1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bukan Sembarang Guru Ngaji, Dia Teungku Inong Eco-friendly

Ayu 'Ulya (Aceh)
7 Maret 2022

"Keberlangsungan lingkungan hidup juga berarti keberlangsungan kehidupan. Pelestarian lingkungan hidup itu sebagian daripada iman," ujar Endang, Teungku Inong atau ulama perempuan Aceh.

https://p.dw.com/p/47xzz
Seseorang membawa bibit tanaman di tangan
Ilustrasi menjaga lingkunganFoto: picture-alliance/Frank May

Rumah Endang Dewi Wahyuni, 57, di Aceh Tengah hampir setiap malam diramaikan dengan suara anak-anak mengaji Al-Qur'an. Perempuan kelahiran Binjai Barat, Sumatera Utara, yang sehari-hari bekerja sebagai petani kopi dan kepala sekolah TK ini menyiarkan Islam dengan menanamkan nilai-nilai yang ramah lingkungan.

Endang Dewi Wahyuni mengawali kecintaannya pada dakwah dan pembelajaran Islam sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Sejak kanak-kanak hingga remaja, ia aktif mengikuti sejumlah pengajian dan kompetisi keilmuan agama Islam melalui jalur Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Pernah bercita-cita menjadi ustazah di usia belia, Endang kecil tidak diizinkan orang tua saat mau masuk pesantren. Ia pun harus berbesar hati menamatkan seluruh pendidikan dasarnya di sekolah umum.

Keinginan Endang untuk memperdalam pemahaman ilmu agama kembali bangkit saat hendak menapaki jenjang pendidikan tinggi. Endang melanjutkan pendidikan D3 pada jurusan Pendidikan Dunia Usaha di Institute Negeri Medan, sekarang dikenal sebagai Universitas Negeri Medan (Unimed). Di sini ia kembali mengikuti organisasi kemasyarakatan dan berkumpul bersama ibu-ibu pengajian.

"Saat itu, peserta pengajian ibu-ibu semua, saya sendiri yang gadis," tawanya renyah.

Dari Medan jadi petani kopi di Aceh

Setelah menikah dan memiliki dua buah hati, Endang bersama suami yang sebelumnya tinggal di Sumatera Utara memutuskan pindah ke Aceh Tengah pada 18 Agustus 1998 dengan harapan memperbaiki hidup mereka. Langkah ini menuai pro dan kontra dari keluarga besar mereka. Pasalnya kepindahan mereka tepat pada masa krisis moneter, saat kondisi sebagian wilayah Indonesia sedang tidak kondusif.

"Saya bukan asli orang Aceh Tengah. Kami hijrah tujuannya untuk bertani, mengutip kopi. Memang pasti ada suka dan dukanya," kata Endang kepada DW Indonesia.

Endang Dewi Wahyuni
Endang Dewi Wahyuni, ulama perempuan AcehFoto: Privat

Desa Gampong Merah Mege, Kecamatan Atu Lintang, menjadi desa pilihannya. Lokasi yang dituju Endang sekeluarga adalah daerah transmigrasi yang rata-rata dihuni transmigran asal Pulau Jawa atau transmigran lokal di seputaran Takengon.

Berbeda dengan masyarakat transmigran yang dipindahkan ke Aceh tahun 1993 oleh Pemerintahan Soeharto yang mendapatkan hibah tanah dan rumah, keluarga Endang harus memulai usaha dari nol dan membeli tanah perkebunan sendiri.

"Sebab kita bukan transmigran tapi pendatang. Kami beli kebun dari orang-orang yang mau pindah dari situ."

Ajarkan baca Al-Qur'an ke anak-anak

Walau penuh tantangan, kesabaran dan kesyukuran menjadi kunci bagi Endang untuk berjuang. Bersama sang suami, Suyono, Endang tergerak untuk membuka pengajian di rumah. Akses bagi masyarakat untuk belajar membaca Al-Qur'an masih terbatas karena tidak ada musala dan terbatasnya guru mengaji di desa.

Di rumah berukuran 6x6 meter persegi, Endang mengajak anak-anak di desanya salat berjamaah dan mengaji bersama. Meski kondisi serba terbatas, Endang dengan senang hati mengajarkan anak-anak mengaji setiap malam. Literasi Qur'ani yang digaungkannya telah mengubah anak-anak yang semula buta huruf hijaiyah menjadi lancar membaca Al-Qur'an.

"Rumah kami memang kecil. Namun kami tetap ingin mengajarkan anak-anak supaya mereka bisa membaca Al-Qur'an dan bisa melaksanakan salat 5 waktu," jelasnya semringah.

Menurut Endang, aktivitas tersebut tidak mengganggunya sama sekali sebab dilaksanakan di malam hari. Lagi pula menurut perempuan yang kini menjabat sebagai Kepala Sekolah TK Negeri Pembina Atu Lintang ini, aktivitas utamanya sebagai petani kopi hanya dilaksanakan sejak pagi hingga siang hari.

Teungku Inong eco-friendly

Endang adalah satu dari sekian perempuan ulama yang menerima undangan pelatihan Teungku Inong Aceh yang digelar oleh Yayasan HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh) di Banda Aceh, akhir Februari lalu. Ummi Endang menjadi panggilan yang disematkan padanya selama acara pertemuan tersebut.

Teungku Inong adalah sebutan yang disematkan untuk perempuan ulama di Provinsi Aceh. Mereka umumnya berprofesi sebagai pimpinan pesantren tradisional (dayah), pengajar Al-Qur'an dan hadis, hingga penceramah, dan biasanya memiliki sejumlah jemaat.

Pelatihan ini sendiri adalah wadah belajar dan berbagi pengalaman antarperempuan ulama seluruh Aceh terkait pendekatan agama dalam melihat permasalahan dan solusi kerusakan alam dan lingkungan hidup di Aceh. 

Endang Dewi Wahyuni
Tidak hanya anak-anak, Ummi Endang juga mengajar ngaji kepada para perempuan dewasa di desanya.Foto: Privat

"Secara pribadi, saya baru kali ini menerima pembelajaran terkait isu lingkungan. Tapi sebenarnya, tanpa kami sadari, kami sudah melaksanakan aksi ini jauh-jauh hari di desa," papar Endang penuh semangat.

Praktik baik terkait penjagaan lingkungan hidup sudah dipopulerkannya sejak menjadi petani kopi. Endang dan teman-temannya sejak dahulu sudah terbiasa mereboisasi hutan tanpa diminta. Mereka menanami kembali lahan-lahan kosong hasil aktivitas pembalakan liar oleh orang-orang tak dikenal.

Lahan kosong itu ia tanami dengan tanaman-tanaman keras seperti Alpukat. Selain menghasilkan buah-buahan, menurutnya, tanaman tersebut juga mendukung penghijauan dan dapat menangkal banjir. Para petani kopi juga sudah sejak lama membiasakan menanam apotik hidup di halaman rumah mereka masing-masing sebagai stok obat tradisional.

"Di TK, anak-anak juga kami ajak menanam. Diakrabkan dengan isu lingkungan sejak kecil," jelas Endang membagikan pengalamnnya bersama para guru di sekolah yang dia pimpin.

Belajar dari pepohonan

Bagi Endang, bunga dan pohon buah yang ditanam di sekeliling sekolah memiliki banyak manfaat. Selain menghijaukan, tanaman-tanaman tersebut bisa menjadi media pembelajaran bagi murid-murid di sekolah yang ia pimpin.

"Kami menggunakan pohon sebagai media pembelajaran nyata. Bersama guru-guru, kami menanam apotek hidup di sekolah," seru Endang.

Endang menargetkan untuk mengelola pupuk kompos di sekolah. Sebab anak-anak sudah dibiasakan untuk membuang sampah pada tempatnya tapi belum pernah diperlihatkan tata cara mengelola sampah. 

Anak-anak juga diperkenalkan dengan metode bersuci dan membersihkan diri dengan tetap menghemat air. Sebab aturan desa atau qanun gampong Merah Mege telah dirancang untuk mengajak masyarakat menjaga dan memanfaatkan air secara bijak. Hal tersebut dianggap penting oleh penduduk setempat demi menjaga kelestarian dan keseimbangan kehidupan.

"Keberlangsungan lingkungan hidup juga berarti keberlangsungan kehidupan. Menurut saya pelestarian lingkungan hidup itu sebagian daripada iman," ujar Endang. (ae)