1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Putuskan UU Hak Cipta yang Baru

15 April 2019

Uni Eropa akhirnya memutuskan UU Hak Cipta untuk memastikan artis dan penerbit berita mendapatkan hak mereka di dunia digital. Rencana itu sebelumnya memicu protes luas atas kebebasan internet.

https://p.dw.com/p/3GnPR
Symbolbild Urheberrecht im Internet | Upload-Filter
Foto: picture-alliance/dpa/S. Steinach

Reformasi kontroversial Undang-Undang Hak Cipta Uni Eropa yang bertujuan untuk memastikan hak-hak artis dan penerbit berita di era digital akhirnya disetujui Uni Eropa hari Senin (15/04). Pada pemungutan suara yang diadakan di sela-sela pertemuan tingkat menteri di Luksemburg, 19 negara anggota mendukung, enam menentang dan tiga abstain.

Paket pembaruan UU Hak Cipta sebelumnya menyulut kritik luas dari kalangan yang mengkhawatirkan pembatasan kebebasan di internet, terutama untuk pertukaran informasi dan kreativitas. Namun, para pendukung paket itu mengatakan bahwa mereka akan memastikan pembagian hasil yang lebih adil bagi para produsen konten dan penyedia fasilitas online.

UU Hak Cipta yang baru mengharuskan platform media sosial seperti Facebook dan YouTube memastikan konten yang diunggah melalui situs maupun aplikasi mereka tidak melanggar peraturan hak cipta. Artinya perusahaan online memerlukan perjanjian lisensi dengan pemegang hak cipta seperti musisi, pemain peran dan penulis untuk menggunakan konten mereka.

Platform seperti Google News juga harus membayar penerbit untuk potongan-potongan berita yang ditampilkan dalam hasil pencarian. Sedangkan organisasi nirlaba dan ensiklopedi seperti Wikipedia akan tetap dapat menggunakan data-data secara gratis untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Perusahaan online dengan omset tahunan di bawah 10 Euro juga akan mendapat pengecualian.

Deutschland geplante EU-Urheberrechtsreform in Hamburg
Aksi protes RUU Hak Cipta yang baru di Hamburg, 23 Maret 2019Foto: picture-alliance/xim.gs

Mengapa jadi kontroversi?

UU Hak Cipta yang saat ini berlaku berasal dari tahun 2001 dan belum mencakup aplikasi media sosial dan platform mesin pencari. Pengadilan Eropa sejak lama menuntut agar UU itu diperbarui dan disesuaikan dengan era digital, karena banyak materi yang dilindungi oleh hak cipta belum diatur jika disebarkan di platform online.

Pembahasan tentang pembaruan UU Hak Cipta dimulai dua tahun lalu, namun kemudian menyulut kontroversi dan aksi protes luas di seluruh Eropa. Paket itu terutama ditentang oleh perusahaan-perusahaan online besar seperti Google dan Facebook.

Para pengkritik terutama khawatir bahwa perusahaan online akhirnya akan memasang "filter unggahan" dan menyensor semua konten-konten yang mungkin memuat karya yang dilindungi hak cipta. Karena ingin aman, perusahaan online diduga akan memasang filter secara umum, yang juga akan menyensor semua konten sehingga menghambat pertukaran informasi dan kreativitas di internet.

Kalangan penerbit dan artis mendukung reformasi ini karena merasa mereka sering kehilangan pendapatan dari pembayaran royalti, sebab karya-karya mereka disebar secara gratis di internet. Perusahaan penyedia platform online menolak membayar royalti dengan argumen, mereka hanya menyediakan platform dan yang mengunggah konten adalah para pengguna atau netizen.

Sasaran kritik terutama ditujukan kepada Pasal 13 RUU Hak Cipta. Pasal itu menuntut perusahaan platform media sosial agar memastikan bahwa konten-konten yang disebar pengguna tidak melanggar hak cipta. Dalam UU Hak Cipta yang baru diputuskan, Pasal 13 itu kini berubah menjadi Pasal 17.

Pemerintah Jerman menyepakati UU Hak Cipta yang baru pada menit-menit terakhir pemungutan suara. Akhir Maret lalu, Jerman masih menolak pembaruan tersebut. Sekalipun sekarang menyetujui, Jerman tetap menuntut agar penggunaan filter unggahan tidak akan menjadi kewajiban di Jerman.

Setelah Parlemen Eropa menyetujui UU Hak Cipta yang baru, sekarang negara-negara anggota diberi waktu dua tahun untuk menerapkan UU itu dalam perundangan nasionalnya.

hp/ts (dpa, rtr)