1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumEropa

Ukraina Berencana Tuntut Putin ke Pengadilan Internasional

25 Agustus 2022

Enam bulan setelah invasi Rusia, para pejabat Ukraina menyusun rencana untuk memastikan Presiden Vladimir Putin dan komandan militernya diadili karena meluncurkan perang.

https://p.dw.com/p/4G0HD
Presiden Rusia Vladimir Putin
Foto: Sergei Bobylev/TASS/dpa/picture alliance

Rencana untuk menyeret Presiden Rusia Vladimir Putin beserta para komandan militernya ke pengadilan internasional dipelopori oleh Wakil Kepala Kantor Kepresidenan Ukraina Andriy Smirnov. Pihaknya mendesak penyelidikan dugaan 'kejahatan agresi'.

Definisi kejahatan agresi diadopsi dalam Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional pada 2010. Gagasan serupa tentang "kejahatan terhadap perdamaian" juga digunakan dalam persidangan di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia Kedua.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang telah mengadili kejahatan paling parah selama 20 tahun terakhir, sudah menyelidiki kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida di Ukraina. Namun, pihaknya tidak dapat mempertimbangkan tuduhan agresi. Sebab, Ukraina maupun Rusia tidak meratifikasi Statuta Roma.

Pengadilan ini adalah "satu-satunya cara untuk memastikan bahwa para penjahat yang memulai perang Ukraina dimintai pertanggungjawaban dengan cepat," kata Smirnov kepada AFP.

"Dunia memiliki ingatan yang pendek. Itu sebabnya saya ingin pengadilan ini mulai bekerja tahun depan."

Ukraina tahu bahwa terdakwa tidak akan hadir, tetapi pengadilan ini "akan berfungsi untuk memastikan orang-orang ini dicap sebagai penjahat, dan bahwa mereka tidak dapat melakukan perjalanan di dunia yang beradab," katanya.

Rancangan perjanjian internasional

Jaksa Ukraina telah mengidentifikasi sekitar 600 tersangka dalam agresi sejauh ini, termasuk pejabat senior militer, politisi, dan komentator. Sebuah perjanjian internasional untuk mendirikan pengadilan pun telah dirancang dan siap untuk ditandatangani oleh pemerintah di berbagai negara.

Negara-negara penandatanganan lantas harus mengakui putusan pengadilan. Sehingga, terpidana dapat ditangkap oleh otoritas setempat.

Smirnov mengatakan beberapa negara akan menandatangani dokumen sebelum akhir tahun dan negosiasi sedang berlangsung dengan "beberapa mitra Eropa (yang) bersedia menjadi tuan rumah pengadilan."

"Kami ingin putusan pengadilan ini diakui,” katanya, dengan alasan dia sangat memahami bahwa pengadilan membutuhkan legitimasi yang kuat.

Meskipun beberapa kali reformasi, pengadilan Ukraina dikritik karena kurangnya independensi dan serangkaian kasus korupsi di masa lalu.

Sementara Polandia dan negara-negara Baltik, mitra terdekat Ukraina, sangat mendukung usulan tersebut, Jerman dan Prancis telah memberikan reaksi yang lebih terukur. Pertimbangan politik mungkin dapat menjelaskan hal ini.

"Beberapa negara, meski mengakui agresi terhadap Ukraina, mencoba untuk membuka celah untuk negosiasi dengan Vladimir Putin," kata Smirnov. Namun, perlahan-lahan membangun dukungan terhadap gagasan tersebut, termasuk di Eropa Barat.

Parlemen Eropa menyerukan pengadilan internasional khusus untuk kejahatan agresi pada 19 Mei.

Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra saat berbicara pada konferensi internasional tentang kejahatan perang di Ukraina di Den Haag bulan lalu, menyebut bahwa pertanyaan tentang pengadilan khusus adalah "poin yang sangat valid."

yas/ha (AFP)