1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Undang Undang Baru Mesir, Upaya Presiden Mubarak Pertahankan Kekuasaan?

20 Maret 2007

Ikhwanul Muslimin dinyatakan terlarang oleh undang-undang baru Mesir. 100 anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin melakukan walk out menentang usulan undang-undang dasar baru.

https://p.dw.com/p/CItz
Presiden Mesir Mubarak
Presiden Mesir MubarakFoto: dpa

Hari Minggu lalu di ibukota Kairo, sekitar 100 anggota parlemen yang sebagian besar merupakan anggota Ikhwanul Muslimin atau Persaudaraan Muslim meninggalkan ruangan sidang sebagai aksi protes menentang rencana perubahan undang-undang dasar. Tapi peristiwa tersebut tidak terekam kamera media massa. Warga Mesir pastinya tidak diperkenankan melihat aksi tersebut. Essam al Eryan, salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin mengatakan kepada stasiun televisi Al Jazeera: "Partai penguasa memonopoli mayoritas pemilih tidak bersuara. Mereka menghalangi akses rakyat ke politik. Dan mereka beranggapan, rakyat mendukung mereka.“

Banyak kritikus memandang undang-undang dasar baru merupakan upaya berikutnya pemerintahan Mubarak untuk mempertahankan kekuasaan. Sejak sekitar dua tahun lalu, Presiden Mesir tidak pernah melewatkan setiap kesempatan untuk berbicara mengenai reformasi politik. Namun kenyataannya situasi hak azasi manusia di Mesir semakin buruk. Hakim dan jurnalis yang tidak menurut diadili, penulis buku harian internet dijebloskan ke penjara gara-gara menyampaikan pendapatnya. Ayman Nur, pendiri partai liberal Al Ghad yang menduduki posisi kedua dalam pemilihan presiden 2005, setahun lalu divonis 5 tahun penjara.

Jika sekarang diadakan pemilihan presiden baru di Mesir, dapat dipastikan tidak ada kandidat saingan yang serius, yang mencalonkan diri. Hal itu memperlambat proses perubahan undang-undang dasar dari Mei 2005. Bagi mayoritas warga kini sudah dapat dipastikan, Mubarak akan menyerahkan kekuasaan kepada putranya Gamal.

Sebanyak 34 pasal undang-undang dasar baru kini menjadi tema perdebatan. Salah satu pasal di antaranya melarang pembentukan partai berbasis agama. Sebuah tindakan yang diarahkan langsung kepada Persaudaraan Muslim. Saat ini sebanyak 88 anggota parlemen independen berasal dari Persaudaraan Muslim. Mereka membentuk kubu oposisi terbesar.

Tidak hanya Ikhwanul Muslimin yang merasa terancam dengan adanya rencana perubahan undang-undang dasar tersebut, tetapi juga partai kiri, liberal dan kelompok oposisi lainnya. Organisasi pembela hak azasi manusia Amnesty International menyebut usulan perubahan undang-undang di Mesir tersebut sebagai serangan terbesar terhadap hak azasi manusia sejak 26 tahun terakhir ini.

Kubu oposisi menyerukan boikot terhadap referendum mengenai undang-undang dasar baru itu. Tidak ada orang memiliki kepentingan negaranya menjadi negara polisi. Jika undang-undang dasar tersebut disahkan, aparat keamanan memiliki otoritas lebih besar, kebebasan berserikat menjadi semakin terbatas dan para pengamat mengatakan semua itu disembunyikan dalam moto "perang melawan teror“.

Undang-undang dasar baru memperkuat kekuasaan presiden. Demikian dikatakan Al Eryan dari Persaudaraan Muslim. Undang-undang dasar baru itu memungkinkan munculnya situasi darurat yang berkepanjangan, mempermudah pelanggaran hak dasar dan mengancam keamanan warga di dalam rumah mereka sendiri.

Ali al Sawi, pakar ilmu politik di Universitas Kairo, menganggap perubahan undang-undang dasar itu sebagai salah satu taktik mengelabui internasional dengan menyebutnya reformasi. "Itu manuver politik mendukung pemerintah. Saya tidak melihat sisi lain perkembangan terbaru ini.“

Mula-mula warga Mesir harus melakukan referendum terhadap undang-undang dasar baru tersebut. Tapi al Eryan mengatakan: "Ini tidak menyangkut warga Mesir, yang mengatakan ya atau tidak. Semua hasil referendum akan direkayasa.“