1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Tren Kependudukan dan Sejarah Kelam Isu "Kepadatan Penduduk"

Ajit Niranjan
2 September 2020

Penurunan kesuburan diperkirakan bisa menyebabkan populasi dunia dalam beberapa dekade mendatang menyusut, di Spanyol dan Jepang bahkan sampai setengahnya. Tapi ada juga prediksi lain dengan model berbeda.

https://p.dw.com/p/3hry6
München | Menschenmenge in Einkaufsstraße
Foto: picture-alliance/dpa/J. Koch

Tingkat kesuburan menurun, populasi semakin menua, itulah tren kependudukan yang terlihat di negara-negara industri maju. Perkembangan populasi itu juga akan terjadi di negara-negara ambang industri pada beberapa dekade mendatang, kata sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Lancet.

Kalau beberapa dekade lalu para ahli kependudukan mengkhawatirkan kepadatan penduduk yang mengancam ekologi dunia, situasi sekarang mulai berbalik. Di banyak negara, jumlah populasi muda justru menyusut. Para ahli demografi sekarang bertanya, bagaimana mengatasi masalah penyusutan populasi dan makin kurangnya generasi muda yang akan mencetak generasi masa depan?

Studi dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) memproyeksikan, jumlah populasi Bumi akan mencapai puncaknya pada empat dekade mendatang, mencapai pada 9,7 miliar penduduk, sebelum kemudian turun menjadi 8,8 miliar penduduk pada akhir abad ini.

Foto seorang tua dan seorang muda di rumah jompo
Tahun 2050, lebih 150 negara diprediksi mengalami masalah penduduk yang menuaFoto: Waldbreitbacher Franziskanerinnen

Masalah ekonomi dan sosial

Dalam 80 tahun mendatang, populasi di negara-negara seperti Spanyol dan Jepang akan berkurang setengahnya. Cina juga akan mengalami tren penyusutan penduduk yang hampir sama besarnya. Hanya di 12 negara, termasuk Somalia dan Sudan Selatan, akan ada cukup bayi untuk menjaga populasi penduduk agar tetap stabil. Tahun 2050, lebih 150 negara diperkirakan akan mengalami masalah penduduk yang semakin menua.

Penggalakkan pendidikan dan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan akan menyebabkan penyusutan populasi global sebanyak 1,5 miliar orang sampai tahun 2100 dibandingkan saat ini, kata penelitian IHME.

Pergeseran demografis itu akan mengubah masyarakat dan membangkitkan masalah ekonomi-sosial baru. Siapa yang akan membayar perawatan kesehatan penduduki lanjut usia? Apakah negara-negara akan memperebutkan migran muda? Bagaimana dengan usia pensiun, kalau konsep pensiun memang masih ada?

Foto anak-anak bermain di Cina
Penduduk Cina akan mengalami penyusutan mulai 40 tahun depanFoto: Getty Images/AFP/J. Eisele

Penyusutan populasi berarti penurunan emisi karbon?

Apakah penyusutan penduduk global lalu otomatis berdampak positif bagi perlindungan lingkungan? Jumlah populasi yang berkurang akan berarti lebih sedikit emisi karbon. Kebutuhan pangan rata-rata juga akan turun sehingga ekologi tidak terlalu terbebani seperti saat ini.

Persoalannya tidak semudah itu, kata para ilmuwan. Pertumbuhan populasi selama ini memang telah meningkatkan emisi gas rumah kaca. Tetapi emisi itu tidak terbagi secara merata. Menurut Panel Internasional Perlindungan Iklim PBB, IPCC, penduduk di negara-negara industri terkaya mengeluarkan emisi 50 kali lebih banyak daripada mereka yang berada di negara-negara termiskin justru meningkat cepat. Artinya, emisi karbon rata-rata per kapita akan makin rendah lagi.

Pendidkan juga memainkan peran dalam perkembangan demografi. Perempuan yang bersekolah rata-rata memiliki anak lebih sedikit daripada perempuan yang tidak bersekolah. Mereka juga punya akses lebih besar terhadap alat dan cara-cara kontrasepsi. Itu berarti, tingkat kesuburan perempuan yang bersekolah juga lebih rendah.

Grafik perbandingan konsumsi energi dan sumber daya di berbagai negara
Perbandingan konsumsi energi dan sumber daya di berbagai negara

Dua model perkembangan populasi yang berbeda

Sementara studi IHME menunjukkan akan terjadi penyusutan penduduk secara global pada tahun 1964. PBB justru sampai pada kesimpulan berbeda dan memprediksikan kenaikan penduduk dunia sampai tahun 2100. Perbedaan model kependudukan IHME dan PBB cukup besar, yaitu sekitar 2 miliar orang.

Model kependudukan PBB misalnya memprediksikan bahwa tingkat kesuburan akan naik, semakin makmur suatu negara. Model kependudukan IHME justru memprediksikan perkembangan sebaliknya.

"Proyeksi PBB mewujudkan optimisme bahwa kemajuan manusia yang panjang akan terus berlanjut," kata Sara Hertog, seorang ahli demografi di PBB, dan menambahkan bahwa perubahan tingkat kesuburan itu sendiri bukanlah kabar baik atau kabar buruk, tetapi lebih "mencerminkan jumlah anak yang diinginkan orang."

Politik pengendalian kepadatan penduduk dengan "sejarah kelam"

Survei misalnya menunjukkan, bahwa perempuan di seluruh Eropa dan Amerika Utara memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan, karena ada hambatan seperti perawatan anak yang mahal, tekanan pekerjaan, dan pria yang tidak mengambil bagian yang adil dari pekerjaan rumah tangga. Dengan menghilangkan beberapa hambatan ini, negara seperti Jerman misalnya telah mengalami sedikit peningkatan kesuburan.

Di lain pihak, kebijakan pengendalian kepadatan penduduk di masa lalu juga punya dampak negatif dan "sejarah kelam". Cina misalnya, untuk mengatasi kepadatan penduduk sejak akhir 1970-an menerapkan kebijakan ketat berupa denda, sterilisasi, dan aborsi paksa di bawah kebijakan satu anak yang berlangsung selama beberapa dekade.

Amerika Serikat dan Kanada secara paksa mensterilkan perempuan pribumi pada paruh kedua abad ke-20, sementara Australia melakukan hal yang sama untuk penyandang disabilitas. India mensterilkan 6,2 juta pria yang sebagian besar kaum miskin pada tahun 1976, didorong oleh donor asing yang mengaitkan bantuan dengan kebijakan pengendalian populasi.

(hp/rap)