1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sastra

Toko Buku yang Serupa Surga

17 Mei 2017

Terlepas dari kontroversinya, 17 Mei dimaknai sebagai Hari Buku Nasional. Upaya menembus pentas dunia tak bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku bermutu. Simak opini Anton Kurnia

https://p.dw.com/p/2d2ni
Paris Buchladen Shakespeare and Company
Foto: picture-alliance/Arco Images/K. Loos

Bulan April dan Mei sarat dengan hari peringatan yang terkait dengan dunia literasi. Setiap 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Tanggal ini dipilih UNESCO karena bertepatan dengan saat penting yang berkaitan dengan para penulis besar. Tanggal 23 April adalah hari kematian Miguel de Cervantes (1547-1616) dan William Shakespeare (1564-1616). Lima hari kemudian, tepatnya tanggal 28 April yang bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Chairil Anwar, oleh sebagian orang di negeri kita diperingati sebagai Hari Sastra. Sementara, tanggal 17 Mei dimaknai sebagai Hari Buku Nasional bagi kita di Indonesia—terlepas dari kontroversi di belakangnya.

Bicara soal buku dan sastra saya jadi teringat Shakespeare, pujangga tersohor Inggris yang menulis lakon drama Romeo and Juliet. Dan bicara soal Shakespeare, saya jadi teringat pada Shakespeare and Company.

Penulis:  Anton Kurnia
Penulis: Anton KurniaFoto: privat

Shakespeare and Company adalah sebuah toko buku di Paris yang didirikan Sylvia Beach pada November 1919 dan kelak menjadi legendaris. Toko buku Shakespeare and Company didirikan bukan karena semangat ingin menjadi kaya atau niat-niat kapitalistis lainnya. Sylvia yang terlahir sebagai Nancy Woodbridge merantau ke Paris dari Baltimore, Amerika Serikat, melakukannya karena rasa cinta terhadap buku dan sastra serta keinginan untuk berbagi kebaikan.

Ulysses, novel adikarya James Joyce yang ditolak belasan penerbit karena dianggap cabul dan aneh, diterbitkan untuk kali pertama oleh Shakespeare and Company pada tanggal 2 bulan 2 tahun '22. Kelak buku setebal 1000-an halaman itu yang mula-mula dicetak 1.000 eksemplar itu dianggap sebagai novel terbaik yang terbit pada abad ke-20 oleh para kritikus sastra dan mengilhami para penulis dari generasi setelahnya.

Toko buku impian

Atas bantuan kawan, mentor, dan kemudian kekasihnya, Adrienne Monnier—seorang perempuan yang lebih dulu membuat toko buku lain di Paris, Sylvia mendirikan toko buku impiannya, mula-mula di Rue Dupuytren lalu pindah ke Rue l'Odeon—di seberang toko buku milik Adrienne—dua tahun kemudian. Di tempat itulah Ulysses diterbitkan dan diluncurkan dengan uang pinjaman dan modal cekak. Hingga kini, di bangunan bekas toko buku itu terdapat pelat bertuliskan keterangan bahwa pada 1922 tempat itu menjadi saksi sejarah kelahiran Ulysses.

Seiring waktu, toko buku yang didirikan Sylvia kian berkembang dan mendapat tempat di hati para pembaca dan penghasil bacaan. Para penulis kerap berkumpul, berdiskusi, dan menginap di toko buku itu—dari yang saat itu belum jadi siapa-siapa hingga yang sudah masyhur ke mana-mana. Sebutlah nama-nama: Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, Gertrude Stein, Ezra Pound, Andre Gide.

Namun, pada 1941, saat Nazi menguasai Paris, toko buku itu terpaksa ditutup. Sylvia bahkan sempat ditahan penguasa. Desas-desus beredar, konon penyebab toko itu ditutup adalah karena Sylvia menolak menyerahkan sebuah buku langka koleksi toko itu kepada seorang perwira Nazi.

Sepuluh tahun kemudian, seorang Amerika lainnya yang terdampar di Paris dan mengagumi Sylvia membuka toko buku bernama Le Mistral di Rue de la Bucherie, di kawasan Tepi Kiri Sungai Seine, seberang Katedral Notre Dame yang tersohor dan tak begitu jauh dari toko buku milik Sylvia yang tak pernah dia buka lagi. Tempat itu pun lekas menjadi pusat nongkrong kaum literati Paris layaknya toko buku Sylvia pada masanya. Pada 1964, dua tahun setelah kematian Sylvia, Whitman mengubah nama toko bukunya menjadi Shakespeare and Company untuk menghormati Sylvia. Toko buku legendaris itu pun terlahir kembali.

Tak hanya sampai di situ. Kisah terus berlanjut. Pada 1 April 1981, Whitman dianugerahi seorang anak. Putri tunggalnya itu ia beri nama Sylvia Beach untuk mengenang dan menghormati Sylvia. Saat Whitman wafat, dua hari setelah berulang tahun yang ke-98 pada 2011, Sylvia Beach Whitman melanjutkan ayahnya mengelola toko itu hingga saat ini. Lengkaplah sudah kisah kelahiran kembali Sylvia Beach dan toko buku Shakespeare and Company.

Surga Penulis Bohemian

Saat saya mengunjungi toko buku legendaris itu akhir Oktober lalu,  usai menghadiri Frankfurt Book Fair, saya menemukan aura yang menggetarkan pada rak-rak, bangku kayu, dan buku-buku yang terpajang di mana-mana. Dengan segera merasakan dua hal penting yang menjadi ruh toko buku ini sejak bermula dari gagasan Sylvia pertama dan kemudian dilanjutkan spiritnya oleh George Whitman dan Sylvia kedua: cinta terhadap buku dan sastra serta keinginan untuk berbagi kebaikan.

Ribuan buku baru dan bekas karya para penulis dari berbagai penjuru dunia yang berjejal di atas rak yang meluber hingga ke atap lantai dua mencerminkan hal pertama. Sementara, di atas satu lorong masuk toko buku unik ini terdapat kalimat menyejukkan yang mencerminkan hal kedua: "Not be inhospitable to strangers lest they be angels in disguise.” Jangan bersikap tak ramah terhadap orang asing. Siapa tahu dia malaikat yang sedang menyamar.

Di tempat ini bahkan disediakan tempat tidur bagi para penulis bohemian yang ingin menginap tanpa dipungut bayaran. Syaratnya cuma tiga hal sederhana: membantu mengelola toko selama menginap, membaca satu buku sehari, dan menulis sesuatu tentang toko buku itu. Tempat tidur sederhana di tengah jejalan buku yang disediakan disana disebut "Tumbleweed”. Konon setidaknya sudah 30.000 orang menjadi penulis bohemian yang menginap di "Tumbleweed” sejak 1950-an.

George Whitman yang eksentrik dan kekiri-kirian itu pernah berkata, entah bercanda atau sungguh-sungguh, bahwa Shakespeare and Company adalah "utopia kaum sosialis yang disamarkan sebagai toko buku”.

Banyak penulis ternama pernah singgah, meninggalkan jejak, dan berkarya di "utopia kaum sosialis” itu. Mulai dari penulis kiri macam Bertolt Brecht, para eksponen Generasi Beat seperti Allen Ginsberg, pahlawan El Boom serupa Julio Cortazar, perawi erotika macam Anais Nin, hingga musisi pencinta buku serupa Jim Morrison dan Frank Sinatra.

Sylvia mungkin tak pernah membayangkan toko buku yang dia rintis nyaris seabad silam akan menjadi abadi. Barangkali ada toko buku lain yang koleksinya lebih lengkap dan lebih menggoda ketimbang toko buku ini. Namun, tampaknya sulit mencari yang sama unik dan selegendaris Shakespeare and Company. Dan barangkali, yang lebih penting, Sylvia dan toko buku yang menjadi warisan tak ternilainya ini memberi bukti buat kita bahwa cinta dan kebaikan bukanlah hal sia-sia.

Di tengah keterbatasan toko buku berkualitas di negeri sendiri yang menyajikan khazanah tersembunyi dan mutakhir sastra dunia, saya bermimpi suatu hari nanti ada toko buku semacam ini di berbagai kota di tanah air. Upaya untuk menembus pentas dunia tak bisa dipisahkan dari ketersediaan buku-buku bermutu yang mudah diakses, termasuk melalui edisi terjemahan.

Waktu saya meninggalkan toko buku itu, Paris telah beranjak malam. Kafe di sebelah toko yang didirikan Sylvia kedua setahun sebelumnya telah tutup. Begitu pula satu ruangan khusus di sampingnya yang khusus memajang buku-buku langka edisi pertama. Saya merasa cukup dengan membawa pulang dua buku dan sepucuk kartu pos. Di salah satu kartu pos yang dipajang di depan pintu tercetak kata-kata George Whitman: berikan yang kamu bisa, ambil yang kamu perlukan.

Penulis:

Anton Kurnia, penulis, buku terbarunya yang akan segera terbit adalah Dalam Bayangan Bendera Merah: Sejumlah Catatan dan Esai Budaya.

@AntonKurnia9

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia