dan lebih besar terhadap toleransi..khususnya di Indonesia,mengingat masyarakat blm bisa sepenuhnya berpikir "kekinian". Tapi dengan pembaruan pasal yang lebih moderat-lah.. Atau kekinian sesuai dengan zaman sekarang.

Jef Rizal:

Direvisi dan diperbaiki lagi ,jadi bukan dicabut .karena UU penistaan agama itu juga harus mewakili seluruh agama yang ada di Indonesia (Islam ,Kristen ,Hindu, Buddha maupun Konghuchu)agar tidak timpang tindih.jadi DPR-nya jangan banyak yang tidur.  Serius lah jadi wakil rakyat ,situasi bangsa sudah genting diambang perpecahan jangan sibuk ngurus paslon capres-cawapres saja.

Demikian pendapat para Sahabat DW. Vonis telah dijatuhkan. Lagi-lagi pasal karet memakan korban. Sejumlah kalangan mencari jalan tengah agar undang-undang itu direvisi. Namun, sebelum proses itu memakan lebih banyak korban, ada baiknya pemberian pemahaman khusus ke seluruh hukum dalam menangani kasus penistaan agama.

Kelompok-kelompok keagamaan juga perlu memberi dorongan besar pada pemangku yudikatif agar dapat mengambil keputusan hukum dengan mengedepankan hati nurani dan hak asasi manusia. Perlindungan pada hakim, jaksa, saksi ahli dan kuasa hukum juga perlu ditegakkan agar mampu menjalankan tugasnya dengan profesional, tanpa harus gentar hadapi tekanan massa. 

Sejumlah lembaga, termasuk Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM pernah mengajukan uji materi UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Namun MK menolak permohonan uji materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas.